Respon Bangsa Indonesia Terhadap Pendudukan Jepang

Keberhasilan Jepang menguasai beberapa wilayah Indonesia, merupakan akibat dari propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Jepang terhadap bangsa Indonesia, tujuannya adalah menarik simpati rakyat supaya dapat membantu dan mendukung Jepang yang sedang menghadapi perang dengan Amerika Serikat (Blok Sekutu) dalam Perang Pasifik sebagai bagian dari Perang Dunia II. Banyak masyarakat yang menderita saat wilayahnya dikuasai oleh Jepang. Hal ini dikarenakan, mereka dipaksa untuk membuat parit, membuat jalan, membuat lapangan terbang, dan masih banyak lagi, mereka dipaksa oleh Jepang menjadi Romusha. Kalian tahu nggak apa itu romusha? Romusha artinya buruh atau pekerja, adalah sebutan bagi orang-orang yang dipekerjakan secara paksa oleh Jepang pada saat Jepang menduduki Indonesia. Agar pemahaman kalian lebih tajam dan mendalam mengenai sepak terjang Pendudukan Jepang, dan agar kalian paham juga bagaimana respon bangsa Indonesia menghadapi kekejaman Jepang

Respon Bangsa Indonesia Terhadap Penindasan Jepang

Penderitaan  rakyat  tidak  berkurang  tetapi  justru  semakin  bertambah. Kehidupan  rakyat  benar-benar  menyedihkan.  Bahan  makanan  sulit  didapatkan karena banyak petani yang menjadi pekerja romusha.   Gelandangan di kota-kota besar makin tumbuh subur Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan. Penderitaan rakyat Indonesia semakin tidak tertahankan. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian muncul  berbagai perlawanan terhadap pemerintah pendudukan Jepang  di  Indonesia. Perlawanan- perlawanan tersebut antara lain: 

a. Perlawanan Rakyat Aceh



Abdul Jalil adalah seorang ulama muda, guru mengaji di daerah Cot Plieng, Provinsi Aceh. Karena melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang, terutama terhadap  romusha, maka rakyat Cot Plieng melancarkan perlawanan. Abdul Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak   penindasan dan kekejaman yang dilakukan pendudukan Jepang.    Di Lhokseumawe, Abdul Jalil berhasil menggerakkan rakyat dan para santri di sekitar Cot Plieng. Gerakan Abdul Jalil ini di mata Jepang dianggap sebagai tindakan yang sangat membahayakan. Oleh karena   itu,   Jepang   berusaha   membujuk Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil bergeming dengan ajakan damai itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada tanggal 10 november 1942, Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot Plieng. 

Pertempuran  kemudian  berlanjut  hingga  pada  tanggal  24  November 1942, saat rakyat sedang menjalankan ibadah salat subuh. Karena diserang, maka rakyat pun dengan sekuat tenaga melawan. Rakyat dengan bersenjatakan pedang dan kelewang, bertahan bahkan dapat memukul mundur tentara Jepang. Serangan tentara Jepang diulang untuk yang kedua kalinya, tetapi dapat digagalkan oleh rakyat. Kekuatan Jepang semakin ditingkatkan. Kemudian, Jepang melancarkan serangan untuk yang ketiga kalinya dan berhasil menghancurkan pertahanan rakyat Cot Plieng, setelah Jepang membakar masjid. Banyak rakyat pengikut Abdul Jalil yang terbunuh. Dalam keadaan terdesak, Abdul Jalil dan beberapa pengikutnya berhasil meloloskan diri ke Buloh Blang Ara. Beberapa hari kemudian, saat Abdul Jalil dan pengikutnya sedang menjalankan salat, mereka ditembaki oleh tentara Jepang sehingga Abdul Jalil gugur sebagai pahlawan bangsa.

Dalam pertempuran ini, rakyat yang gugur sebanyak 120 orang dan 150 orang luka-luka, sedangkan Jepang kehilangan 90 orang prajuritnya. Kebencian rakyat Aceh terhadap Jepang semakin meluas sehingga muncul perlawanan di Jangka Buyadi bawah pimpinan perwira Gyugun Abdul Hamid. Dalam situasi perang yang meluas ke berbagai tempat, Jepang mencari cara yang efektif untuk menghentikan perlawanan Abdul Hamid. Jepang menangkap dan menyandera semua anggota keluarga Abdul Hamid. Dengan berat hati akhirnya Abdul Hamid mengakhiri perlawanannya. Berikutnya perlawanan rakyat berkobar di Pandrah Kabupaten Bireuen. Perlawanan disebabkan oleh masalah penyetoran padi dan pengerahan tenaga romusha. Kerja paksa yang diadakan Jepang terlalu memakan waktu panjang sehingga para petani hampir tidak memiliki kesempatan untuk menggarap sawah. Disamping itu, Jepang menancapi bambu runcing di sawah-sawah dengan maksud agar tidak dapat digunakan Sekutu untuk mendaratkan pasukan payungnya. Tindakan Jepang itu sangat merugikan rakyat. Fakta yang memberatkan lagi, Jepang juga memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil panennya sebanyak 50 – 80%. 

b.  Rakyat Singaparna melawan

Kebijakan-kebijakan Jepang yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, ajaran yang banyak dianut oleh masyarakat Singaparna. Tasikmalaya, Jawa Barat.   Atas dasar pandangan dan ajaran Islam, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang. Perlawanan itu juga dilatarbelakangi oleh kehidupan rakyat yang semakin menderita.

Para romusha dari Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya tidak kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat tindakan Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak yang meninggal tanpa diketahui di mana kuburnya. Selain itu, rakyat juga diwajibkaan menyerahkan padi dan beras dengan aturan yang sangat menjerat dan menindas rakyat, sehingga penderitaan terjadi di mana-mana. Kemudian secara khusus rakyat Singaparna di bawah Kiai Zainal Mustafa menentang keras untuk melakukan seikeirei.

Perlawanan   meletus   pada   bulan   Februari, 1944,dipimpin oleh seorang Kiai Zainal Mustafa, seorang ajengan (tokoh ulama) di Sukamanah, Singaparna.    Ia    adalah    pendiri    Pesantren Sukamanah. Ia sangat menentang   kebijakan- kebijakan Jepang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Zainal Mustafa secara diam-diam telah membentuk “Pasukan Tempur Sukamanah” yang dipimpin oleh    ajengan Najminudin. Kiai Zainal Mustafa memulai pertempuran  pada  salah  satu  hari  Jumat  di bulan Februari 1944.


K.H.Zainal Mustafa

Mendengar akan adanya rencana penyerangan, Jepang mengirim rombongan utusan Jepang ke Sukamanah untuk mengadakan perundingan dengan Zainal Mustafa. Akan tetapi, utusan Jepang itu bersikap congkak dan sombong untuk menunjukkan bahwa Jepang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan lebih kuat. Hal ini menyulut kemarahan pengikut Zainal Mustafa, sehingga utusan Jepang itu pun dilucuti senjatanya dan ditangkap bahkan ada yang dibunuh, sementara ada juga yang berhasil melarikan diri.

Setelah kejadian ini, Jepang mengirimkan pasukan ke Sukamanah, yang terdiri dari 30 orang kempetai dan 60 orang polisi negara istimewa (tokubetsu keisatsu) dari Tasikmalaya dan Garut. Pertempuran terjadi lebih kurang satu jam di kampung Sukamanah. Pihak rakyat menyerang dengan mempergunakan pedang dan bambu runcing yang diikuti dengan teriakan takbir. Zainal Mustafa dengan pengikutnya bertempur mati-matian untuk menghadapi gempuran dari pihak Jepang. Karena jumlah pasukan yang lebih besar dan peralatan senjata yang lebih lengkap, tentara Jepang berhasil mengalahkan pasukan Zainal Mustafa. Dalam pertempuran ini banyak berguguran para pejuang Indonesia. Kiai Zainal Mustafa ditangkap Jepang bersama gurunya Kiai Emar. Selanjutnya Kiai Zainal Mustafa bersama 27 orang pengikutnya diangkut ke Jakarta. Pada tanggal 25 Oktober 1944, mereka dihukum mati. Sementara Kiai Emar disiksa oleh polisi Jepang dan akhirnya meninggal.

c. Perlawanan di Indramayu

Perlawanan   terhadap   kekejaman   Jepang   juga   terjadi   di   daerah Indramayu. Latar belakang dan sebab-sebab perlawanan itu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Singaparna. Para petani dan rakyat Indramayu pada umumnya hidup sangat sengsara. Jepang telah bertindak semena-mena terhadap para petani Indramayu. Mereka harus menyerahkan sebagian besar hasil padinya kepada Jepang. Tentu kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat. Begitu juga kebijakan untuk mengerahkan tenaga romusha juga terjadi di Indramayu, sehingga semakin membuat rakyat menderita.

Perlawanan rakyat Indramayu antara lain terjadi di Desa Kaplongan, Distrik Karangampel pada bulan April 1944. Kemudian pada bulan Juli, muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener. Perlawanan tersebut terjadi karena rakyat merasa tertindas dengan adanya kebijakan penarikan hasil padi yang sangat memberatkan. Rakyat yang baru saja memanen padinya harus langsung dibawa ke balai desa. Setelah itu, pemilik mengajukan permohonan kembali untuk mendapat sebagian padi hasil panennya. Rakyat tidak dapat menerima cara-cara Jepang yang demikian. Rakyat protes dan melawan. Mereka bersemboyan “lebih baik mati melawan Jepang daripada mati kelaparan”. Setelah kejadian tersebut, maka terjadilah perlawanan yang dilancarkan oleh rakyat. Namun, sekali lagi rakyat tidak mampu melawan kekuatan Jepang yang didukung dengan tentara dan peralatan yang lengkap. Rakyat telah menjadi korban dalam membela bumi tanah airnya.


d.  Rakyat Kalimantan Angkat Senjata

Perlawanan rakyat terhadap kekejaman Jepang terjadi di banyak tempat. Begitu juga di Kalimantan, di sana terjadi peristiwa yang hampir sama dengan apa yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Rakyat melawan Jepang karena himpitan penindasan yang dirasakan sangat berat. Salah satu perlawanan di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang luas di kalangan orang-orang atau suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, dan sekitarnya.

Pang Suma dan pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik perang gerilya. Mereka hanya berjumlah sedikit, tetapi dengan bantuan rakyat yang militan dan dengan memanfaatkan keuntungan alam rimba belantara, sungai, rawa, dan daerah yang sulit ditempuh perlawanan berkobar dengan sengitnya. Namun, harus dipahami bahwa di kalangan penduduk juga berkeliaran para mata-mata Jepang yang berasal dari orang-orang Indonesia sendiri. Lebih menyedihkan lagi, para mata-mata itu juga tidak segan-segan menangkap rakyat, melakukan penganiayaan, dan pembunuhan, baik terhadap orang-orang yang dicurigai atau bahkan terhadap saudaranya sendiri. Adanya mata-mata inilah yang sering membuat perlawanan para pejuang  Indonesia dapat dikalahkan oleh penjajah. Demikian juga perlawanan rakyat yang dipimpin Pang Suma di Kalimantan ini akhirnya mengalami kegagalan juga


e.  Rakyat Irian  Melawan

Pada masa pendudukan Jepang, penderitaan juga dialami oleh rakyat di Irian. Mereka mendapat pukulan dan penganiayaan yang sering di luar batas kemanusiaan.  Oleh  karena  itu,  wajar  jika  kemudian  mereka  melancarkan  perlawanan terhadap Jepangi para . Gerakan perlawanan yang terkenal di Papua adalah “Gerakan Koreri” yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya bernama L. Rumkorem. Biak merupakan pusat pergolakan untuk melawan pendudukan Jepang. Rakyat Irian memiliki semangat juang pantang menyerah, sekalipun Jepang sangat kuat, sedangkan rakyat hanya menggunakan senjata seadanya untuk melawan. Rakyat Irian terus memberikan perlawanan di berbagai tempat. Mereka juga tidak memiliki rasa takut. Padahal kalau ada rakyat yang tertangkap, Jepang tidak segan-segan memberi hukuman pancung di depan umum. Namun, rakyat Irian tidak gentar menghadapi semua itu. Mereka melakukan taktik perang gerilya.

Tampaknya,  Jepang  cukup  kewalahan  menghadapi  keberanian  dan taktik  gerilya  orang-orang  Irian.  Akhirnya,  Jepang  tidak  mampu  bertahan menghadapi para pejuang Irian tersebut. Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena itu, dapat dikatakan Pulau Biak ini merupakan daerah bebas dan merdeka yang pertama di Indonesia. Ternyata perlawanan di tanah Irian ini juga meluas ke berbagai daerah, dari Biak kemudian ke Yapen Selatan. Salah seorang pemimpin perlawanan di daerah ini adalah Silas Papare. Perlawanan di daerah ini berlangsung sangat lama bahkan sampai kemudian tentara Jepang dikalahkan Sekutu. Setelah berjuang bergerilya dalam waktu yang sangat lama, rakyat Yapen Selatan mendapatkan bantuan senjata dari Sekutu, bantuan senjata itu membantu rakyat Yapen Selatan untuk mengalahkan Jepang. Hal tersebut menunjukkan bagaimana keuletan rakyat Irian dalam menghadapi kekejaman pendudukan Jepang.


f. Perlawanan Peta


Supriyadi, Pemimpin pemberontakan PETA di Blitar

Yang ada pada benak Jepang adalah memenangkan perang dan upaya mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu. Namun, justru rakyat yang dikorbankan.  Rakyat  menjadi  semakin  menderita.  Penderitaan  demi penderitaan   ini mulai terlintas di benak Supriyadi seorang Shodanco PETA. Tumbuhlah semangat dan kesadaran nasional, sehingga timbul rencana untuk melakukan perlawanan terhadap   Jepang. Sebagai komandan PETA, Supriyadi cukup  memahami  bagaimana  penderitaan  rakyat  akibat  penindasan  yang dilakukan Jepang. Hal semacam ini juga dirasakan Supriyadi dan kawan- kawannya di lingkungan PETA. Mereka kerap menyaksikan sikap congkak dan sombong dari para syidokan yang melatih mereka Penderitaan rakyat itulah yang menimbulkan rencana para anggota PETA di Blitar untuk melancarkan perlawanan terhadap pendudukan Jepang.

Rencana perlawanan itu tampaknya sudah bulat tinggal menunggu waktu  yang  tepat.  Dalam  perlawanan  PETA  tersebut,  direncanakan  akan melibatkan rakyat dan beberapa kesatuan lain.  Apa pun yang terjadi, Supriyadi dengan teman-temannya sudah bertekad bulat untuk melancarkan serangan terhadap pihak Jepang.

Pada tanggal 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dengan teman-temannya mulai bergerak. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu keluar dengan bersenjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui adanya gerakan penyerbuan itu, mereka segera mendatangkan pasukan yang semuanya orang  Jepang. Pasukan Jepang juga dipersenjatai dengan beberapa tank dan pesawat udara. Mereka segera menghalau para anggota PETA yang mencoba melakukan perlawanan. Pimpinan tentara Jepang kemudian menyerukan kepada segenap anggota PETA yang melakukan serangan, agar segera kembali ke induk kesatuan masing- masing

Untuk menghadapi perlawanan PETA di bawah pimpinan Supriyadi, Jepang mengerahkan semua pasukannya dan mulai memblokir serta mengepung pertahanan pasukan PETA tersebut. Namun, pasukan Supriyadi tetap bertahan. Mengingat semangat, tekad, dan keuletan pasukan Supriyadi dan Muradi tersebut, maka Jepang mulai menggunakan tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan PETA dengan lemah lembut, penuh kesantunan, sehingga hati para pemuda yang telah memuncak panas itu bisa membalik menjadi dingin kembali.

Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda PETA yang melancarkan serangan bersedia kembali ke daidan  beserta senjata-senjatanya. Katagiri menjanjikan, bahwa segala sesuatu akan dianggap soal interen daidan, dan akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Mereka akan diterima kembali dan tidak akan dibawa ke depan pengadilan militer. Dengan hasil kesepakatan itu, maka pada suatu hari kira-kira pukul delapan malam Shodanco Muradi tiba bersama pasukannya kembali ke  daidan. Di sini sudah berderet barisan para perwira di bawah pimpinan Daidanco Surahmad. Sejenak kemudian Shodanco Muradi maju, lapor  kepada Daidanco Surakhmad, bahwa pasukannya telah kembali. Mereka  juga menyatakan menyesal atas perbuatan melawan Jepang dan berjanji untuk setia kepada kesatuannya. Mereka tidak menyadari  bahwa  telah  masuk  perangkap,  karena  dari  tempat-tempat  yang gelap  pasukan  Jepang  telah  mengepung  mereka.  Mereka  kemudian  dilucuti  senjatanya dan ditawan, diangkut ke Markas KemPETAi Blitar. Ternyata Muradi yang sudah menyerah tetap diadili dan dijatuhi hukuman mati.

Kekuatan PETA ini di bawah Supriyadi ini semakin lemah. Tidak terlalu lama akhirnya perlawanan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriyadi ini dapat dipadamkan. Tokoh-tokoh dan anggota PETA yang ditangkap kemudian diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Setelah melalui beberapa kali persidangan, mereka kemudian dijatuhi hukuman sesuai dengan peranan masing-masing dalam perlawanan itu. Ada yang mendapat pidana mati, ada yang seumur hidup, dan sebagainya. Mereka yang dipidana mati antara lain, dr. Ismail, Muradi yang sudah disebutkan di atas, Suparyono, Halir Mangkudijoyo, Sunanto, dan Sudarno. Sementara itu, Supriyadi tidak jelas beritanya dan tidak disebut- sebut dalam pengadilan tersebut.


2. Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia

Kalian  tentu  sudah  menyimak  bagaimana  praktek  pendudukan  Jepang  di Indonesia. Meski penguasaan Jepang di Indonesia hanya sekitar 3,5 tahun (jauh lebih singkat dibanding dengan penguasaan Belanda di Indonesia) namun Jpeang telah membawa dampak (pengaruh) yang cukup besar bagi Indonesia, baik dampak negatif mapun positifnya. berikut ini dipaparkan dampak pendudukan Jepang dalam berbagai bidang. Penasaran ??? Ayo... simak lebih jauh

a.  Dampak dalam Bidang Politik

  1. Melarang  penggunaan  bahasa  Belanda  dan  mewajibkan  penggunaan bahasa  Jepang.  Dalam prakteknya,  untuk mendapatkan  simpati  rakyat Indonesia, Jepang juga mengizinkan penggunaan Bahasa Indonesia dan pengibaran bendera Merah Putih.
  2. Struktur pemerintahan disusun sesuai keinginan Jepang.
  3. Melakukan seikerei setiap upacara bendera, yaitu penghormatan ke arah Tokyo dengan membungkukkan badan 90 derajat untuk Kaisar Jepang Tenno Heika.
  4. Membentuk pemerintahan militer dengan angkatan darat dan angkatan laut.
  5. Jepang membubarkan organisasi-organisasi politik dan melarang segala jenis rapat dan kegiatan – kegiatan politik
  6. Membentuk   organisasi-organisasi   sebagai   alat   propaganda,   namun sebagian besar organisasi yang dibentuk oleh Jepang dimanfaatkan tokoh pejuang untuk kepentingan pergerakan nasional.
  7. Jepang mendukung semangat anti-Belanda, sehingga mau tak mau ikut mendukung  semangat  nasionalisme  Indonesia.  Antara  lain  menolak pengaruh-pengaruh Belanda, misalnya perubahan nama Batavia menjadi Jakarta.
  8. Untuk   mendapatkan   dukungan   rakyat   Indonesia,   Jepang   mendekati pemimpin  nasional  Indonesia  seperti  Sukarno  dengan  harapan  agar Sukarno    mau    membantu    Jepang    memobilisasi    rakyat    Indonesia. Pengakuan  Jepang  ini  mengukuhkan  posisi  para  pemimpin  nasional Indonesia dan memberikan mereka kesempatan memimpin rakyatnya.
  9. Pemerintah Jepang juga menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang diucapkan oleh PM Tojo dalam kunjungannya ke Indonesia pada September 1943, dan dari janji inilah Jepang kemudian membentuk BPUPKI dan PPKI. Dengan kehadiran badan ini, memungkinkan Indonesia membentuk hal-hal yang  berkaitan  dengan  persiapan  Indonesia  merdeka,  seperti  dasar  negara Pancasila 

b.  Dampak dalam Bidang Sosial Budaya

  1. Selama   masa   pendudukan   Jepang,   kehidupan   sosial   dan   budaya masyarakat   Indonesia   sangat   memprihatinkan.   Penderitaan   rakyat bertambah karena segala kegiatan rakyat dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan perang Jepang dalam menghadapi musuh-musuhnya. Terlebih rakyat dijadikan pekerja romusha (kerja paksa zaman Jepang) sehingga banyak jatuh korban akibat kelaparan dan penyakit.
  2. Kesulitan proses komunikasi antarpulau dan dunia luar karena semua saluran komunikasi dikendalikan Jepang.
  3. Semua  nama-nama  kota  yang  menggunakan  bahasa  Belanda  diganti Bahasa Indonesia seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi Bogor.
  4. Kebijakan Kinrohoshi yaitu tradisi kerja bakti secara massal pada masa pendudukan Jepang.
  5. Mendirikan pusat kebudayaan Keimin Bunka Shidoso pada 1 April 1943 untuk mengawasi karya para seniman agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang.
  6. kondisi  sosial  yang  sangat  parah  (kesulitan  makanan,  penyakit  dsb) menyebabkan maraknya tindak kriminal seperti perampokan, pemerkosaan dan lain-lain.
  7. Adanya praktik perbudakan wanita (yugun ianfu). Banyak wanita muda Indonesia yang digunakan sebagai wanita penghibur bagi perang Jepang.
  8. Pembatasan   pers   sehingga   tidak   ada   pers   yang   independent   dan pengawasan berada di bawah pengawasan Jepang.

c.  Dampak dalam Bidang Ekonomi

  1. Jepang mengeksploitasi   sumber daya alam   dan sumber daya manusia untuk kepentingan perang jepang.
  2. Jepang mengmbil secara paksa makanan, pakaian dan pembekalan lainnya dari rakyat Indonesia tanpa kompensasi.
  3. Terjadinya inflasi dan krisis ekonomi yang sangat menyengsarakan rakyat.
  4. Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang sehingga seluruh potensi  SDA  dan  bahan  mentah  lainnya  digunakan  untuk  mendukung industri perang.
  5. Penerapan  sanksi  yang  berat  oleh  Jepang  dengan  menerapkan  sistem ekonomi secara ketat.
  6. Menerapkan  sistem  ekonomi  perang  dan  sistem  autarki  (memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang)
  7. Perkebunan-perkebunan    diawasi    dan    dipegang    sepenuhnya    oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti tanamannya untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu  dan  membuat  gula.  Beberapa  perusahaan  swasta  Jepang  yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya
  8. Masyarakat  juga  diwajibkan  untuk  melakukan  pekerjaan  yang  dinilai berguna bagi masyarakat luas, seperti memperbaiki jalan, saluran air, atau menanam pohon jarak. Mereka melakukannya secara bergantian. Untuk mejalankan  tugas  tersebut  dengan  baik,  maka  dibentuklah  tonarigumi (rukun tetangga) untuk memobilisasi massa dengan efektif.


C.  Dampak dalam Bidang Pendidikan 

  1. Pada masa pendudukan Jepang, keadaan pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Pendidikan tingkat dasar hanya satu, yaitu pendidikan enam tahun. Hal itu sebagai politik Jepang untuk memudahkan pengawasan.
  2. Para  pelajar  wajib  mempelajari  bahasa  Jepang.  Mereka  juga  harus mempelajari adat istiadat Jepang dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, serta gerak badan sebelum pelajaran dimulai.
  3. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran wajib
  4. Sementara  itu,  perguruan  tinggi  di  tutup  pada  tahun  1943.  Beberapa perguruan tinggi yang dibuka lagi adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung. Jepang juga membuka Akademi Pamong Praja (Konkoku Gakuin) di Jakarta, serta Perguruan Tinggi Hewan di Bogor. Pada saat itu, perkembangan perguruan tinggi benar-benar mengalami kemunduran
  5. pelajar juga dianjurkan untuk masuk militer. Mereka diajarkan Heiho atau sebagai pembantu prajurit. Pemuda-pemuda juga dianjurkan masuk barisan seinenden dan keibodan (pembantu polisi). Mereka dilatih baris berbaris dan perang meskipun hanya bersenjatakan kayu. Dalam seinenden   mereka   dijadikan  barisan  pelopor   atau   suisintai.   Barisan pelopor itu mendapat pelatihan yang berat. Latihan militer itu kelak sangat berguna bagi bangsa kita.


D. Dampak dalam Bidang Militer

Akibat pendudukan Jepang bidang militer Perbedaan antara masa penjajahan sebelumnya dengan masa pendudukan Jepang adalah rakyat Indonesia mendapatkan manfaat pengalaman dan pelatihan militer mencakup dalam bidang ketentaraan, bidang pertahanan, dan bidang keamanan. Pelatihan militer yang diperoleh rakyat Indonesia adalah: dalam hal  dasar-dasar  militer,  baris  berbaris  dan  latihan  menggunakan senjata, Melalui propagandanya, Jepang berhasil membujuk penduduk untuk menghadapi Sekutu. Oleh karena itu, Jepang melatih penduduk dengan latihan-latihan militer. Pada 1943 Jepang semakin intensif mendidik dan melatih pemuda Indonesia di bidang militer. Jepang membentuk organisasi semi militer dan organisasi militer yang harus diikuti para pemuda di Indonesia untuk membantu Jepang yang semakin terdesak oleh Sekutu dalam Perang Pasifik. Seperti Seinendan, Keibodan (pembantu polisi), Fujinkai, Hizbullah dan Barisan Pelopor serta Heiho (sebagai pembantu prajurit) dan PETA (Pembela Tanah Air). Bekas pasukan PETA akan menjadi kekuatan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama