Pendudukan Jepang di Indonesia

Awal Pendudukan Jepang di Indonesia

a.   Pearl Harbour Porak Poranda

Kapal USS Arizona adalah salah satu kapal perang AS yang tenggelam akibat serangan mendadak Jepang ke Pangkalan AS Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941

Tanggal 7 Desember 1941, terjadi peristiwa besar, yakni Jepang menyerbu pangkalan Angkatan Laut di Pearl Harbour, Hawai. Nah, aksi Jepang ini merupakan sebuah gerakan invasi militer yang kemudian dengan cepat merambah ke kawasan Asia Tenggara. Sehingga di Januari-Februari tahun 1942, Jepang telah menduduki Filipina, Pontianak, Balikpapan, Palembang, Tarakan (Kalimantan Timur), dan Samarinda, yang mana waktu itu bangsa Belanda masih berada di wilayah Indonesia. Bahkan beberapa minggu kemudian, Jepang telah  berhasil mendarat di Pulau Jawa, tepatnya di Teluk Banten pada tanggal 1 Maret 1942, kemudian juga di Kragan (Jawa Timur), dan di Eretan (Jawa Barat). Nah setelah itu, tanggal 5 Maret 1942   kota Batavia telah jatuh ke tangan Jepang, hingga akhirnya tanggal 8 Maret 1942 Belanda secara resmi menyerah kepada Jepang.

Penyerahan kekuasaan kepada Jepang oleh Belanda dilakukan melalui sebuah upacara di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Gubernur Jenderal Tjardaan Starkenborgh dan Jenderal Ter Poorten menjadi wakil Belanda dalam upacara tersebut, kemudian Jenderal Hitoshi Imamura menjadi wakil dari Jepang. Dengan berakhirnya upacara penyerahan tersebut, secara otomatis kemudian, Indonesia berada di bawah jajahan (pendudukan) Jepang. Dan dari sinilah penderitaan bangsa Indonesia memulai babak baru, dan kalian tentunya bisa membayangkan nasib bangsa Indonesia setelah itu.

Dimulainya penjajahan Jepang di Indonesia menjadi mimpi buruk bagi bangsa Indonesia. Politik imperialisme Jepang, bukan hanya berorientasi pada eksploitasi sumber daya alamnya saja, akan tetapi manusianya juga. Jepang melakukan eksploitasi sampai tingkat pedesaan. Sumber-sumber kekayaan alam Indonesia dan juga tenaga   masyarakat Indonesia dikuras oleh Jepang. Untuk memenuhi semua kebutuhan perangnya. Jepang melakukan berbagai cara, mulai dari propaganda, janji-janji manis, hingga cara-cara kekerasan .


b.   Saudara Tua diterima di Indonesia

Masa awal kedatangan Jepang, dimana-mana terdengar ucapan “banzai- banzai” (selamat datang-selamat datang). Setiap kali Radio Tokyo memperdengarkan lagu Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) maka juga akan terdengar lagu Indonesia Raya. Bendera Merah Putih juga boleh dikibarkan berdampingan dengan Bendera Jepang, Hinomaru. Melalui siaran radio, juga dipropagandakan bahwa barang-barang buatan Jepang itu menarik dan murah harganya, sehingga mudah bagi rakyat Indonesia untuk membelinya.

Ternyata tentara Jepang pandai merayu, Tentara    Jepang    juga    mempropagandakan bahwa  kedatangannya  ke  Indonesia  untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajahan bangsa Barat (Belanda). Katanya Jepang juga akan membantu memajukan rakyat Indonesia. Melalui program Pan-Asia, Jepang   akan memajukan dan menyatukan seluruh rakyat Asia. Untuk lebih meyakinkan rakyat Indonesia, Jepang menegaskan kembali bahwa Jepang tidak lain adalah “saudara tua”, dan rakyat Indonesia adalah “saudara muda” bagi Jepang. Jadi Jepang dan Indonesia sama. Bahkan untuk meneguhkan progandanya tentang Pan-Asia, Jepang berusaha membentuk perkumpulan yang diberi nama “Gerakan Tiga A”. Tahukah   kamu apa itu gerakan 3A?

Gerakan 3A adalah gerakan yang dipropagandakan oleh  tentara Jepang untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Gerakan 3A berisi Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia. (Nippon adalah sebutan lain negara Jepang, yang berarti ‘matahari’). Dengan segala bentuk propaganda manis tersebut, tidak heran jika kedatangan Jepang di masa- masa awal, disambut gembira oleh rakyat Indonesia. Jepang mendatangkan harapan bahwa Jepang benar-benar akan membebaskan  Indonesia dari penjajahan. “Saudara tua” diterima baik  oleh rakyat Indonesia. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, sifat pendudukan Jepang memperlihatkan bentuk aslinya. Sifat baik yang diperlihatkannya di masa awal, pelan-pelan bergeser menjadi praktek penjajahan yang kejam dan mendatangkan penyiksaan bagi rakyat Indonesia. 

Pemerintahan Militer dan Sipil Jepang di Indonesia

Kamu tahu nggak mengapa ketika Belanda menguasai Indonesia, kita menyebutnya dengan istilah imperialisme dan kolonialisme, namun ketika Jepang mengusai Indonesia disebut dengan pendudukan? Apa sih bedanya? Mau tahu?. Sebenarnya secara harfiah maknanya hampir sama    yaitu menjajah dan menguasai, Tapi istilah ini digunakan pada saat Jepang menguasai Indonesia karena Jepang merebut dan berkuasa di Indonesia dengan sistem militer. Indonesia  menjadi daerah basis pertahanan tentara Jepang dalam menghadapi perang dengan sekutu daalm Perang Dunia ke II. Nah sekarang sudah paham kan bedanya? Selanjutnya mari kita pelajari pembentukan pemerintahan militer Jepang di Indonesia

Pada pertengahan tahun 1942 timbul pemikiran dari Markas Besar Tentara Jepang agar penduduk di daerah pendudukan dilibatkan dalam aktivitas pertahanan dan kemiliteran (termasuk semimiliter). Oleh karena itu, pemerintah Jepang di Indonesia kemudian membentuk pemerintahan militer. Di seluruh Kepulauan Indonesia bekas Hindia Belanda itu wilayahnya dibagi menjadi tiga wilayah pemerintahan militer.

  1. Pemerintahan militer Angkatan Darat, yaitu Tentara Kedua Puluh Lima (Tomi Shudan) untuk Sumatra. Pusatnya di Bukittinggi.
  2. Pemerintahan militer Angkatan Darat, yaitu Tentara Keenam Belas (Asamu Shudan) untuk Jawa dan Madura. Pusatnya di Jakarta. Kekuatan pemerintah militer ini kemudian ditambah dengan Angkatan Laut (Dai Ni Nankenkantai).
  3. Pemerintahan militer Angkatan Laut, yaitu (Armada Selatan Kedua) untuk daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pusatnya di Makassar.

Pembagian administrasi wilayah pendudukan semacam itu tentu juga terkait dengan perbedaan kepentingan Jepang terhadap tiap-tiap daerah di Indonesia, baik dari segi militer maupun politik ekonomi. Pulau Jawa yang merupakan pusat pemerintahan yang sangat penting waktu itu masih diberlakukan pemerintahan sementara. Hal ini berdasarkan Osamu Seirei (Undang-Undang yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Ke-16). Di dalam undang-undang itu antara lain berisi ketentuan sebagai berikut.

  1. Jabatan Gubernur Jenderal pada masa Hindia Belanda dihapuskan dan segala kekuasaan  yang  dahulu  dipegangnya  diambil  alih  oleh  panglima  tentara Jepang di Jawa.
  2. Para pejabat pemerintah sipil beserta pegawainya di masa Hindia Belanda tetap diakui kedudukannya, asalkan memiliki kesetiaan   terhadap tentara pendudukan Jepang.
  3. Badan-badan pemerintah dan undang-undang di masa Belanda tetap diakui secara  sah  untuk  sementara  waktu,  asalkan  tidak  bertentangan  dengan aturan pemerintahan militer Jepang.

Adapun susunan pemerintahan militer Jepang tersebut adalah sebagai berikut.

1) Gunshirekan  (panglima  tentara)  yang  kemudian  disebut  dengan  Seiko Shikikan (panglima tertinggi) sebagai pucuk pimpinan. Panglima tentara yang pertama dijabat oleh Jenderal Hitoshi

2)     Gunseikan (kepala pemerintahan militer) yang dirangkap oleh kepala staf.

Kepala staf yang pertama adalah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Kantor pusat pemerintahan militer ini disebut Gun seikanbu. Di lingkungan Gun seikanbu ini terdapat empat bu (semacam departemen) dan ditambah satu bu  lagi,  sehingga menjadi  lima  bu.  Adapun  kelima  bu  itu  adalah  sebagai berikut. 

  1. Somobu (Departemen Dalam Negeri) 
  2. Zaimubu (Departemen Keuangan) 
  3. Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan) atau urusan Perekonomian 
  4. Kotsubu (Departemen Lalu Lintas) 
  5. Shihobu (Departemen Kehakiman)

3) Gunseibu (koordinator pemerintahan dengan tugas memulihkan ketertiban dan keamanan atau semacam gubernur) yang meliputi:

  1. Jawa Barat : pusatnya di Bandung.
  2. Jawa Tengah : pusatnya di Semarang.
  3. Jawa Timur : pusatnya di Surabaya.
  4. Ditambah dua daerah istimewa (Kochi) yakni Yogyakarta dan Surakarta.

Kamu perlu tahu juga bahwa di dalam pemerintahan militer tersebut, Jepang juga membentuk kesatuan Kempetai (Polisi Militer) dan menetapkan lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan hanyalah Kimigayo. Padahal masa-masa awal kedatangan Jepang, Lagu Indonesia Raya sering diperdengarkan di radio - radio Tokyo.   kira-kira apa ya tujuan Jepang membentuk Kempetai? Lalu siapa yang dijadikan pimpinan Kempetai pada waktu itu?

Pada masa pendudukan Jepang, Jepang juga melakkan     perubahan- perubahan berkiatan budaya. Misalnya, untuk petunjuk waktu harus digunakan tarikh Sumera (tarikh Jepang), menggantikan tarikh Masehi. Waktu itu   tarikh Masehi 1942 sama dengan tahun 2602 Sumera. Setiap tahun (mulai tahun 1942) rakyat  Indonesia  harus  merayakan  Hari  Raya Tencosetsu  (hari  raya  lahirnya Kaisar Hirohito). Dalam bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunaan bahasa Belanda dan mewajibkan menggunakan bahasa Jepang.

Selain pemerintahan militer, Jepang juga membentuk pemerintahan sipil untuk medukung jalannya pemerintahan Jepang   di Indonesia.   Pemerintahan militer berusaha meningkatkan sistem pemerintahan, antara lain dengan mengeluarkan UU No. 27 tentang aturan pemerintahan daerah dan dimantapkan dengan UU  No.  28 tentang pemerintahan shu serta tokubetsushi. Dengan UU tersebut, pemerintahan akan dilengkapi dengan pemerintahan sipil. Menurut UU No. 28 ini, pemerintahan daerah yang tertinggi adalah shu (karesidenan). Seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Kochi Yogyakarta dan Kochi Surakarta, dibagi menjadi daerah-daerah shu (karesidenan), shi (kotapraja), ken (kabupaten),  gun (kawedanan), son (kecamatan), dan ku (desa/kelurahan). Seluruh Pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi 17 shu. Kota mana saja ya yang dsbut sebagi Shi pada masa pendudukan Jepang ini?

Pemerintahan shu itu dipimpin oleh seorang shucokan. Shucokan memiliki kekuasaan seperti gubenur pada zaman Hindia Belanda meliputi kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dalam menjalankan pemerintahan shucokan dibantu oleh Cokan Kanbo (Majelis Permusyawaratan Shu). Setiap Cokan Kanbo ini memiliki tiga bu (bagian), yakni Naiseibu (bagian pemerintahan umum),  Kaisaibu (bagian ekonomi), dan Keisatsubu (bagian kepolisian). Pemerintah pendudukan Jepang juga membentuk sebuah kota yang dianggap memiliki posisi sangat penting sehingga menjadi daerah semacam daerah swatantra (otonomi). Daerah ini disebut tokubetsushi (kota istimewa), yang posisi dan kewenangannya seperti shu yang berada langsung di bawah pengawasan  gunseikan. Sebagai contoh adalah Kota Batavia, sebagai Batavia Tokubetsushi  di bawah pimpinan Tokubetu shico. Pemerintah Jepang juga membentuk tonarigumi, yang pada masa sekarang ini kita kenal dengan Rukun Tetangga (RT). Tanorigumi ini digunakan oleh pemerintah Jepang untuk mengawasi gerak-gerik rakyat agar dapat dipantau oleh pemerintah Jepang. 

Organisasi Pergerakan Masa Pendudukan Jepang

a.  Jepang dan Organisasi yang Bersifat Sosial Kemasyarakatan

1) Gerakan 3A

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Gerakan Tiga A (3A) punya tiga semboyan yakni: Nippon Pelindung Asia Nippon Pemimpin Asia Nippon Cahaya Asia.  Gerakan Tiga A ini  didirikan pada tanggal 29 April 1942, tepat dengan Hari Nasional Jepang yakni kelahiran (Tencosetsu) Kaisar Hirohito. Gerakan ini dipelopori oleh Kepala Departemen Propaganda (Sendenbu) Jepang, Hitoshi Shimizu. Hitoshi Shimizu menunjuk tokoh pergerakan nasional, Mr Syamsudin (Raden Sjamsoeddin) sebagai Ketua.

Gerakan ini meliputi berbagai bidang pendidikan. Bidang pendidikan dapat memenuhi sasaran untuk menampung pemuda-pemuda dalam jumlah besar. Pendidikan ini berupa kursus kilat, setengah bulan, bagi remaja berusia

14-18 tahun. Cara pendidikannya cukup unik. Peserta harus bangun pagi-pagi buta, kemudian berolah raga, masak di dapur, mengurus kebun, dan menyapu. Memasuki siang hari, mereka berlatih olah raga Jepang seperti sumo, jiu jitsu, adu perang, dan sebagainya. Mereka dilatuh untuk disiplin, sopan, dan tertib dalam pekerjaan. Malam harinya, mereka dilatih bahasa Jepang. Ada juga subseksi Islam yang disebut Persiapan Persatuan Umat Islam. Subseksi Islam dipimpin oleh tokoh pergerakan Abikusno Cokrosuyoso.

Gerakan Tiga A (3A) tidak bertahan lama. Ini dikarenakan rakyat kurang bersimpati. Gerakan ini terlalu menonjolkan Jepang dan bukan gerakan kebangsaan. Bagi golongan intelektual yang bergerak dalam politik Tiga A (3A), gerakan ini juga dianggap kurang menarik karena tidak ada manfaat dalam perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan. Maka pada akhir 1942, Gerakan Tiga A (3A) dibubarkan.


2) Putera (Pusat Tenaga Rakyat)

Foto Tokoh Empat Serangkai, (Soekarno, Moh Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara)  para  pemimpin Putera, yang sedang menunggu kedatangan Perdana Menteri Jepang Tojo pada tahun 1943

Sebagai ganti Gerakan Tiga A yang dibubarkan karena tidak efektif, Jepang memprakarsai Pusat Tenaga Rakyat atau Putera. Putera dipimpin oleh tokoh  nasional  yang  kerap  dijuluki  Empat Serangkai.  Empat  Dengan  restu Jepang, Putera pun didirikan pada 16 April 1943. Tujuan Putera adalah membangun dan menghidupkan kembali hal-hal yang dihancurkan Belanda. Menurut Jepang, Putera bertugas untuk memusatkan segala potensi rakyat guna membantu Jepang dalam perang. Selain tugas propaganda, Putera juga bertugas memperbaiki bidang sosial ekonomi

Gerakan ini tidak dibiayai pemerintah Jepang. Walaupun demikian, para pemimpin bangsa diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas  Jepang seperti koran dan radio. Dengan cara ini, para pemimpin dapat berkomunikasi secara leluasa kepada rakyat. Pada akhirnya, gerakan ini ternyata berhasil mempersiapkan mental masyarakat untuk menyambut kemerdekaan dua tahun kemudian. Jepang menyadari Putera lebih banyak menguntungkan bagi pergerakan Nasional dibanding kepentingan Jepang sendiri. Maka pada 1944, Jepang membubarkan Putera. Wah sayang sekali dibubarkan ya.. padahal organisasi ini membawa manfaat bagi bangsa Indonesia . lalu organsisasi apa lagi yang dibentuk oleh Jepang? Mari kita bahas lagi lebih lanjut.

 

3) Fujinkai

Dikutip dari Konflik Bersejarah- Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia  (2013),  Fujinkai  awalnya bagian wanita dari Putera. Setelah Putera dibubarkan, Jepang mempertahankan bagian wanitanya. Bagian wanita itu dibuat  organisasi  sendiri  pada  Agustus 1943 bernama Fujinkai. Selain beranggotakan para ibu, Fujinkai juga punya Bagian Pemudi yang bernama Josi Saimentai. Anggotanya para gadis yang berusia  di  atas  15  tahun.  Fujinkai bertugas  meningkatkan  kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Anggotanya menggelar kegitan pendidikan dan kursus-kursus. 

Anggota Fujinkai dilatih membuat dapur umum dan pertolongan pertama. Mereka juga melakukan kinrohoshi atau kerja bakti (wajib kerja tanpa upah). Para wanita dikerahkan bercocok tanam sebab para pria yang tadinya menggarap ladang, dikerahkan untuk urusan militer. Anggota Fujinkai  juga  diminta mengumpulkan  dana  wajib.  Dana  wajib ini  berupa perhiasan, bahan makanan, hewan ternak, maupun keperluan lain yang bisa digunakan untuk membiayai perang Jepang. Ketika situasi perang memanas, Fujinkai  juga  diberi  latihan  militer  sederhana.  Bahkan  pada  April  1944 Fujinkai membentuk Barisan Wanita Istimewa yang disebut sebagai Barisan Srikandi.


4)    MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia )

sebuah organisasi Islam MIAI yang cukup   berpengaruh pada masa pemerintah kolonial Belanda, mulai dihidupkan kembali  oleh  pemerintah pendudukan Jepang. Pada tanggal 4 September 1942 MIAI diizinkan aktif kembali. Dengan demikian, MIAI diharapkan segera dapat digerakkan sehingga umat Islam di Indonesia dapat dimobilisasi untuk keperluan perang. Dengan diaktifkannya kembali MIAI, maka MIAI menjadi organisasi pergerakan yang cukup penting di zaman pendudukan Jepang. MIAI menjadi tempat bersilaturakhim, menjadi wadah tempat berdialog, dan bermusyawarah untuk membahas berbagai hal yang menyangkut kehidupan umat. MIAI   senantiasa   menjadi organisasi          pergerakan yang cukup diperhitungkan dalam perjuangan membangun kesatuan dan kesejahteraan umat. 

Pimpinan Harian MIAI : Mr. Kasman Singodimejo, K.H Mas Mansur, W.Wondoamiseno, RHO.Junaedi dan Harsono Tjokroaminoto

Semboyan   yang   terkenal  adalah “berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan janganlah berpecah belah”. Dengan demikian, pada masa pendudukan Jepang, MIAI berkembang baik. Kantor pusatnya semula di Surabaya,  kemudian pindah ke Jakarta. 

Adapun tugas dan tujuan MIAI waktu itu adalah sebagai berikut :

  1. Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia.
  2. Mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman.
  3. Ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

Untuk merealisasikan tujuan dan melaksanakan tugas itu, MIAI membuat  program yang lebih menitikberatkan pada program-program yang bersifat sosio-religius.  Secara khusus program-program itu akan diwujudkan melalui rencana sebagai berikut:

a)    pembangunan masjid Agung di Jakarta, 

b)    mendirikan universitas, dan

c)     membentuk baitulmal .

Dari ketiga program ini yang mendapatkan lampu hijau dari Jepang hanya program yang ketiga.

Coba    perhatikan!    Mengapa    Jepang    tidak    memberi    “restu”    MIAI membangun masjid agung dan universitas? Coba cari jawabnya!

MIAI terus mengembangkan diri di tengah-tengah ketidakcocokan dengan kebijakan dasar Jepang. MIAI menjadi tempat pertukaran pikiran dan pembangunan kesadaran umat agar tidak terjebak pada perangkap kebijakan Jepang yang semata-mata untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.

Pada bulan Mei 1943, MIAI berhasil membentuk Majelis Pemuda yang diketuai oleh Ir. Sofwan dan juga membentuk Majelis Keputrian yang dipimpin oleh Siti Nurjanah. Bahkan dalam mengembangkan aktivitasnya, MIAI juga menerbitkan majalah yang disebut “Suara MIAI”.   Keberhasilan program baitulmal,  semakin memperluas jangkauan  perkembangan MIAI. Dana yang terkumpul dari program   tersebut semata-mata   untuk mengembangkan organisasi dan perjuangan di jalan Allah, bukan untuk membantu Jepang.

November 1943 MIAI dibubarkan. Sebagai penggantinya, Jepang membentuk  Masyumi  (Majelis  Syura  Muslimin  Indonesia).  Harapan  dari pembentukan majelis ini adalah agar Jepang dapat mengumpulkan dana dan dapat menggerakkan umat Islam untuk menopang kegiatan perang Asia Timur Raya. Ketua Masyumi   ini adalah Hasyim Asy’ari dan wakil ketuanya dijabat oleh Mas Mansur dan Wahid Hasyim. Orang yang diangkat menjadi penasihat dalam organisasi ini adalah Ki Bagus Hadikusumo dan Abdul Wahab.

Masyumi sebagai induk organisasi Islam, anggotanya sebagian besar dari para ulama. Dengan kata lain, para ulama dilibatkan dalam kegiatan pergerakan politik.   Masyumi cepat berkembang, di setiap karesidenan ada cabang Masyumi. Oleh karena itu, Masyumi berhasil meningkatkan hasil bumi dan pengumpulan dana. Dalam perkembangannya, tampil tokoh-tokoh muda di  dalam  Masyumi  antara  lain  Moh.  Natsir,  Harsono  Cokroaminoto,  dan  Prawoto   Mangunsasmito.   Perkembangan   ini   telah   membawa   Masyumi semakin maju dan warna politiknya semakin jelas. Masyumi berkembang menjadi wadah untuk bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam dan sekaligus menjadi tempat penampungan keluh kesah rakyat. Masyumi menjadi organisasi massa yang pro rakyat, sehingga menentang keras adanya romusha. Masyumi menolak perintah Jepang dalam pembentukannya sebagai penggerak romusha.

Dengan demikian Masyumi telah menjadi organisasi pejuang yang membela rakyat.   Sikap tegas dan berani di kalangan tokoh-tokoh Islam itu akhirnya dihargai Jepang. Sebagai contoh, pada suatu pertemuan di Bandung, ketika pembesar Jepang memasuki ruangan, kemudian diadakan acara seikerei (sikap menghormati Tenno Heika dengan membungkukkan badan sampai  90 derajat ke arah Tokyo) ternyata ada tokoh yang tidak mau melakukan seikerei, yakni Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka). Akibatnya, muncul ketegangan dalam acara itu. Namun, setelah tokoh Islam itu menyatakan bahwa seikerei bertentangan dengan Islam, sebab sikapnya seperti orang Islam rukuk waktu sholat. Menurut orang Islam rukuk hanya semata-mata kepada Tuhan dan menghadap ke kiblat. Dari alasan itu, akhirnya orangorang Islam diberi kebebasan untuk tidak melakukan seikerei.


5)    Jawa Hokokai

Tahun 1944, situasi Perang Asia Timur Raya mulai berbalik, tentara Sekutu dapat mengalahkan tentara Jepang di berbagai tempat. Hal ini menyebabkan  kedudukan  Jepang  di  Indonesia  semakin  mengkhawatirkan. Oleh karena itu, Panglima Tentara ke-16, Jenderal Kumaikici Harada membentuk organisasi baru yang diberi nama Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Untuk menghadapi situasi perang tersebut, Jepang membutuhkan persatuan dan semangat segenap rakyat baik lahir maupun batin. Rakyat diharapkan memberikan darma baktinya terhadap pemerintah demi kemenangan perang. Kebaktian yang dimaksud memuat tiga hal:

1)  mengorbankan diri,

2)  mempertebal persaudaraan, dan

3)  melaksanakan suatu tindakan dengan bukti.

Susunan dan kepemimpinan organisasi Jawa Hokokai berbeda dengan Putera. Jawa Hokokai benar-benar organisasi resmi pemerintah. Oleh karena itu, pimpinan pusat Jawa Hokokai sampai pimpinan daerahnya langsung dipegang oleh orang Jepang. Pimpinan pusat dipegang oleh Gunseikan, sedangkan penasihatnya adalah Ir. Sukarno dan Hasyim Asy’ari. Di tingkat daerah (syu/shu) dipimpin oleh Syucokan/Shucokan dan seterusnya sampai daerah ku (desa) oleh Kuco (kepala desa/lurah), bahkan sampai gumi di bawah pimpinan Gumico. Dengan demikian, Jawa Hokokai memiliki alat organisasi sampai ke desa-desa, dukuh, bahkan sampai tingkat rukun tetangga (Gumi atau  Tonarigumi). Tonarigumi dibentuk untuk mengorganisasikan seluruh penduduk dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas 10-20 keluarga. Para kepala desa dan kepala dukuh serta ketua RT bertanggung jawab atas kelompok masing-masing.  Adapun program-program kegiatan Jawa Hokokai sebagai berikut:

1)    melaksanakan segala tindakan dengan nyata dan ikhlas demi pemerintah Jepang

2)    memimpin rakyat untuk mengembangkan tenaganya berdasarkan

3)    semangat persaudaraan, dan memperkokoh pembelaan tanah air

Jawa Hokokai adalah organisasi pusat yang anggota-anggotanya terdiri atas bermacam-macam hokokai (himpunan kebaktian) sesuai dengan bidang profesinya. Misalnya Kyoiku Hokokai (kebaktian para pendidik guru-guru) dan Isi Hokokai (wadah kebaktian para dokter). Jawa Hokokai juga mempunyai anggota istimewa, seperti Fujinkai (organisasi wanita), dan Keimin Bunka.


b.  Jepang dan Organisasi Semi Militer

1)  Seinendan

Seinendan (Korps Pemuda) adalah organisasi para pemuda yang berusia 14-22 tahun. Pada awalnya, anggota Seinendan 3.500 orang pemuda dari seluruh Jawa. Tujuan dibentuknya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Bagi Jepang, untuk mendapatkan tenaga cadangan guna memperkuat usaha mencapai kemenangan dalam perang   Asia Timur Raya, perlu diadakannya pengerahan kekuatan pemuda. Oleh   karena itu, Jepang melatih para pemuda atau para remaja melalui organisasi Seinendan. Dalam hal ini Seinendan difungsikan sebagai barisan cadangan yang mengamankan garis belakang.

Pengkoordinasian kegiatan Seinendan ini diserahkan kepada penguasa setempat. Misalnya di daerah tingkat syu, ketuanya syucokan sendiri. Begitu juga di daerah ken, ketuanya kenco sendiri dan seterusnya. Untuk memperbanyak jumlah Seinendan, Jepang juga menggerakkan Seinendan bagian putri yang disebut Josyi Seinendan. Sampai pada masa akhir pendudukan Jepang, jumlah Seinendan itu mencapai sekitar 500.000 pemuda. Tokoh-tokoh Indonesia yang pernah menjadi anggota Seinendan antara lain, Sukarni dan Latief Hendraningrat.


2)  Keibodan

Organisasi Keibodan (Korps Kewaspadaan) merupakan organisasi semimiliter yang anggotanya para pemuda yang berusia antara 25-35 tahun. Ketentuan utama untuk dapat masuk Keibodan adalah mereka yang berbadan sehat   dan berkelakuan baik. Apabila dilihat dari usianya, para anggota Keibodan sudah lebih matang dan siap untuk membantu Jepang dalam keamanan dan ketertiban. Pembentukan Keibodan ini memang dimaksudkan untuk membantu tugas polisi, misalnya menjaga lalu lintas dan pengamanan desa. Untuk itu anggota Keibodan juga dilatih kemiliteran. Pembina keibodan adalah Departemen Kepolisian (Keimubu) dan di daerah syu (shu) dibina oleh Bagian Kepolisian (Keisatsubu). Di kalangan orang-orang Cina juga dibentuk Keibodan yang dinamakan Kakyo Keibotai.

Untuk meningkatkan kualitas dan keterampilan keibodan maka Jepang mengadakan  program  latihan  khusus  untuk  para  kader.  Latihan  khusus tersebut diselenggarakan di sekolah Kepolisian di Sukabumi. Jangka waktu latihan tersebut selama satu bulan. Mereka dibina secara khusus dan diawasi secara langsung oleh para polisi Jepang. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh kaum nasionalis.   Organisasi Seinendan dan Keibodan dibentuk di daerah- daerah seluruh Indonesia, meskipun namanya berbeda-beda. Misalnya di Sumatra disebut    Bogodan dan di Kalimantan disebut Borneo Konan Kokokudan. Jumlah anggota Seinendan diperkirakan mencapai dua juta orang dan keibodan mencapai sekitar satu juta anggota


3)  Barisan pelopor

Pada pertengahan tahun 1944, diadakan rapat Chuo-Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat). Salah satu keputusan rapat tersebut adalah merumuskan cara untuk menumbuhkan keinsyafan dan kesadaran yang  mendalam di kalangan rakyat untuk memenuhi kewajiban dan membangun  persaudaraan untuk seluruh rakyat dalam rangka mempertahankan tanah airnya dari serangan musuh. Sebagai wujud konkret dari kesimpulan rapat itu maka pada tanggal 1 November 1944, Jepang membentuk organisasi baru yang dinamakan “Barisan Pelopor”. Melalui organisasi ini diharapkan adanya kesadaran rakyat untuk berkembang, sehingga siap untuk membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia.Organisasi semimiliter “Barisan Pelopor” ini tergolong unik karena pemimpinnya adalah seorang nasionalis, yakni Ir. Sukarno, yang dibantu oleh R.P. Suroso, Otto Iskandardinata, dan Buntaran

Martoatmojo. Organisasi “Barisan Pelopor” berkembang di daerah perkotaan. Organisasi ini mengadakan pelatihan militer bagi para pemuda, meskipun  hanya menggunakan peralatan  yang  sederhana, seperti  senapan kayu dan bambu runcing. Di samping itu, mereka juga dilatih bagaimana menggerakkan massa, memperkuat pertahanan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Keanggotaan dari Barisan Pelopor ini mencakup seluruh pemuda, baik yang terpelajar maupun yang berpendidikan rendah, atau bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Keanggotaan yang heterogen ini justru diharapkan menimbulkan semangat solidaritas yang tinggi, sehingga timbul ikatan emosional dan semangat kebangsaan yang tinggi. Barisan Pelopor ini berada di bawah naungan Jawa Hokokai. Anggotanya mencapai 60.000 orang. Di dalam Barisan Pelopor ini, dibentuk Barisan Pelopor Istimewa yang anggotanya dipilih dari asrama-asrama pemuda yang terkenal. Anggota Barisan Pelopor Istimewa berjumlah 100 orang, di antaranya ada Supeno, D.N. Aidit, Johar Nur, dan Asmara Hadi. Ketua Barisan Pelopor Istimewa adalah Sudiro. Barisan Pelopor Istimewa berada di bawah kepemimpinan para nasionalis. Oleh karena itu, organisasi Barisan Pelopor ini berkembang pesat. Dengan adanya organisasi ini, semangat nasionalisme dan rasa persaudaraan di lingkungan rakyat Indonesia menjadi berkobar.


4)  Hisbullah

Pada tanggal 7 September 1944, PM Jepang, Kaiso mengeluarkan janji tentang kemerdekaan untuk Indonesia. Sementara keadaan di medan perang, Jepang mengalami berbagai kekalahan. Jepang mulai merasakan berbagai kesulitan. Keadaan tersebut memicu Jepang untuk menambah  kekuatan yang telah ada. Jepang merencanakan untuk membentuk pasukan cadangan khusus dan pemuda-pemuda Islam sebanyak 40.000 orang.   Rencana Jepang untuk membentuk pasukan khusus Islam tersebut, cepat tersebar di tengah masyarakat. Rencana ini segera mendapat sambutan positif dari tokoh-tokoh Masyumi, sekalipun motivasinya berbeda. Begitu pula para pemuda Islam lainnya, mereka menyambut dengan penuh antusias. Bagi Jepang, pasukan khusus Islam itu digunakan untuk membantu memenangkan perang, tetapi bagi Masyumi pasukan itu digunakan untukpersiapan menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Berkaitan dengan hal itu maka para pemimpin Masyumi mengusulkan kepada Jepang untuk membentuk pasukan sukarelawan yang khusus terdiri atas pemuda-pemuda Islam. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Desember 1944 berdiri pasukan sukarelawan pemuda Islam yang dinamakan Hizbullah (Tentara Allah) yang dalam istilah Jepangnya disebut Kaikyo Seinen Teishinti.    Tugas pokok Hizbullah adalah sebagai berikut:

1)  Sebagai tentara cadangan dengan tugas:

  • melatih diri jasmani maupun rohani dengan segiat-giat nya, 
  • membantu tentara Dai Nippon
  • menjaga bahaya udara dan mengintai mata-mata musuh, dan
  • menggiatkan dan menguatkan usaha-usaha untuk kepen tingan perang.

2)  Sebagai pemuda Islam, dengan tugas:

  • menyiarkan agama Islam,
  • memimpin umat Islam agar taat menjalankan agama, dan
  • membela agama dan umat Islam Indonesia.

Untuk mengoordinasikan program dan kegiatan Hizbullah, maka dibentuk pengurus pusat Hizbullah. Ketua pengurus pusat Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin, dan wakilnya adalah Moh. Roem. Anggota pengurusnya antara lain, Prawoto Mangunsasmito, Kiai Zarkasi, dan Anwar Cokroaminoto. Setelah itu, dibuka pendaftaran untuk anggota Hizbullah. Pada tahap pertama pendaftaran melalui Syumubu (kantor Agama). Setiap keresidenan diminta mengirim 25 orang pemuda Islam, rata-rata mereka para pemuda berusia 17- 25 tahun. Berdasarkan usaha tersebut, terkumpul 500 orang pemuda. Para anggota Hizbullah ini kemudian dilatih secara kemiliteran dan dipusatkan di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat. Pada tanggal 28 Februari   1945, latihan secara resmi dibuka oleh pimpinan tentara Jepang. Pembukaan  latihan ini dihadiri oleh pengurus Masyumi, seperti K.H. Hasyim Asyari, K.H. Wahid Hasyim, dan Moh. Natsir. Dalam pidato pembukaannya, pimpinan tentara Jepang menegaskan bahwa para pemuda Islam dilatih agar menjadi kader dan pemimpin barisan Hizbullah. Tujuannya adalah agar para pemuda dapat mengatasi kesukaran perang dengan hati tabah dan iman yang teguh. Para pelatihnya berasal dari komandan-komandan Peta dan di bawah pengawasan perwira Jepang, Kapten Yanagawa Moichiro (pemeluk Islam, yang kemudian menikah dengan seorang putri dari Tasik).


c. Jepang dan Organisasi Militer

1)  Heiho

Heiho (Pasukan Pembantu) adalah prajurit Indonesia yang langsung ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. Syarat-syarat untuk menjadi tentara Heiho antara lain: 

  1. umur 18-25 tahun
  2. berbadan sehat
  3. berkelakuan baik, dan
  4. berpendidikan minimal sekolah dasar.

Tujuan pembentukan Heiho adalah membantu tentara Jepang. Kegiatannya antara lain, membangun kubu-kubu pertahanan, menjaga kamp tahanan, dan membantu perang tentara Jepang di medan perang. Sebagai contoh, banyak anggota Heiho yang ikut perang melawan tentara Amerika Serikat di Kalimantan, Irian, bahkan ada yang sampai ke Birma.

Organisasi  Heiho  lebih terlatih di dalam bidang militer dibanding dengan   organisasi-organisasi   lain.  Kesatuan   Heiho   merupakan   bagian integral dari pasukan Jepang. Mereka sudah dibagi-bagi menurut kompi dan dimasukkan ke kesatuan Heiho menurut daerahnya, di Jawa menjadi bagian Tentara ke16 dan di Sumatera menjadi bagian Tentara ke-25. Selain itu, juga sudah terbagai menjadi Heiho bagian angkatan darat, angkatan laut, dan juga bagian Kempeitei (kepolisian). Dalam Heiho, telah ada pembagian tugas, misalnya  bagian  pemegang  senjata antipesawat,  tank,  artileri,  dan pengemudi.


2)  Peta

Sekalipun tidak dapat dilepaskan dari rasa ketakutan akan adanya serangan Sekutu, Jepang berusaha agar Indonesia dapat dipertahankan dari serangan Sekutu. Heiho sebagai pasukan yang terintegrasi dengan pasukan Jepang masih dipandang belum memadai. Jepang masih berusaha agar ada pasukan yang secara konkret mempertahankan Indonesia. Oleh karena itu, Jepang berencana membentuk pasukan untuk mempertahankan tanah air Indonesia yang disebut Pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Jepang berupaya mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu secara sungguh-sungguh. Hal ini bisa saja didasari oleh rasa was-was yang makin meningkat karena situasi di medan perang yang bertambah sulit sehingga di samping Heiho, Jepang juga membentuk organisasi Peta.  Peta adalah organisasi militer yang pemimpinnya  bangsa  Indonesia  yang  mendapatkan  latihan  kemiliteran. Mula-mula yang ditugasi untuk melatih anggota Peta adalah seksi khusus dari bagian intelijen yang disebut Tokubetsu Han. Bahkan sebelum ada perintah pembentukan Peta, bagian Tokuhetsu Han sudah melatih para pemuda Indonesia untuk tugas intelijen. Latihan tugas intelijen dipimpin oleh Yanagawa.

Latihan tugas itu kemudian berkembang secara sistematis dan terprogram. Penyelenggaraannya berada di dalam Seinen Dojo (Panti Latihan Pemuda) yang terletak di Tangerang. Mula-mula anggota yang dilatih hanya 40 orang dari seluruh Jawa, dan semakin hari jumlahnya semakin bertambah. 

Barisan Tentara PETA

Pada akhir latihan angkatan ke-2 di Seinen Dojo, keluar perintah dari Panglima tentara Jepang Letnan Jenderal Kumaikici Harada untuk membentuk Tentara “Pembela Tanah Air”(PETA). Berkaitan dengan itu, Gatot Mangkuprojo diminta untuk mengajukan rencana pembentukan organisasi Tentara Pembela Tanah Air. Akhirnya, pada tanggal 3 Oktober 1943 secara resmi berdirilah Peta. Berdirinya Peta ini berdasarkan peraturan dari pemerintah Jepang yang disebut Osamu Seinendan, nomor 44. Berdirinya Peta ternyata mendapat sambutan hangat di kalangan pemuda. Banyak di antara para pemuda yang tergabung dalam Seinendan mendaftarkan diri menjadi anggota Peta.

Anggota Peta yang bergabung berasal dari berbagai golongan di dalam masyarakat. Peta sudah mengenal adanya jenjang kepangkatan dalam organisasi,  misalnya  daidanco  (komandan  batalion),  cudanco  (komandan kompi),   shodanco (komandan peleton), bundanco (komandan regu), dan giyuhei    (prajurit  sukarela).  Pada  umumnya,  para  perwira  yang  menjadi komandan   batalion   atau   daidanco   dipilih   dari   kalangan   tokoh-tokoh masyarakat  atau  orang-orang  yang  terkemuka,  misalnya  pegawai pemerintah, pemimpin agama, politikus, dan penegak hukum. Untuk cudanco dipilih dari mereka yang sudah bekerja, tetapi pangkatnya masih rendah, misalnya guru-guru sekolah. Shodanco dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan. Adapun budanco dan giyuhei dipilih dari para pemuda tingkat sekolah dasar.   Untuk mencapai tingkat perwira Peta, para anggota harus mengikuti pendidikan khusus.

Peta sangat berbeda berbeda dengan Heiho. Peta dimaksudkan sebagai pasukan gerilya yang membantu melawan apabila sewaktu-waktu terjadi serangan dari pihak musuh. Jelasnya, Peta bertugas membela dan mempertahankan tanah air Indonesia dari serangan Sekutu. Sampai akhir pendudukan Jepang, anggota Peta ada sekitar 37.000 orang di Jawa dan sekitar 20.000 orang di Sumatra. Orang-orang Peta inilah yang akan banyak berperan di bidang ketentaraan di masa-masa berikutnya. Beberapa tokoh terkenal di dalam Peta, antara lain Supriyadi dan Sudirman.

Nah….memahami uraian tentang pendudukan Jepang seperti diterangkan di atas, menunjukkan bahwa Jepang sebenarnya memerintah dengan otoriter, bersifat tirani. Semua organisasi yang dibentuk Jepang, diarahkan untuk kepentingan perang. Oleh karena itu, program pendidikan bersifat militer.


4. Praktek Pengerahan  dan Penindasan Jepang 

a. Ekonomi Perang 

Ternyata Indonesia kita tercinta ini sangat menarik bagi Jepang. Mengapa? Ya? karena sumber daya alam Indonesia sangat melimpah. Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, diterapkan konsep “Ekonomi perang”. Artinya, semua kekuatan ekonomi di Indonesia digali untuk menopang kegiatan perang. Kamu tahu kan jika sebelum memasuki PD II, Jepang sudah berkembang menjadi negara industri dan sekaligus menjadi kelompok negara imperialis di Asia. Sehingga Jepang mendapat julukan “Macannya Asia”   oleh karena itu berbagai upaya untuk memperluas wilayahnya. Sasaran utamanya antara lain Korea dan Indonesia. Jepang telah merancang bahwa ke depannya, Indonesia akan menjadi tempat penjualan produk-produk industrinya.

Jika melihat banyaknya produk- produk buatan Jepang yang laku keras bak kacang goreng di Indonesia bagaimanakah pendapat kamu? Terwujudkah cita-cita Jepang dalam mewujudkan pasarnya? Lalu bagaimana tanggapan kamu melihat kenyataan ini? Coba berikan jawabanmu !!

Jepang mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi yang sering disebut self help. Hasil perekonomian di Indonesia dijadikan modal untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan Jepang yang sedang berkuasa di Indonesia. Kebijakan Jepang itu juga sering disebut dengan Ekonomi Perang. Untuk lebih jelasnya perlu dilihat bagaimana tindakan-tindakan Jepang dalam bidang ekonomi di Indonesia. Ekonomi uang yang pernah dikembangkan masa pemerintahan Belanda tidak lagi populer.

Bagi Jepang hasil perkebunan tidak menjadi perhatiannya      dalam mencukupi   kebutuhan  ekonomi perang   oleh   karena   itu   hasil   perkebunan Indonesia  sangat  menurun,     Jepang  memusatkan     perhatiannya  pada  hasil pertanian utamanya padi, dan juga tanaman jarak sangat dibutuhkan karena dapat digunakan sebagai minyak pelumas mesin-mesin.

Untuk kepentingan penambahan lahan pertanian ini, Jepang melakukan penebangan  hutan  secara  liar  dan  besar-besaran.  Di  Pulau  Jawa  dilakukan penebangan hutan secara liar sekitar 500.000 hektar. Penebangan hutan secara liar dan berlebihan tersebut mengakibatkan hutan menjadi gundul, sehingga timbullah erosi dan banjir pada musim penghujan. Penebangan hutan secara liar tersebut juga berdampak pada berkurangnya sumber mata air. Dengan demikian, sekalipun tanah pertanian semakin luas, tetapi kebutuhan pangan tetap tidak tercukupi.   “Nah sekarang bagaimana pendapat kamu tentang kebijakan Jepang tentang penebangan hutan secara besar-besaran untuk membuka lahan pertanian sebagai paya menambah bahan pangan?” 

Untuk pemenuhan ekonomi perang di bidang pertanian Jepang mengeluarkan kebijakan antara lain:

  • Padi berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang. Produksi, pungutan dan penyaluran padi serta menentukan harganya. Dalam kaitan ini Jepang telah membentuk badan yang diberi nama  Shokuryo Konri Zimusyo (Kantor   Pengelolaan   Pangan)   yang   menentukan   harga   padi,   pengatur produksi, dan panen.
  • Penggilingan padi dilakukan dibawah pengawasan Jepang
  • Hasil panen petani diserahkan sebesar pemerintah Jepang sebesar 40% dan 30 % untuk persiapan pembelian bibit dan lumbung desa, sisanya 40% untuk petani

Selama pendudukan Jepang. kehidupan petani semakin merosot. Mereka tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya sebagai petani. Karena hasil pertaniannya harus dijual dengan harga yang sudah ditentukan Jepang sehingga kehidupannya menjadi semakin menderita.

Dengan diterapkannya kebijakan ekonomi perang itu, ekonomi uang yang pernah dikembangkan masa pemerintahan Hindia Belanda tidak begitu populer. Javache  Bank  dilikuidasi dibentuklah  Nanpo Kaihatsu Ginko  yang melanjutkan tugas dari pemerintah pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang  dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Uang Belanda kemudian digantikan oleh uang Jepang.

Dengan berbagai ketentuan pemerintah Jepang tersebut, coba bandingkan dengan kegiatan monopoli yang dilakukan pada zaman Hindia Belanda! Adakah persamaannya? Coba lakukan telaah kritis tentang hal itu!”

b. Kehidupan Pendidikan dan Kebudayaan di Indonesia Pada Masa Jepang

Sistem p18endidikan Indonesia pada masa pendudukan Jepang berbeda dengan masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, semua kalangan dapat mengakses 18pendidikan, sedangkan masa Hindia- Belanda, hanya kalangan atas (bangsawan) saja yang dapat mengakses. Akan tetapi, 19p19endidikan yang dibangun oleh Jepang itu memfokuskan pada kebutuhan perang, sehingga p19endidikan di Indonesia sangat merosot.


Suasana Sekolah Rakyat Masa Pendudukan Jepang

Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun dari 850 menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet. Jumlah murid sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan merosot sampai 90%. Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara signifikan. Muatan kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran Bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa pengantar. Kemudian, Bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib di  sekolah. Akibat keputusan pemerintah Jepang tersebut, membuat angka buta huruf menjadi meningkat. Oleh karena itu, pemuda Indonesia mengadakan program pemberantasan buta huruf yang dipelopori oleh  Putera.

Berdasarkan    kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami kemunduran. Kemunduran pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan pertahanan Indonesia dibandingkan pendidikan. Banyak anak usia sekolah yang harus masuk organisasi semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan bangku sekolah. Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan untuk membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk pembentukan kaderkader   yang memelopori program Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Oleh karena itu, sekolah selalu menjadi tempat indoktrinasi kejepangan “Menurut kamu apakah alasan Jepang membatasi pendidikan di Indonesia, coba kamu pikirkan !”

c.  Kejamnya Romusha

Terkait romusha, presiden Soekarno melontarkan beberapa pernyataan: "Sesungguhnya akulah yang mengirim mereka untuk kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, akulah  orangnya.  Aku  membuat  pernyataan  untuk  menyokong  pengerahan  romusha.  Aku  bergambar  dekat  Bogor  dengan  topi  di  kepala  dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha..."

"...Aku melakukan perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang kerangka hidup yang menimbulkan belas, membudak di garis belakang, jauh di dalam tambang batu bara dan emas. Mengerikan. Ini membuat hati di dalam seperti diremuk-remuk.


Kondisi Tenaga Romusha Masa Jepang

Bagaimana   perasaan kamu ketika melihat bangsamu dengan kondisi seperti gambar diatas? Bagai peribahasa sudah jatuh ketimpa tangga pula, penderitaan rakyat ini semakin dirasakan dengan adanya kebijakan untuk pengerahan tenaga romusha. Kamu tahu apa yang dimaksud dengan romusha? Coba cari jawabnya! Perlu diketahui bahwa untuk menopang Perang Asia Timur Raya, Jepang mengerahkan  semua  tenaga  kerja  dari  Indonesia.  Tenaga  kerja  inilah  yang kemudian kita kenal dengan romusha. Mereka dipekerjakan di lingkungan terbuka, misalnya di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya, lapangan udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusha sebagai sarana propaganda. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusha. Panitia pengerahan tersebut disebut  Romukyokai , yang ada di setiap daerah Rakyat Indonesia yang menjadi romusha itu diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal perikemanusiaan. Mereka dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai petang, tanpa makan dan pelayanan yang cukup. Padahal mereka melakukan pekerjaan kasar yang sangat memerlukan banyak asupan makanan dan istirahat. Mereka hanya dapat beristirahat pada malam  hari. Kesehatan mereka tidak terurus. Tidak jarang di antara mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan.

Untuk menutupi kekejamannya dan agar rakyat merasa tidak dirugikan, sejak  tahun  1943,  Jepang  melancarkan  kampanye  dan  propaganda  untuk menarik rakyat agar mau berangkat bekerja sebagai romusha. Untuk mengambil hati rakyat, Jepang memberi julukan mereka yang menjadi romusha itu sebagai “Pejuang  Ekonomi”  atau  “Pahlawan  Pekerja”.  Para  romusha  itu  diibaratkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan perang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar 300.000 tenaga romusha dikirim ke luar Jawa. Bahkan sampai ke luar negeri seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya. Sebagian besar dari mereka ada yang kembali ke daerah asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja, tetapi kebanyakan mereka mati di tempat kerja.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama