Ada dua hal yang harus kita ketahui jika ingin membahas masuknya agama dan kebudayaan Hindu Budha ke Nusantara. Pertama, kita perlu membicarakan sumber- sumber sejarah yang menjelaskan tentang kedatangan atau interaksi bangsa India dengan masayarakat lokal. Sumber sejarah yang dimaksud meliputi sumber tertulis, benda, maupun lisan. Kedua, kita perlu juga membahas mengenai teori-teori kedatangan kebudayaan Hindu Budha ke Nusantara. Maka dari itu, pada uraian materi akan dibahas tentang sumber-sumber sejarah dan teori-teori yang menjelaskan kedatangan Bangsa India ke Nusantara.
1. Sumber Sejarah
a. Sumber Dari India
Bukti adanya hubungan dagang tersebut dapat diketahui dari kitab Jataka dan kitab Ramayana tetapi tidak menyebutkan kapan India mengenal Indonesia. Kitab sastra
india yang dapat dipercaya adalah Kitab Mahaniddesa yang memberi petunjuk bahwa
masyarakat india telah mengenal beberapa tempat
di Indonesia pada abad ke-3 Masehi.
Dalam kitab Geograpihike yang ditulis pada abad ke-2 juga disebutkan
telah ada hubungan dagang
antara india dan Indonesia. Dari kedua keterangan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa
secara intensif terjadinya hubungan
dagang antara Indonesia dan india mulai abad-abad tersebut (abad
ke 2-3 Masehi).
b.
Sumber Dari Cina
Hubungan
Indonesia dengan cina diperkirakan telah berkembang pada abad ke-5. Bukti-bukti yang memperkuat hubungan itu di antaranya adalah perjalanan seorang pendeta budha, fahien. Pada sekitar tahun 413
M, Fa Hien melakukan perjalanan dari
india ke YE-PO-TI (tarumanegara) dan kembali ke cina melalui jalur laut. Selanjutnya,
kaisar Cina, Wen Ti mengirim utusan ke She-Po (Pulau
Jawa).
c. Sumber Dari Yunani
Hubungan dagang antara
Indonesia dengan india, dan cina dapat diketahui dari Claudius Ptolomeus, seorang ahli ilmu bumi
Yunani. Dalam kitabnya yang berjudul
Geographike yang ditulis
pada abad ke 2. Ptolomeus menyebutkan nama Labadio yang artinya pulau jelai. Mungkin kata itu ucapan
Yunani untuk menyebut Yawadwipa, yang artinya juga
pulau jelai.
Dengan demikian, seperti yang
disebutkan dalam kitab Ramayana bahwa Yawadwipa yang dimaksud ialah pula
jawa.
d. Prasasti
Prasasti-Prasasti tertua di Indonesia yang menunjukkan hubungan Indonesia dengan India, misalnya prasati Mulawarman di Kalimantan timur yang berbentuk Yupa.
Semua prasasati ditulis dalam bahasa
Sanskerta
dan
huruf Pallawa.
e. Kitab Kuno
Kitab-kitab kuno yang ada di Indonesia biasanya ditulis pada daun lontar
yang ditulis dengan menggunakan bahasa dan tulisan jawa kuno yang juga merupakan
pengaruh dari bahasa
Sanskerta dan
tulisan Pallawa.
f. Bangunan Kuno
Bangunan-bangunan kuno yang bercorak hindu ataupun budha terdiri atas candi, stupa, relief, dan arca. Agama Hindu yang berkembang di Indonesia berbeda dengan
agama Hindu yang berkembang di India. Agama dan kebudayaan
Hindu disesuaikan
dengan kebudayaan dan kepercayaan asli Indonesia yang berintikan pemujaan roh
leluhur (animism dan
dinamisme). Dalam bidang sastrapun
terjadi
penyesuaian,
misalnya huruf Pallawa berubah
menjadi huruf kawi dan huruf jawa kuno. Demikian pula dalam seni bangunan,
bentuk
candi di Indonesia
lain
dengan yang ada di India.
2. Teori-Teori Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu
Budha.
Mengkaji proses masuknya pengaruh
agama Hindu dan agama Budha ke wilayah
Nusantara,
memang memerlukan analisis yang cukup dalam. Hal tersebut dikarenakan belum terdapat kesepakatan yang bulat diantara para ahli mengenai siapa yang membawa kebudayaan tersebut ke Nusantara. Secara garis besar, peneliti membagi proses masuknya budaya
Hindu-Buddha menjadi dua. Pendapat pertama bertolak
dari anggapan bahwa bangsa
Indonesia berlaku pasif dalam
proses ini. Para pendukung
konsep pertama ini selalu beranggapan bahwa telah terjadi kolonisasi
oleh
orang-orang
India. Teori yang termasuk dalam kelompok pendapat pertama antara lain: Teori
Brahmana, Teori Ksatria,
Waisya, dan Sudra. Pendapat kedua yang muncul
lebih akhir memberikan peranan
aktif kepada bangsa Indonesia. Yang termasuk dalam dalam pendapat kedua
ini
adalah Teori Arus Balik.
Untuk dapat memahami maksud dari
proses masuknya
Hindu-Buddha kamu dapat membaca modul ini sampai selesai karena di dalamnya berisi tentang teori masuknya Agama Hindu-Buddha tersebut selamat membaca
a. Teori Brahmana
Van Leur mengajukan keberatan baik terhadap teori ksatria
atau pun teori Waisya. Keberatan pertama adalah mengenai kolonisasi. Suatu kolonisasi yang melibatkan penaklukan oleh golongan ksatria
tentunya
akan dicatat
sebagai
suatu kemenangan.
Namun, catatan itu
tidak ditemukan dalam sumber-sumber tertulis di India.
Di Indonesia
pun tidak ditemukan
prasasti-prasasti
sebagai
bukti adanya
penaklukan.
Selain itu, suatu kolonisasi selalu disertai oleh pemindahan segala unsur masyarakat dari tanah asal. Misalnya, sistem kasta, kerajinan, bentuk rumah, tata kota, bahasa, pergaulan, dan
sebagainya.
Dalam kenyataannya apa yang terdapat di Indonesia berbeda dengan yang
terdapat di India. Kalaupun ada pedagang-pedagang India yang menetap, mereka
bertempat tinggal
di perkampungan-perkampungan khusus. Sampai
sekarang
masih
ditemukan Kampung Keling di beberapa tempat di Indonesia
barat.
Mereka yang
menetap di perkampungan khusus itu kedudukannya tidak berbeda dengan rakyat biasa di tempat
itu.
Hubungan mereka dengan penguasa hanyalah dalam bidang perdagangan,
sehingga tidak dapat diharapkan adanya pengaruh budaya yang membawa perubahan-perubahan dalam bidang tata negara dan agama. Hal
ini menjadi lebih
jelas, karena sebagian besar pedagang itu adalah pedagang keliling yang berasal dari kalangan masyarakat biasa.
Mengingat unsur-unsur budaya India yang terdapat dalam budaya Indonesia, van
Leur cenderung untuk memberikan peranan penyebaran budaya India pada golongan brahmana. Para brahmana datang atas undangan para penguasa Indonesia, sehingga
budaya yang mereka perkenalkan adalah
budaya golongan brahmana.
Sayangnya dari teori brahmana Van Leur itu masih belum jelas pada yang mendorong terjadinya proses tersebut.
Ia berpendapat bahwa dorongan itu adalah akibat kontak
dengan India melalui perdagangan. Bukan hanya melalui orang-orang India yang datang,
tetapi mungkin juga
karena
orang-orang Indonesia melihat sendiri kondisi di India.
Terdorong oleh keinginan untuk dapat
bersanding dengan orang-orang India
dengan taraf yang sama dan
terdorong pula untuk
meningkatkan kemakmuran
negerinya, mereka
pun
mengundang Brahmana. Para
brahmana
ini kemudian
melakukan upacara vratyastoma, yakni upacara inisiasi yang dilakukan oleh para
kepala suku agar menjadi golongan ksatria. Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Paul Wheatly bahwa para penguasa lokal di Asia Tenggara
sangat
berkepentingan dengan kebudayaan India guna
mengangkat status sosial mereka.
b. Teori Ksatria
R.C. Majundar berpendapat bahwa
munculnya kerajaan
Hindu di Indonesia
disebabkan oleh peranan kaum ksatria atau prajurit India. Para prajurit India diduga
mendirikan koloni-koloni di kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.
Namun, teori ksatria yang dikemukakan
oleh R.C. Majundar tidak didukung oleh data
yang memadai. Selama ini belum ada bukti arkeologis yang menunjukkan adanya
ekspansi prajurit India
ke Indonesia.
c. Teori
Waisya
Pendapat lain yang masih berpegang pada anggapan adanya kolonisasi,
memberikan peranan utama pada golongan lain.
Teori yang pada awalnya diajukan oleh Krom
ini memberikan peranan utama kepada golongan pedagang (Waisya). Krom tidak
sependapat bahwa golongan ksatria merupakan golongan terbesar
di antara
orang-
orang India yang datang
ke Indonesia. Hal
ini karena
orang-orang
itu
datang untuk
berdagang maka golongan terbesar tentulah golongan pedagang.
Mereka menetap
di Indonesia dan
kemudian
memegang peranan
dalam
penyebaran pengaruh budaya India melalui hubungan mereka dengan
penguasa- penguasa Indonesia.
Krom mengisyaratkan
kemungkinan adanya perkawinan
antara pedangang-pedagang
tersebut dengan wanita Indonesia. Perkawinan merupakan
salah satu saluran
penyebaran pengaruh kebudayaan
yang penting. Selain memberikan peranan
pada
golongan yang berbeda, teori Krom mempunyai perbedaan lain
jika dibanding dengan teori
ksatria.
Berdasarkan
pengamatan berbagai aspek budaya
Indonesia-Hindu,
Krom
berpendapat bahwa unsur Indonesia dalam budaya tersebut masih sangat jelas. Ia
menyimpulkan bahwa peranan budaya Indonesia dalam
proses pembentukan budaya India di Indonesia sangat penting. Hal itu tidak
mungkin dapat terjadi jika bangsa
Indonesia hidup di bawah tekanan seperti yang digambarkan oleh teori ksatria. Teori
Krom mendapatkan banyak penganut di kalangan peneliti. Akan tetapi dengan adanya
kemajuan-kemajuan dalam penelitian, tumbuh pula pendapat
yang beranggapan
bahwa teori ini masih kurang memberikan peranan pada
bangsa
Indonesia.
Walaupun Krom
telah
melihat adanya peranan yang
penting dari
budaya Indonesia, tetapi
masih terdapat kesan bahwa proses itu tidak sepenuhnya ditentukan oleh bangsa
Indonesia.
d. Teori
Sudra
Teori Sudra dikemukakan oleh van
Faber.
Menurut
teori ini,
di India banyak
terjadi perang. Dengan demikian, banyak pula tawanan perang. Indonesia dijadikan
sebagai tempat pembuangan bagi tawanan-tawanan perang. Para tawanan perang itulah
yang menyebarkan kebudayaan Hindu di Indonesia.
e. Teori
Arus Balik
Bosch sesuai pendirian dengan van Leur. Bertolak dari sifat unsur-unsur budaya
India yang diamatinya dalam budaya Indonesia.
Ia juga berpendapat bahwa proses indianisasi di Indonesia dilakukan
oleh kelompok
cendekiawan
dalam masyarakat yaitu
para administrator
atau clerk.
Untuk mengamati proses yang terjadi antara budaya Indonesia dan India, Bosch menggunakan istilah penyuburan. Ia melihat dua jenis proses penyuburan. Penyuburan
pertama dan kemungkinan telah terjadi lebih dahulu adalah
proses melalui pendeta agama
Buddha.
Awal hubungan dagang
antara
Indonesia
dan
India
bertepatan
pula
dengan perkembangan pesat dari
agama Buddha. Biksu-biksu agama
tersebut menyebar ke
seluruh penjuru dunia melalui jalur-jalur perdagangan tanpa menghiraukan
kesulitan-kesulitannya. Mereka mendaki pegunungan Himalaya untuk
menyebarkan agamanya di
Tibet.
Dari Tibet kemudian
melanjutkan
dakwahnya
ke utara
hingga
akhirnya sampai ke
Cina. Kedatangan mereka biasanya telah
diberitakan
terlebih dahulu. Setelah mereka tiba di tempat tujuan biasanya mereka berhasil bertemu dengan
kalangan bangsawan istana.
Dengan penuh ketekunan para biksu itu mengajarkan agama mereka. Selanjutnya
dibentuklah
sebuah sanggha dengan biksu-biksunya.
Melalui biksu ini timbul
suatu
ikatan dengan
India,
tanah
suci
agama
Buddha.
Kedatangan biksu-biksu India di
berbagai negeri ternyata
mengundang arus balik biksu dari negeri-negeri itu ke India. Para biksu kemudian kembali dengan membawa kitab-kitab suci, relik dan
kesan-kesan.
Bosch menyebut gejala sejarah ini sebagai gejala arus balik. Aliran agama lain dari India yang meninggalkan
pengaruh di Indonesia adalah agama Hindu. Berbeda dengan agama
Buddha, para brahmana
agama Hindu tidak dibebani kewajiban
untuk menyebarkan agama Hindu. Hal ini karena pada dasarnya seseorang tidak dapat menjadi Hindu, tetapi seseorang itu
lahir sebagai Hindu.
Dengan konsep
seperti, proses hinduisasi di Indonesia menjadi semakin menarik, karena tidak
dapat dipungkiri orang-orang Indonesia pasti awalnya
tidak dilahirkan
sebagai Hindu, tetapi dapat beragama Hindu. Untuk
dapat menjelaskan fenomena ini harus dilihat terlebih dahulu watak khas agama Hindu.
Agama Hindu pada dasarnya
bukanlah agama untuk
umum dalam arti bahwa pendalaman agama tersebut hanya
mungkin dilakukan oleh golongan brahmana. Beranjak dari kenyataan ini, terdapat berbagai tingkat keketatan pelaksanaan
prinsip tersebut. Hal itu tergantung
dari aliran sekte yang bersangkutan. Adapun sekte agama Hindu
yang terbesar pengaruhnya di
Jawa dan Bali adalah sekte
Siwa-Siddhanta.
Aliran Siwa-Siddhanta sangat esoteris. Seseorang yang dicalonkan
untuk menjadi seorang brahmana guru harus mempelajari kitab-kitab agama selama bertahun-tahun
dan setealh diuji baru
dizinkan
menerima inti ajarannya
langsung dari
seorang brahmana guru. Brahmana inilah yang selanjutnya membimbingnya hingga ia siap untuk
ditasbihkan menjadi brahmana guru. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan
oleh Siqa dan dapat menerima kehadirannya dalam
tubuhnya pada upacara-upacara
tertentu.
Dalam keadaan demikian
ia dianggap dapat merubah air menjadi
amrta.
Brahmana itu lantas diundang ke
Indonesia. Mereka melakukan upacara khusus dapat menghindukan seseorang
(vratsyastoma). Pada
dasarnya kemampuan mereka
inilah
yang menyebabkan raja-raja Indonesia mengundang para brahmana ini. Mereka
mendapat kedudukan yang terhormat di kraton-kraton dan menjadi inti golongan brahaman Indonesia yang kemudian berkembang. Penguasaan yang luas dan mendalam
mengenai
kitab-kitab suci menempatkan
mereka
sebagai purohita
yang memberi
nasehat kepada
raja, bukan hanya di bidang keagamaan tetapi juga pemerintahan,
peradilan, perundang-undangan dan sebagainya
Posting Komentar