Pemberontakan PKI Madiun 1948
- Soerjo, Gubernur I Jawa Timur,
- Doerjat, Kombes Polisi I, dan
- Soerono, Kompol Polisi I.
Bermula pada bulan November 1948, ketika Presiden Soekarno memanggil gubernur seluruh Indonesia, itu tepat diperingati sebagai hari pahlawan di Yogyakarta yang dihadiri para pejabat pemerintah, salah satunya adalah gubernur Soerjo. Setelah menghadiri peringatan hari pahlawan, Gubernur Soerjo pamit undur diri untuk pergi ke Madiun. Sebelum sampai di Madiun mobil beliau dicegat anggota Bataliyon FDR, Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Maladi Yusuf ditengah Hutan Peleng, Kedunggalar, Ngawi. Kendaraan yang digunakan Gubernur Soerjo dan dua perwira polisi itu pun di bakar oleh. Ketiganya kemudian ditelanjangi dan dicaci maki, ketiganya diikat, lalu diseret hingga lebih dari 5 KM dengan menggunakan kuda. Dua perwira polisi tersebut lebih dahulu meninggal akibat diseret. Mereka terus menyeret Gubernur Soerjo melewati aliran sungai Bengawan Solo, Sungai sonde, dan Kali Kakah. Di Sungai Kakah itulah Gubernur Suryo gugur ditangan kelompok FDR tersebut. Empat hari kemudian, jenazah Gubernur Soerjo dan dua perwira polisi baru ditemukan dalam kondisi sangat mengenaskan. Jenazah itu kemudian dimakamkan di Sasono Mulyo yg terletak di Sawahan, Kabupaten Magetan. Meskipun sudah 72 tahun telah berlalu namun peristiwa PKI Madiun tak akan pernah sirna dari perjalanan panjang dinamika perkembangan politik di Indonesia. Peristiwa PKI 48 merupakan peristiwa yang kelam dengan terenggutnya banyak nyawa terutama dari kaum ulama. Apakah sebenarnya latar belakang PKI melakukan pemberontakan dan apakah tujuan sebenarnya dari pemberontakan PKI Madiun tesebut?
Di atas kapal USS Renville yang saat itu tengah berlabuh di Tanjung Priok telah ditanda tangani sebuah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia bersama Komisi Tiga Negara (KTN) yang dikenal sebagai perjanjian Renville. Seperti yang telah kalian pelajari pada materi sejarah Indonesia kelas XI Penandatanganan perjanjian Renville yang dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 1948 dinilai sangat merugikan bangsa Indonesia yang baru mereka karena wilayah Indonesia semakin sempit.
Tokoh dalam gambar adalah orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap penandatanganan perjanjian Renville. Persetujuan terhadap perjanjian inilah yang akhirnya menyebabkan kabinetnya jatuh dengan mosi tidak percaya dan anggota- anggota PNI dan Masyumi dalam kabinetnya juga ikut mundur pasca disetujuinya perjanjian Renville.
Dengan mundurnya dia dari kursi perdana mentri, menyebabkan dia menjadi seorang yang oposan kepada pemerintah. Kekecewaan terhadap kejatuhannya dari kursi perdana menetri membuatnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948 yang mendapatkan dukungan dari PKI, Sobsi, dan partai Sosilis. Tujuan kelompok FDR adalah menuntut pembubaran kabinet Hatta. FDR menyerang kebijakan kabinet Hatta terkait kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi angkatan perang. Tujuan yang kedua melakukan tindakan pemogokan umum agar kondisi politik pemerintahan menjadi tidak stabil.
Kedatangannya Muso pada tanggal 11 Agustus 1948 disambut gembira oleh ketua umum FDR. Kembalinya Muso dari Moskow membawa misi yang besar yaitu ingin mendirikan negara Republik Indonesia Soviet yang berhaluan kiri. Dalam sidang Politbiro PKI pada 13-14 Agustus 1948, ia menawarkan resolusi yang dikenal dengan sebutan “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Dia menginginkan agar dibentuknya kerjasama yang dipimpin oleh kaum sosialis dan komunis untuk menentang politik penjajahan. Oleh sebab itu Organisasi sosialis dan Komunis melebur dalam PKI termasuk di dalamnya adalah FDR. Muso dan Amir mendeklarasikan pimpinan di bawah mereka, Muso dan Amir menggoyahkan kepercayaan masyarakat dengan menghasut dan membuat semua golongan menjadi bermusuhan dan saling mencurigai satu dengan yang lain.
Di samping itu kabinet Hatta yang menggantikan kabinet Amir Syarifudin dianggap oleh PKI kontroversial dengan kebijakannya mengenai RERA (Reorganisasi dan Rasionalisasi) angkatan bersenjata. Amir dan Muso memanfaatkan kebijakan RERA untuk menghasut kelompok militer yang berpandangan sosialis. Selain menentang kebijakan RERA, beberapa aksi juga dilakukan kelompok Amir Muso antara lain:
• Melancarkan propaganda anti pemerintah.
• Memprovokasi para buruh untuk melakukan mogok kerja
• Melakukan pembunuhan-pembunuhan khusunya di Madiun
Selain ingin menjatuhkan kabinet Hatta strategi lain yang dipakai oleh FDR dalam peristiwa pemberontakan PKI Madiun adalah dengan cara melakukan pemogokan umum dan mnciptakan berbagai kekacauan lainnya untuk menghilangkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Untuk memperkuat wilayah yang telah di pimpin oleh FDR, mereka menarik pasukan pro-FDR dari medan tempur. Untuk mengalihkan perhatian dan untuk menghadang TNI, FDR menjadikan Madiun sebagai basis pemerintahan dan Surakarta dinjadikan sebagai daerah kacau.
Muso dan Amir berkeliling ke beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mempropagandakan PKI beserta programnya yang bertujuan untuk menjatuhkan wibawa pemerintah. Sambil menjelek-jelekan pemerintah, sementara itu PKI mempertajam persaingan anatara pasukan TNI yang pro-PKI dan yang pro pemerintah. Pemberontakan PKI Madiun (Madiun Affair) di picu karena adanya persaingan pasukan TNI yang pro-PKI dan yang propemerintah.
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya diplomasi dengan Muso, bahkan sampai mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka. Namun, kondisi politik sudah terlampau panas, sehingga pada pertengahan September 1948, pertempuran antara kekuatan-kekuatan bersenjata yang memihak PKI dengan TNI mulai meletus. PKI dan kelompok pendukungnya kemudian memusatkan diri di Madiun.
Muso pun kemudian pada tanggal 18 September 1948 memproklamirkan Republik Soviet Indonesia. Pada awal pemberontaknnya PKI membantai rakyat dan tentara dan kaum santriyang masih setia kepada pancasila. Melihat sepak terjang PKI yang sangat membahayakan bagi NKRI, Presisen Seokarno melalui siarannya di RRI Yogyakarta menyampaikan pesan kepada masyarakat Indonesia betapa sangat berbahayanya PKI Muso bagi keutuhan bangsa Indonesia. PKI Muso mempunyai tujuan untuk untuk merampat kedaulatan Indonesia yang berasaskan Pancasila menggantinya dengan negara komunis.
Kepada Jendral Soedirman, Presiden Soekarno memberikan mandatnya untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Soedirman segera menugaskan kolonel Nasution dan letkol Soeharto untuk bergerak. TNI berhasil melucuti persenjataan FDR Yogyakarta dan menangkap para tokoh militan PKI seperti Alimin, Djoko Sudjono dan Siauw Giok Tjan. Semua penerbitan yang berafiliasi PKI turut diberangus, percetakan disegel, poster-poster dan sapanduk-spanduk dibersihkan dan diganti dengan poster- poster bertuliskan “kami hanya mengakui pemerintah Soekarno-Hatta”.
Setelah Madiun berhasil direbut TNI, Musso dan pengawalnya melarikan diri ke arah ponorogo, sementara TNI melakukan pengejaran terhadapnya. Dalam kejar-kejaran terjadi saling tembak hingga kuda delman tertembak. Musso berlari dan bersembunyi di sebuah kamar mandi di sebuah pemandian umum. Satu peleton tentara mengepung dan kembali terjadi baku tembak. Ketika keluar kamar mandi, Musso tertembak dua kali.
Sementara itu Amir Syarifudin telah diketahui bertahan di hutan jati di pegunungan sekitar Klambu. Akibat pengepungan yang rapat ini, ditambah dengan bantuan alam yang berupa hujan hampir setiap hari, Amir Syarifudin dapat ditangkap untuk kemudian dibawa ke solo untuk mmepertanggungjawabkan segela perbuatannya di meja hijau.
Pemberontakan PKI 1965 / G.30S PKI
Terlepas dari ke 5 teori tentang peristiwa berdarah G 30 S PKI yang terjadi di Indonesia. Sepak terjang PKI masih begitu terasa memilukan dan merupakan perjalanan sejarah yang kelam bagi perjalanan politik Indonesia pada awal kemerdekaan.
Peristiwa G30S/PKI atau biasa disebut dengan Gerakan 30 September merupakan salah satu peristiwa pemberontakan komunis yang terjadi pada bulan September sesudah beberapa tahun Indonesia merdeka. Peristiwa G30S PKI terjadi di malam hari tepatnya pada tanggal 30 September tahun 1965. Dalam sebuah kudeta, setidaknya ada 7 perwira tinggi militer yang terbunuh dalam peristiwa tersebut. Lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Tendean menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian, ia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana, ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, bertugas memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Pada tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.
Saat itu tanggal 1 Oktober dini hari pukul 03.30 WIB, di Ruang tamu, Lettu Piere sedang beristirahat, tanggal 30 September keamrin seharusnya dia pulang ke Semarang untuk merayakan ulang tahun ibunya, tapi karena tugasnya sebagai pengawal jendral AH. Nasution, ia harus menundanya. Di saat beristirahat inilah dia mendengar keributan, sebagai seorang pengawal, iapun bergegas mencari sumber keributan tersebut. Piere kaget karena penyebabnya adalah pasukan Cakrabirawa, meraka lantas mengepung dan menodongkan senjata. Piere tak berkutik. Melihat hal yang tak beres demi melindungi atasannya, Piere mengaku jika dirianya adalah Jendral Nasution yang dicari pasukan Cakrabirawa. “Saya jendreal Nasutiom” serunya kepada pasukan cakrabirawa. Pasukan Cakrabirawapun langsung membawanya ke lubang buaya untuk disiksa dan akhirnya dibunuh dengan cara yang keji.
Tembakan dari pasukan cakrabirawa seketika melesat, masuk ke tangan Adik Ipar Johana ibu Ade Irma Suryani Nasution, lalu menembus punggung gadis kecil Ade. Darah membasahi tubuh si mungil yang tak berdosa itu hingga menggenang ke lantai. Ade Irma sempat bwa ke RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) untuk diberikan pertolongan. Ade irma sempat bertanya ke pada mamanya “kenapa Ayah mau dibunuh, mama? Ade Irma Suryani, Akhirnya mengembuskan tanggal 6 Oktober 1965. Di depan nisan anaknya AH nasution menuliska kata-kata “Anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ayahmu”. Lalu siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap tragedi berdarah ini?. Dipa Nusantara Aidit merupakan salah seorang dalam kebinet Dwikora, sekaligus ketua Central Committee (CC) Partai Komunis Indonesia. Dialah yang dianggap oleh pemerintah Orde baru, bertanggung jawab atas gerakan 30 September 1965 (G 30 S PKI). Pada tahun 1965 PKI kembali berhasil menjadi partai besar no 4 di Indonesia sebelum terjadinya peristiwa di Lubang Buaya.
Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sejak itu pula presiden Soekarno mengenalkan “Demokrasi Terpimpin”. Demokrasi Terpimpin oleh satu orang yaitu presiden Sekarno. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM. Sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Soekarno juga menjadi kekuatan penengah antara kelompok politik besar yang saling mencurigai
Usul pembentukan angkatan ke 5 selain AD-AU-AL-Polisi yang dikemukakan oelh PKI pada Januari 1965, diakui memang semakin memperkeruh suasana terutama dalam hubungan antara PKI dan AD. Tentara telah membayangkan bagaimana 21 juta petani dan buruh bersenjata, bebeas dari pengawasan mereka. Bagi para petinggi militer ggasan ini bisa berarti pungkuhan aksi politik yang matang, bermuara pada dominasi PKI yang hendak mendirikan pemerinahan komunis yang pro RRC (Republik Rakyat Cina) yang komunis di Indonesia. Usulan ini akhirnya memang gagal direalisasikan. Oleh karena itu akhirnya PKI meniupkan isu dewan jendral di tubuh AD yang tengah mempersiapkan suatu kudeta. Dan PKI memperkuat aksi fitnah dengan menyodorkan “dokumen Gilchrist”
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Tepatnya tanggal 1 Oktober dini hari pasukan Cakrabirawa dibawah pimpinan letnan kolonel Untung secara memualai aksinya dengan target melakukan aksi penculikan terhadap 7 jendral. Pasukan Cakrabirawa bergerak dari lapangan udara menuju Jakarta daerah selatan. Tujuh jenderal tersebut adalah Ahmad Yani. MT Haryono, D.I Panjaitan yang langsung dibunuh dirumah masing-masing, sementara Soeprapto, S.Parman dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup kemudian disiksa dan dibunuh oleh PKI, Satu target PKI lolos dan mampu melarikan diri ketika segerombolan pasukan Cakrabirawa mengepung rumahnya, dia melompat pagar rumah dubes Irak yang bersebelahan rumah. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah lubang buaya.
Jam 7 pagi, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan sebuah pesan yang berasal dari Untung Syamsuri, Komandan Cakrabiwa bahwa G30S PKI telah berhasil diambil alih di beberapa lokasi stratergis Jakarta beserta anggota militer lainnya. Mereka bersikeras bahwa gerakan tersebut sebenarnya didukung oleh CIA yang bertujuan untuk melengserkan Soekarno dari posisinya.
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1965 sore hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat direbut kembali tanpa pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana. Pada tanggal 2 Oktober, Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto. Pada pikul 12.00 siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI – AD dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI – AD tersebut dibawah ke Lubang Buaya. Karena daerah terebut diselidiki secara intensif, akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965 titemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh tersebut.. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris tengah ¾ meter dengan kedalaman kira – kira 12 meter, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.
Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan kembali (karena ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari) yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO – AL dengan disaksikan pimpinan sementara TNI – AD Mayjen Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI – AD tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Pada tanggal 6 Oktober, dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet Dwikora, para perwira TNI – AD tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi.
Posting Komentar