Peran Tokoh-Tokoh Daerah Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

“Maju Tak Gentar Membela Yang Benar….Maju Tak Gentar Hak Kita di Serang…...Maju serentak Mengusir Penyerang…..Maju serentak Tentu Kita Menang….

Hayo, Smart Student, siapa di antara kalian yang bacanya sambil nyanyi? Pasti hampir semua deh ..hi…hi. Lagu tersebut diciptakan oleh C. Simanjuntak. 

Kebayangkan semangat juang para tokoh-tokoh daerah kita dalam mengusir penjajah, mau tahu siapa saja tokoh daerah kita tersebut, kita akan awali dari pulau Sumatera hingga ke Maluku, pasti penasarankan siapa saja tokoh –tokoh daerah tersebut.

1.   Tjut Nyak’ Dien (Aceh)

 


Cut Nyak Dhien adalah pahlawan wanita Indonesia inspiratif dari Aceh yang lahir pada tahun 1848. Dia adalah anak dari keluarga bangsawan yang agamis. Pada tahun 1880 Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar dan dikaruniai seorang anak bernama Cut Gambang. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar berjuang bersama melawan penjajah Belkalian, namun pada tahun 1899 Teuku Umar gugur ditembak oleh pasukan Belkalian, karena Belkalian merasa dikhianati oleh Teuku Umar dengan berpura-pura memihak Belkalian. Teuku Umar pada awalnya merahasiakan rencana nya untuk menjatuhkan belkalian tetapi seiring berjalannya waktu akhirnya belkalian mengetahuinya dan membunuhnya. Ketika ayahnya meninggal, Cut Gambang menangis dan ibunya (Cut Nyak Dhien) berkata ''sebagai perempuan Aceh tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid''

Namun Cut Nyak Dhien tidak berhenti berjuang meskipun Teuku Umar meninggal ia tetap melanjutkan perjuangan suami nya dengan berjuang sendiri memimpin perang di daerah pedalaman Meulaboh bersama dengan pasukannya. Belkalian selalu berusaha untuk menangkap Cut Nyak Dhien karena merasa bahwa Cut Nyak Dien sangat berpengaruh pada masyarakatnya dalam berperang, namun sayang Belkalian seringkali gagal menangkapnya karena taktik yang dimilikinya.

Kemudian Cut Nyak Dhien di khianati oleh seorang yang sangat dipercayai nya  yaitu  Teuku  Leabeh,  dia  menjadi  mata-mata  dan  memberi  tahu  kepada belkalian    dimana    Cut    Nyak    Dhien    berada    dan    merencanakan    untuk menangkapnya namun akhinya Cut Nyak Dhien mengetahuinya, akhirnya teuku leabeh bersama dengan pasukan belkalian terbunuh.

Semakin menua kondisi kesehatan Cut Nyak Dhien semakin memprihatinkan, matanya yang sudah mulai rabun, dan hal ini membuat iba dan akhirnya salah satu anak buahnya yang bernama Pang Laot memberi tahu lokasi Cut Nyak Dhien kepada Belkalian dengan syarat mereka harus merawat Cut Nyak Dhien  dengan  baik  kemudian  Belkalian  mengasingkan  Cut  Nyak  Dhien  di Sumedang dan ia pun meninggal disana pada tahun 1906.


2. Sisinga Mangaraja XII (Tapanuli Sumatera Utara)


Sisingamangaraja  XII  (lahir  di  Bakara,  18  Februari  1845 – meninggal  di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatra Utara, pejuang yang berperang melawan Belkalian, kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.

Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik takhta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belkalian dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belkalian, dan yang tidak mau menkaliantangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belkalian sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Pada  1824  Perjanjian  Belkalian  Inggris  (Anglo-Dutch  Treaty  of  1824) memberikan seluruh wilayah Inggris di Sumatra kepada Belkalian. Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belkalian untuk meng-aneksasi seluruh wilayah yang belum dikuasai di Sumatra.

Pada tahun 1873 Belkalian melakukan invasi militer ke Aceh (Perang Aceh, dilanjutkan dengan invasi ke Tanah Batak pada 1878. Raja-raja huta Kristen Batak menerima masuknya Hindia Belkalian ke Tanah Batak, sementara Raja Bakkara, Si Singamangaraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Aceh menolak dan menyatakan perang.

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belkalian dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belkalian dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal  6 Februari 1878 pasukan Belkalian sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah  pasukan  Belkalian  terus menuju  ke Bahal  Batu  untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belkalian di Bahal Batu mulai dilakukan.

Pada  tanggal  14  Maret  1878  datang  Residen  Boyle  bersama  tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang  tentara dari SibolgaPada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belkalian untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belkalian.

Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, tetapi sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belkalian.

Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belkalian antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884. Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belkalian di pinggir bukit Lae Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang.[1] Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belkalian yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang napas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belkalian secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga. Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.


3.  Tuanku Imam Bonjol (Sumatera Barat)

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, Indonesia, 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang  melawan  Belkalian  dalam  peperangan  yang  dikenal  dengan  nama Perang  Padri  pada  tahun  1803-1838.Tuanku  Imam  Bonjol  diangkat  sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Syahab, yang lahir di Bonjol pada 1 Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Syahab   (ayah)   dan   Hamatun   (ibu).   Ayahnya,   Khatib   Bayanuddin   Syahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Syahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.  Salah  satu  Naskah  aslinya  ada  di  Dinas  Kearsipan  dan  Perpustakaan  Provinsi Sumatra Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang Sumatra Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan dan Perpustakàan Provinsi Sumatra Barat.

Tak   dapat   dipungkiri,   Perang   Padri   meninggalkan   kenangan   heroik sekaligus  traumatis  dalam  memori  bangsa.  Selama  sekitar  18  tahun  pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mkalianiling atau Batak umumnya.

Pada  awalnya  timbulnya  peperangan  ini  didasari  keinginan  dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi.

Pada  21  Februari  1821,  kaum  Adat  secara  resmi  bekerja  sama  dengan pemerintah Hindia Belkalian berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditkaliantangani di Padang, sebagai kompensasi Belkalian mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Tuanku Imam Bonjol

Campur tangan Belkalian dalam perang itu ditkaliani dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam hal ini, Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belkalian untuk menundukkannya. Oleh sebab itu, Belkalian melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang kala itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena pada saat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belkalian dengan menyerang nagari Pkaliani Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Padri melawan Belkalian, kedua pihak bahu-membahu melawan Belkalian, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belkalian. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belkalian dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mkalianiling dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belkalian dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[7] yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belkalian, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belkalian, terdapat Mayor Jenderal Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai oleh orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belkalian, di mana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belkalian di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belkalian.

Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belkalian mulai melanjutkan kembali  pengepungan,  dan  pada  masa-masa  selanjutnya,  kedudukan  Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belkalian. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belkalian mengganti komkaliann perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belkalian pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belkalian. Imam Bonjol dibuang ke ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.  Tuanku  Imam  Bonjol  menulis  autobiografi  yang  dinamakan  Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi penyesalannya atas kekejaman dalam  perang Padri[8]. Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley, dan 2004 di Padang.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi    akan    kepahlawanannya    dalam    menentang    penjajahan,sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973. Selain itu, nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran uang Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.


4. Sultan Mahmud Badarudin (Palembang)

Sultan Mahmud Badaruddin II

Sultan Mahmud Badaruddin II (lahir: Palembang, 1767, wafat: Ternate, 26 September 1852) adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua  periode  (1803-1813,  1818-1821),  setelah  masa  pemerintahan  ayahnya, Sultan  Muhammad  Bahauddin  (1776-1803).  Nama  aslinya  sebelum  menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.

Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belkalian, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belkalian berhasil menguasai Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate. Namanya kini diabadikan sebagai nama bkalianra internasional di Palembang, Bkalianra Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan  10.000-an  yang  dikeluarkan  oleh  bank  Indonesia  pada  tanggal  20 Oktober 2005. Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya, namun kemudian terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak milik panitia penyelenggara lomba lukis wajah SMB II.

Konflik dengan Inggris Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belkalian. demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditkaliani dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belkalian dibangun di Sungai Aur (10 Ulu). 

Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810: Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belkalian. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belkalian dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).

Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belkalian, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belkalian. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.

Pada tanggal 14 September 1811 terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belkalian menuduh Britanialah yang memprovokasi  Palembang  agar  mengusir  Belkalian.  Sebaliknya,  Britania  cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya. Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.

Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah menkaliantangani perjanjian dengan syarat- syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of York's Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Kapten Robert Meares dari kesatuan 17th Native Infantry of East India Company sebagai residen.

Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Bangka. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.

Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali  pada  13  Juli  1813  hingga  dilengserkan kembali  pada  Agustus  1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mkaliant yang diberikannya tidak sesuai. Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belkalian semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang  kepada Belkalian. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.

Belkalian kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris    di    Palembang.    Tindakan    pertama    yang    dilakukannya    adalah mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, SMB  II  berhasil  naik  takhta  kembali pada  7  Juni  1818. Sementara itu,  Husin Diauddin   yang   pernah   bersekutu   dengan   Britania   berhasil   dibujuk   oleh Muntinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.

Pada dasarnya pemerintah kolonial Belkalian tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belkalian. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belkalian

Pertempuran  melawan  Belkalian  yang  dikenal  sebagai  Perang  Menteng (dari kata Muntinghe) pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belkalian. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.

Belkalian tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Merkus de Kock dan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang  dengan  kekuatan  dilipatgkaliankan.  Tujuannya  melengserkan  dan menghukum    SMB    II,    kemudian    mengangkat    keponakannya    (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.

SMB II  telah  memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena  itu,  ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomkalianni keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.

Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belkalian dengan  tembakan  atas  perintah  Wolterbeek.  Serangan  ini  disambut  dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819.

SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung  jawab  benteng-benteng  dirotasi,  tetapi  masih  dalam  lingkungan keluarga sultan.

Setelah melalui penggarapan bangsawan ( susuhunan husin diauddin dan sultan  ahmad  najamuddin  prabu  anom  )dan  orang  Arab  Palembang  melalui pekerjaan  spionase,  dan  tempat  tempat  pertahanan  disepanjang  sungai  musi sudah  diketahui  oleh  belkalian  serta  persiapan  angkatan  perang  yang  kuat, Belkalian datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belkalian sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belkalian mengalami kekalahan. De Kock tidak  memutuskan  untuk  kembali  ke  Batavia,  melainkan  mengatur  strategi penyerangan. 

Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belkalian secara tiba-tiba menyerang Palembang. di depan sekali kapal yang tumpangi saudaranya Susuhunan Husin Diauddin dan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dan Susuhunan Ratu Bahmud Badaruddin / SMB 2 merasa serba salah, kalau ditembak saudaranya sendiri yang berada dikapal belkalian dan anggapan orang sultan palembang Darussalam sampai hati membunuh saudara karena harta / tahta (Badar Darussalam. Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira pada hari Minggu orang Belkalian tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belkalian. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belkalian di Palembang.

Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal , SMB II beserta sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852. Sebagian Keluarga Sultan karena tidak mau ditangkap, mengasingkan diri ke daerah Marga Sembilan yang di kenal sekarang sebagai Kabupaten Ogan Komering Ilir dan berasimilasi dengan penduduk di Desa yang dilewati Mulai dari Pampangan sampai ke Marga Selapan Kecamatan Tulung Selapan Panglima Radja Batu Api sampai meninggal disemayamkan Di Tulung Selapan. ( selama 35 tahun tinggal di Ternate dan sketsa tempat tinggal Sri Paduka Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin / SMB II disimpan oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja).


5.   Radin Inten II (Lampung)

Radin Inten II

Radin  Inten  II  (Aksara  Lampung: ;  lahir  lahir  di  Kuripan, Lampung, 1 Januari 1834 – meninggal di Negara Ratu, Lampung, 5 Oktober 1858 pada  umur  24  tahun  adalah  seorang  pahlawan nasional  Indonesia.  Namanya diabadikan sebagai sebuah Bkalianra Radin Inten II dan perguruan tinggi IAIN Raden Intan di Lampung.

Berdasarkan penelitian, Radin Inten II masih keturunan Fatahillah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dari perkawinannya dengan Putri Sinar Alam, seorang putri dari Minak Raja Jalan Ratu dari Keratuan Pugung, cikal-bakal pemegang kekuasaan di keratuan tersebut. Radin Inten II adalah putra tunggal Radin Imba II (1828-1834). Radin Imba II sendiri putra sulung Radin Inten I gelar Dalam Kesuma Ratu IV (1751-1828). Dengan demikian, Radin Inten II cucu dari Radin Inten I.

Pada saat Radin Inten II lahir tahun 1834, ayahnya, Radin Imba II, ditangkap oleh Belkalian dan dibuang ke P. Timor, akibat memimpin perlawanan bersenjata menentang  kehadiran  Belkalian  yang  ingin  menjajah  Lampung.  Istrinya  yang sedang  hamil  tua,  Ratu  Mas,  tidak  dibawa  ke  pengasingannya.  Pemerintahan Keratuan  Lampung  dijalankan  oleh  Dewan  Perwalian  yang  dikontrol  oleh Belkalian.

Radin Inten II tidak pernah mengenal ayah kandungnya tersebut, tetapi ibunya selalu menceritakan perjuangan ayahnya sehingga pada saat dinobatkan sebagai Ratu Negara Ratu, Radin Inten II melanjutkan berjuang memimpin rakyat di daerah Lampung untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayahnya. Perjuangannya didukung secara luas oleh rakyat daerah Lampung dan mendapatkan bantuan dari daerah lain, seperti Banten.

Salah satunya dengan H. Wakhia, tokoh Banten yang pernah melakukan perlawanan terhadap Belkalian dan kemudian menyingkir ke Lampung. Radin Inten II mengangkat H. Wakhia sebagai penasihatnya. H. Wakhia menggerakkan perlawanan di daerah Semangka dan Sekampung dengan menyerang pos-pos militer Belkalian. Tokoh lain yang juga menjadi pendukung utama Radin Inten II ialah Singa Beranta, Kepala Marga Rajabasa.

Sementara itu, Radin Inten II memperkuat benteng-benteng yang sudah ada dan   membangun  benteng-benteng   baru.   Benteng-benteng   ini   dipersenjatai dengan meriam, lila, dan senjata-senjata tradisional. Bahan makanan seperti beras dan ternak disiapkan dalam benteng untuk menghadapi perang yang diperkirakan akan berlangsung lama. Semua benteng tersebut terletak di punggung gunung yang terjal, sehingga sulit dicapai musuh. Beberapa panglima perang ditugasi memimpin   benteng-benteng   tersebut.   Singaberanta,   misalnya,   memimpin benteng Bendulu, sedangkan Radin Inten II sendiri memimpim benteng Ketimbang.

Melihat munculnya kembali perlawanan di daerah Lampung setelah reda selama enam belas tahun, pada tahun 1851 Belkalian mengirim pasukan dari Batavia. Pasukan berkekuatan 400 prajurit yang dipimpin oleh Kapten Jucht ini bertugas merebut benteng Merambung. Akan tetapi, mereka dipukul mundur oleh pasukan Radin Inten II. Karena gagal merebut Merambung, Belkalian mengubah taktik. Kapten Kohler, Asisten Residen Belkalian di Teluk Betung, ditugasi untuk mengadakan perundingan dengan Radin Inten II.

Setelah berkali – kali mengadakan perundingan, akhirnya dicapai perjanjian untuk tidak saling menyerang. Belkalian mengakui eksistensi Negara Ratu. Raden Inten II pun mengakui kekuasaan Belkalian di tempat – tempat yang sudah mereka duduki. Perjanjian itu digunakan Belkalian hanya sebagai adem pause menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan besar – besaran. Bagi mereka dengan cara apa pun, Raden Inten II harus ditundukan.

Belkalian yakin, selama Radin Inten II masih berkuasa, kedudukan mereka di Lampung akan tetap terancam. Namun, sebelum memulai serangan-serangan baru, Belkalian berusaha memecah belah masyarakat Lampung. Kelompok yang satu diadu dengan kelompok yang lain. Di kalangan masyarakat ditimbulkan suasana saling mencurigai. Tugas itu dipercayakan kepda Kapten Kohler. 

Di beberapa tempat usahanya berhasil. Pemuka – pemuka masyarakat Kalikalian, misalnya, termakan hasutan untuk memusuhi Radin Inten II, sehingga mereka tidak menghalang – halangi pasukan Belkalian berpatroli di sekitar Gunung Rajabasa.

Pada tanggal 10 Agustus 1856 pasukan Belkalian diberangkatkan dari Batavia dengan beberapa kapal perang. Pasukan ini dipimpin oleh Kolonel Welson dan terdiri atas pasukan infanteri, artileri dan zeni disertai sejumlah besar kuli pengangkut barang. Esok harinya mereka mendarat di Canti. Kekuatan mereka bertambah dengan bergabungnya pasukan Pangeran Sempurna Jaya Putih, bangsawan Lampung yang sudah memihak Belkalian.

Iring – iringan kapal perang Belkalian yang memasuki perairan Lampung ini dilihat oleh Singaberanta dari Benteng Bendulu. Ia segera mengirim kurir ke Benteng Ketimbang untuk memberitahukan hal itu kepada Radin Inten II yang selanjutnya memerintahkan pasukannya di benteng-benteng lain agar menyiapkan diri.

Belkalian mengirim ultimatum kepada Radin Inten II agar paling lambat dalam waktu lima hari ia dam seluruh pasukannya menyerahkan diri. Bila tidak, Belkalian akan melancarkan serangan. Singaberanta pun dikirimi surat yang mengajaknya untuk berdamai. Sambil menunggu jawaban dari Radin Inten II dan Singaberanta,  pasukan  Belkalian mengadakan konsolidasi.  Radin Inten  II  pun meningkatkan persiapannya.

Benteng-benteng  diperkuat.  Beberapa  orang  kepercayaannya diperintahkan memasuki daerah-daerah yang sudah  dikuasai  Belkalian untuk menganjurkan penduduk di tempat tersebut agar mengadakan perlawanan. Sampai batas waktu ultimatum berakhir, baik Radin Inten II maupun Singaberanta tidak memberikan jawaban. Maka, pada tanggal 16 Agustus 1856 pasukan Belkalian pun mulai melancarkan serangan. Sasaran mereka hari itu ialah merebut Benteng Bendulu. Pukul 08.00 mereka sudah tiba di Bendulu setelah menempuh jarak setapak di punggung gunung yang cukup terjal. Akan tetapi, mereka menemukan benteng itu dalam keadaan kosong. Singaberanta sudah memindahkan pasukannya ke tempat lain. Ia dengan sengaja menghindari perang terbuka, sebab yakin bahwa pasukan lawan yang dihadapinya jauh lebih kuat. Pasukannya disebar di tempat-tempat yang cukup tersembunyi  dengan  tugas  melakukan  pencegatan  terhadap  patroli  pasukan Belkalian yang keluar benteng. Sesudah menduduki Benteng Bendulu, sebagian pasukan Belkalian bergerak ke benteng Hawi Berak yang dapat mereka kuasai pada tanggal 19 Agustus.

Di Bendulu, pasukan Belkalian berhasil menangkap seorang kemenakan Singaberanta dan 14 orang lainnya. Mereka dipaksa menunjukkan tempat Singaberanta dan menunjukkan jalan menuju Ketimbang. Semuanya mengatakan tidak tahu. Namun, mereka terpaksa menunjukkan tempat Singaberanta menyimpan senjata, antara lain 25 tabung mesiu, 1 pucuk meriam, 4 pucuk lila, dan beberapa pucuk senapan.

Sasaran utama Belkalian ialah merebut benteng Ketimbang, sebab di benteng  inilah  Radin  Inten  II  bertahan.  Untuk  merebut  benteng  ini,  kolonel Waleson membagi tiga pasukannya. Satu pasukan bergerak dari Bendulu ke arah selatan dan timur Gunung Rajabasa, satu pasukan bergerak menuju Kalikalian dan Way Urang dengan tugas merebut benteng Merambung dan setelah itu langsung menuju Ketimbang.

Pasukan ketiga bergerak dari Panengahan untuk merebut benteng Salai Tabuhan dan selanjutnya menuju Ketimbang. Ternyata, pelaksanaannya tidak semudah seperti yang direncanakan. Kesulitan utama ialah Belkalian belum mengetahui  jalan  menuju  Ketimbang.  Penduduk  yang  tertangkap  tidak  mau menunjukkan jalan tersebut. Oleh karena itu, pasukan yang langsung dipimpin Kolonel Welson dan sudah menduduki Hawi Berak, terpaksa kembali ke Bendulu. Pasukan lain yang dipimpin Mayor Van Ostade berhasil mencapai Way Urang yang penduduknya sudah memihak Belkalian. Walaupun pasukan ini sempat tertahan di Kelau akibat serangan yang dilancarkan pasukan Radin Inten II, tetapi akhirnya mereka berhasil juga merebut benteng Merambung.

Sebenarnya, letak benteng Ketimbang tidak jauh dari benteng Merambung. Akan tetapi, Belkalian tidak mengetahuinya. Kesulitan untuk mengetahui jalan menuju Ketimbang baru dapat mereka atasi pada tanggal 26 Agustus. Pada hari itu Belkalian berhasil menangkap dua orang anak muda. Seorang diantaranya ditembak mati karena berusaha melarikan diri. Yang seorang lagi diancam akan dibunuh bila tidak mau menunjukkan jalan ke Ketimbang. Anak muda itupun terpaksa menuruti kehendak Belkalian.

Setelah jalan ke Ketimbang diketahui, Kolonel Welson segera memerintahkan pasukannya untuk melakukan serbuan. Subuh tanggal 27 Agustus mereka mulai bergerak. Ketika tiba di Galah Tanah pukul 10.00 mereka dihadang oleh pasukan Radin Inten II. Pertempuran di tempat ini dimenangi oleh Belkalian. Begitu pula pertempuran berikutnya di Pematang Sentok. Sebagian pasukan ditinggalkan di Pematang Sentok dan sebagian lagi meneruskan gerakan ke Ketimbang. Tengah hari pasukan ini sudah tiba di Ketimbang. Sesudah itu datang pula pasukan lain, termasuk pasukan Pangeran Sempurna Jaya Putih. Ternyata, benteng Ketimbang sudah ditinggalkan oleh Radin Inten II dan pasukannya. Dalam benteng ini Belkalian menemukan bahan makanan dalam jumlah yang cukup banyak. Benteng Ketimbang sudah jatuh ke tangan Belkalian. Akan tetapi, Kolonel Welson kecewa, sebab Radin Inten II tidak tertangkap atau menyerah.

Welson mengirimkan pasukannya ke berbagai tempat untuk mencari Radin Inten II. Sebaliknya, untuk mengacaukan pendapat Belkalian, Radin Inten II menyebarkan berita-berita palsu melalui orang-orang kepercayaannya. Beredar berita bahwa ia sudah menyerah di Way Urang. Welson pun segera menuju Way Urang. Ternyata, orang yang dicarinya tidak ada di tempat itu. Seorang perempuan melaporkan pula bahwa Radin Inten II ada di Rindeh dan hanya ditemani oleh beberapa orang pengikutnya. Berita itu pun ternyata berita bohong. Suatu kali, Belkalian mengetahui tempat persembuyian Radin Inten II. Tempat itu pun dikepung di bawah pimpinan Kapten Kohler. Akan tetapi, Radin Inten II berhasil meloloskan diri. Sampai bulan Oktober 1856 sudah dua setengah bulan Belkalian melancarkan operasi militer. Satu demi satu benteng pertahanan Radin Inten II berhasil  mereka  duduki.  Namun,  Radin  Inten  II  masih  belum  tertangkap.

Sementara itu, Belkalian mendapat laporan bahwa Radin Inten II sudah pergi ke bagian utara Lampung, menyeberangi Way Seputih. Berita lain mengabarkan bahwa Singaberanta berada di Pulau Sebesi. Belkalian mengarahkan pasukan untuk memotong jalan Radin Inten II. Pasukan juga dikirim ke Pulau Sebesi untuk mencari Singaberanta. Hasilnya nihil. Baik Radin Inten II maupun Singaberanta tidak mereka temukan. Kolonel Welson hampir putus asa, ia merasa dipermainkan oleh seorang anak muda berumur 22 tahun.

Akhirnya, Waleson menemukan cara lain. Ia berhasil memperalat Radin Ngerapat. Maka pengkhianatan pun terjadi. Radin Ngerapat mengundang Radin Inten II untuk mengadakan pertemuan. Dikatakannya bahwa ia ingin membicarakan bantuan yang diberikannya kepada Radin Inten II. Tanpa curiga, Radin Inten II memenuhi undangan itu. Pertemuan diadakan malam tanggal 5 Oktober 1856 di suatu tempat dekat Kunyanya. Radin Inten II ditemani oleh satu orang pengikutnya. Radin Ngerapat disertai pula oleh beberapa orang. Akan tetapi, di tempat yang cukup tersembunyi, beberapa orang serdadu Belkalian sudah disiapkan untuk bertindak bila diperlukan. Radin Ngerapat mempersilahkan Radin Inten II dan pengiringnya memakan makanan yang sengaja dibawanya terlebih dahulu.

Pada saat Radin Inten menyantap makanan tersebut, secara tiba-tiba ia diserang  oleh  Radin  Ngerapat  dan  anak  buahnya.  Perkelahian  yang  tidak seimbang pun terjadi. Serdadu Belkalian keluar dari tempat persembunyiannya dan ikut mengeroyok Radin Inten II. Radin Inten II wafat dalam perkelahian itu karena pengkhianatan yang dilakukan oleh orang sebangsanya dalam usia sangat muda, 22 tahun. Malam itu juga mayatnya yang masih berlumuran darah diperlihatkan kepada Kolonel Welson. Pada tahun 1986 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya gelar pahlawan nasional (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 082 Tahun 1986 tanggal 23 Oktober 1986).


6.  Sultan Ageng  Tirtayasa (Banten)

Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya (Lahir di Kesultanan Banten, 1631 – meninggal di Batavia, Hindia Belkalian, 1692 pada umur 60 - 61 tahun) adalah Sultan Banten ke-6. Ia naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir yang wafat pada tanggal 10 Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan ayahnya yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya, kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683.  Ia  memimpin  banyak  perlawanan  terhadap  Belkalian.  Masa  itu,  VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.

Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belkalian ikut campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belkalian membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai kesultanan di sekitarnya, bahkan dengan negara lain di luar Nusantara. Banten menjalin hubungan dengan Turki, Inggris, Aceh, Makassar, Arab, dan kerajaan lain Sekitar tahun 1677, Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik dengan Makassar, Bangka, Cirebon dan Inderapura.  Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang-pedagang Eropa selain Belkalian, seperti Inggris, Denmark, dan Prancis.

Pada tahun 1671, Raja Prancis Louis XIV mengutus François Caron, pimpinan Kongsi Dagang Prancis di Asia sekaligus pemimpin armada pelayaran ke   Nusantara.   Setelah   mendarat   di   pelabuhan   Banten,   ia   diterima   oleh Syahbkalianr Kaytsu, seorang Tionghoa muslim. Pada 16 Juli 1671, raja didampingi oleh beberapa pembesar kerajaan mendatangi kediaman orang-orang Prancis di kawasan Pecinan. Caron meminta izin untuk membuka kantor perwakilan di Banten. Hal itu berangkat dari pengalaman Caron yang pernah bekerja pada VOC dan berambisi membuat kongsi dagang Prancis sebesar VOC. Raja kemudian menanyakan tujuan kongsi dagang mereka, ke mana tujuan kapal- kapal mereka, barang dagangan yang diinginkan, dan jumlah uang tunai yang mereka miliki. Sesudah itu pihak Prancis berusaha menjual barang muatan mereka. Barang-barang dagangan apa saja dapat dijual, kecuali candu yang dilarang keras beredar di Banten.

Caron kembali mengunjungi raja dan menghadiahkan getah damar, dua meja besar (yang dibawa dari Surat, India), dua belas pucuk senapan, dua jenis mortir, beberapa granat, dan hadiah lain. Caron dan Gubernur Banten kemudian menyetujui perjanjian yang berisi sepuluh kesepakatan mengenai pemberian kemudahan dan hak-hak khusus kepada pihak Prancis, sama dengan yang diberikan kepada pihak Inggris. Hubungan baik antara Inggris dan Banten sudah terjalin sejak lama, salah satunya adalah ketika Sultan Abdul Mafakhir mengirimkan surat ucapan selamat pada tahun 1602 kepada Kerajaan Inggris atas dinobatkannya Charles I sebagai Raja Inggris. Sultan Abdul Mafakhir juga memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan, Banten menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai akhir masa penerintahan Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1682, karena saat itu terjadi perang saudara antara Sultan dengan putranya, Sultan Haji. Sultan Haji meminta bantuan Belkalian, sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa diketahui meminta bantuan dari Kerajaan Inggris untuk melawan kekuatan anaknya itu.

Pada 1681, Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya,  dia  berminat membeli  senapan  sebanyak  4000  pucuk  dan  peluru sebanyak  5000  butir  dari  Inggris.  Sebagai  tkalian  persahabatan,  Sultan  Haji menghadiahkan permata sebanyak 1757 butir. Surat ini juga merupakan pengantar untuk dua utusan Banten bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana. Tidak lama kemudian, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim surat kepada Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan mesiu untuk berperang melawan putranya yang dibantu VOC.


7.   Sultan Agung (Mataram Jogyakarta)


Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613–1645). Daerah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Pulau Jawa. Hanya Jawa Barat yang belum masuk wilayah Mataram.

Pada mulanya hubungan antara Mataram dengan VOC berjalan baik. Dibuktikan dengan diperbolehkan VOC mendirikan kantor dagangnya di wilayah Mataram tanpa membayar pajak. Namun, akhirnya VOC menunjukkan sikap yang tidak baik, ingin memonopoli perdagangan di Jepara. Tuntutan VOC tersebut ditolak oleh bupati Kendal bernama Baurekso, yang bertanggung jawab atas wilayah Jepara. Namun penolakan itu tidak menyurutkan keinginan VOC. VOC tetap melaksanakan monopoli  perdagangannya.  Hal  ini membangkitkan  kemarahan rakyat Mataram, kantor VOC diserang. Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen  membalasnya  dengan  memerintahkan  pasukannya  untuk  menembaki daerah Jepara. Menyikapi peristiwa tersebut, Sultan Agung  bertekad  menyerang  kota  Batavia.  Penyerangan  Sultan  Agung terhadap VOC di kota Batavia dilakukan sebanyak dua kali.

Serangan pertama dilakukan tahun 1628. Pertengahan bulan Agustus 1628, secara tiba-tiba armada Mataram muncul di perairan kota Batavia. Mereka segera menyerang benteng VOC. Panglima-panglima Sultan Agung antara lain:

1)  Tumenggung Baurekso.

2)  Tumenggung Sura Agul-agul.

3)  Kyai Dipati Manduro-Rejo.

4)  Kyai Dipati Uposonto.

Dalam perlawanan tersebut, Tumenggung Baurekso gugur beserta putranya. Pasukan Sultan Agung menggunakan taktik perang yang tinggi, antara lain dengan membendung Sungai Ciliwung, (seperti waktu penyerangan di Surabaya). Namun penyerangan kali ini mengalami kegagalan. Akhirnya pasukan Sultan Agung terpaksa mengundurkan diri.

Meskipun gagal, tetapi tidak membuat patah semangat Sultan Agung dan pasukannya, para bangsawan serta rakyatnya. Kemudian disusunlah strategi baru untuk persiapan serangan kedua.

Serangan kedua pada tahun 1629, dengan perencanaan yang lebih sempurna, antara lain:

1)  Persenjataan dilengkapi dengan senjata api dan meriam.

2)  Pasukan berkuda dan beberapa gajah.

3)   Persediaan makanan yang cukup dan pengadaaan lumbung-lumbung padi di Tegal dan Cirebon.

Serangan   kedua   ini   berhasil   menghancurkan   benteng   Hollandia dan menewaskan  J.P.  Coen  sewaktu  mempertahankan  benteng  Meester  Cornellis. Karena banyak pasukan yang tewas, daerah itu dinamakan Rawa Bangke. Rupanya, VOC dapat mengetahui tempat lumbung padi di Tegal dan Cirebon. Kemudian   lumbung-lumbung   dibakar.   Akhirnya   serangan   kedua   ini   juga mengalami kegagalan.

Kedua serangan yang gagal ini tidak membuat Sultan Agung putus asa. Beliau telah memikirkan untuk serangan selanjutnya. Tetapi sebelum rencananya terwujud, Sultan Agung mangkat (1645). Kegagalan yang menyebabkan kekalahan itu, antara lain:

1)   Terlalu  lelah  karena  jarak  Mataram  (sekarang,  Yogyakarta) Batavia (sekarang, Jakarta) sangat jauh. 

2)  Kekurangan persediaan makanan (kelaparan).

3)  Kalah dalam persenjataan.

4)  Banyak yang meninggal akibat penyakit malaria.


8.  Pangeran Diponegoro


Pangeran Diponegoro juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (De  Java  Oorlog)  adalah  perang  besar  dan berlangsung  selama  lima  tahun  (1825-1830)  di Pulau  Jawa,  Hindia  Belkalian (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belkalian selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belkalian di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belkalian berjumlah 8.000 tentara Belkalian  dan  7000  serdadu  pribumi.  Akhir  perang  menegaskan  penguasaan Belkalian atas Pulau Jawa.

Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo  sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.

Perseteruan  pihak  keraton  Jawa  dengan  Belkalian  dimulai  semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris (saat itu Belkalian dikuasai oleh Prancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara yang menyebabkan terjadinya  kebencian  dari  pihak  keraton  Jawa.  Ia  memaksa  pihak  Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia  dengan  mengerahkan  kekuatan militernya,  membangun  jalur  antara Anyer dan Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya  pemberontakan  Raden  Ronggo.  Setelah  kegagalan  pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belkalian. Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles  memberikan  dukungan  kepada  Sultan  Hamengkubuwana  II,  pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II turun tahta secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan  mengembalikan Jawa kepada Belkalian sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belkalian van der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814), sementara Paku Alam I menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman sekaligus wali raja, sedangkan Patih Danuredjo III bertindak sebagai wali raja.

Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri  Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belkalian untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi.

Residen baru Yogyakarta pengganti Nahuys, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert bertindak keterlaluan dengan terlibat dalam penunjukkan Sultan pada bulan Juni 1823. Penunjukan itu untuk menggantikan Sultan Hamengku Buwono III yang meninggal mendadak. Smissaert duduk di atas tahta seraya menerima sembah dan bakti para bupati mancanagara dalam lima upacara Garebeg selama 31 bulan masa jabatannya sebagai Residen. Di mata orang Jawa hal ini adalah penghinaan terhadap martabat mereka. (Peter Carey: 2014)

Pangeran Diponegoro memang tetap menerima posisi sebagai Wali Sultan bersama Mangkubumi, Ratu Ageng dan Ratu Kencono (Ibunda Sultan balita). Namun posisi Pangeran semakin tidak dianggap. Smissaert mengabaikan pendapat Pangeran Diponegoro dalam persoalan ganti rugi sewa tanah yang dapat membawa Kesultanan pada kebangkrutan.

Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belkalian, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei  1823 bahwa semua tanah yang disewa orang  Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di  Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu  tiri  pangeran)  dan  Patih  Danurejo  yang  pro  kepada  Belkalian.  Pada  29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya yang berada di Tegalrejo untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak di bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga  Pangeran   Diponegoro   menyuruh   mengganti   patok-patok   dengan tombak sebagai pernyataan perang. 

Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belkalian untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa  yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari  Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi  para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan perang jihad melawan Belkalian dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belkalian, disamping kebijakan-kebijakan pro-Belkalian yang dikeluarkan istana. Infiltrasi pihak Belkalian di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert menulis bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin hanyut dalam fanatisme dan banyak anggota kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama.

Dalam  laporannya,  Letnan  Jean  Nicolaas  de  Thierry  menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan bahwa para tawanan perang Belkalian memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam.

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata kalianlan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belkalian pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi  mesiu  dan  peluru  berlangsung  terus sementara  peperangan  sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan- bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belkalian akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belkalian akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan  provokator mereka bergerak  di  desa  dan  kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belkalian.

Pencarian Diponegoro di Magelang

Pada tahun 1827, Belkalian melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan  menggunakan  sistem  benteng  sehingga  Pasukan  Diponegoro  terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belkalian. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana,  Pangeran  Diponegoro  menyatakan  bersedia  menyerahkan  diri  dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Pertempuran di Pluntaran

Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.  Karena bagi sebagian orang Keraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke keraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro  dengan  mempertimbangkan semangat  kebangsaan  yang  dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk keraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir. Di sisi lain, sebenarnya Belkalian sedang menghadapi Perang Padri di Sumatra Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum  Adat  (orang  adat) yang mempermasalahkan soal  agama  Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belkalian masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belkalian harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II.

Untuk   menghadapi   Perang   Diponegoro,   Belkalian   terpaksa   menarik pasukan  yang  dipakai  perang  di  Sumatra  Barat  untuk  menghadapi  Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatra Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap. Berakhirlah Perang Padri.

Setelah perang Dipenogoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belkalian kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor belkalian yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogori, karanganyar yang banyak di huni oleh Warok.

Dalam catatan Belkalian, para Warok yang memiliki skill berperang dan ilmu   kebal   sangat   tangguh   bagi   pasukan   Belkalian.   Maka   dari   itu   untuk menghindari yang merugikan pihak Belkalian, terjadinya sebuah  kesepakatan untuk di buatkanlah kantor Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilatas penunjang seperti jalan beraspal, rel kereta api, kendaran langsung dari Eropa seperti  Mobil, motor hingga sepeda angin berbagai merek, maka tidak heran hingga saat ini kota dengan jumlah sepeda tua terbanyak berada di ponorogo yang kala itu di gunakan oleh para Warok juga.


9.   I Gusti Ktut Jelantik (Buleleng,Bali)

Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belkalian pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Buleleng berstatus sebagai Daerah Tingkat II Buleleng.

I  Gusti  Anglurah  Panji  Sakti,  yang  sewaktu  kecil bernama  I  Gusti  Gede Pasekan adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir bernama Si Luh Pasek Gobleg berasal dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki kekuatan supra natural dari lahir. I Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan menyisihkan putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti Ngurah Panji yang masih berusia 12 tahun disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji.

I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng, yang pengaruhnya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan). Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai goyah karena perebutan kekuasaan.

Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780. Raja Karangasem, I Gusti Gede Karang membangun istana dengan nama Puri Singaraja. Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Pahang Canang yang berkuasa sampai 1821. Kekuasaan Karangasem melemah, terjadi beberapa kali pergantian raja. Tahun 1825 I Gusti Made Karangsem memerintah dengan Patihnya I Gusti Ketut Jelantik yang terkenal gigih menentang Belkalian di Buleleng.

Konflik  Buleleng dengan Belkalian dipicu atau berawal dari hak Hukum Tawan yang menyatakan bahwa kapal dari pemerintah manapun apabila berskalianr maupun terdampar di wilayah perairan Bali maka menjadi milik kerajaan Bali. Saat itu, pemerintah Belkalian menolak dengan adanya hak Tawan yang sudah barang tentu merugikan pihaknya. Kapal dagang Belkalian terdampar di daerah Prancak, Jebrana yang merupakan wilayah dari kerajaan Buleleng disita oleh kerajaan Buleleng yang membuat pemerintah Belkalian meradang. Tak setuju dengan adanya peraturan hak Tawan yang mengakibatkan kapalnya terkena Tawan Karang, pemerintah Belkalian menuntut untuk penghapusan hukum tersebut dan menyarankan agar pihak kerajaan Buleleng mengakui kekuasaan Belkalian di Hindia Belkalian.

Tuntutan  yang  bagi  patih  kerajaan  Buleleng,  Ketut  Jelantik,  sangat meremehkan tersebut akhirnya ditanggapi dengan sikap meradang. Ia bahkan bersumpah selama hidupnya tidak akan pernah tunduk pada kekuasaan Belkalian demi apapun alasannya. Suami dari I Gusti Ayu Made Geria ini lebih memilih untuk berperang dibandingkan mengakui kedaulatan dan kekuasaan pemerintah Belkalian.

Pada tahun 1846 Buleleng diserang pasukan Belkalian, tetapi mendapat perlawanan sengit pihak rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih / Panglima Perang  I  Gusti  Ketut  Jelantik.  Pada  tahun  1848  Buleleng  kembali  mendapat serangan pasukan angkatan laut Belkalian di Benteng Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849 Belkalian dapat menghancurkan benteng Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat dikalahkan Belkalian. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah kolonial Belkalian 


10. Pangeran Antasari (Kalimantan)



 Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809– meninggal di Bayan Begok, Hindia Belkalian, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia  adalah  Sultan  Banjar. Pada  14  Maret  1862,  dia  dinobatkan  sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menykalianng gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Pangeran Antasari merupakan cucu Pangeran Amir. Semasa muda nama Pangeran Antasari adalah Gusti Inu Kartapati. Ibunda Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belkalian memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II, Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang lebih dikenal dengan nama Ratu Sultan Abdul Rahman karena menikah dengan Sultan Muda  Abdurrahman  bin  Sultan  Adam  tetapi  meninggal  lebih  dulu  setelah  melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi. Dia cucu Pangeran Amir yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.

Setelah   Sultan   Hidayatullah   ditipu   Belkalian   dengan   terlebih   dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke  Cianjur,  maka  perjuangan  rakyat  Banjar  dilanjutkan  pula  oleh  Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai    sepupu    dari    pewaris    kesultanan    Banjar.    Untuk    mengokohkan kedudukannya  sebagai  pemimpin  perjuangan  melawan  penjajah  di  wilayah Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:

“Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah”

Seluruh rakyat, para panglima Dayak, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar;   dengan   suara   bulat   mengangkat   Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus  menerima  kedudukan yang  dipercayakan  oleh  Pangeran  Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat. Perang  Banjar  pecah  saat  Pangeran  Antasari  dengan  300  prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belkalian di Pengaron tanggal 25 April 1859.

Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belkalian di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.

Pertempuran  yang  berkecamuk  makin  sengit  antara  pasukan  Pangeran Antasari dengan pasukan Belkalian, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belkalian yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Berkali-kali  Belkalian  membujuk  Pangeran  Antasari  untuk  menyerah, namun dia tetap pada pendiriannya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.

“...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul    minta    ampun    dan    kami    berjuang    terus    menuntut    hak    pusaka (kemerdekaan)...”

Dalam peperangan, Belkalian pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang  mampu  menangkap  dan  membunuh  Pangeran  Antasari  dengan  imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belkalian:

1.  Antasari dengan anak-anaknya

2.  Demang Lehman

3.  Amin Oellah

4.  Soero Patty dengan anak-anaknya

5.  Kiai Djaya Lalana

6.  Goesti Kassan dengan anak-anaknya 

Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belkalian pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.

Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.

Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan   oleh   pemerintah   Republik   Indonesia   berdasarkan   SK   No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.[23]  Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari  dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu  Bumi Antasari.   Kemudian   untuk   lebih   mengenalkan   Pangeran   Antasari   kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000


11. Patimura (Maluku Ambon)

Thomas   Matulessy   lahir   di   Haria,   pulau   Saparua,   Maluku,   8   Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura, atau Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku.

Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram)". Ayahnya yang bernama Antoni Matulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram.

Namanya     kini     diabadikan     untuk     Universitas     Pattimura,     Kodam XVI/Pattimura dan Bkalianr Udara Internasional Pattimura di Ambon. Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belkalian dan kemudian Belkalian menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas    tanah    (landrente),    pemindahan    penduduk    serta    pelayaran    Hongi (Hongitochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan[2] Kedatangan kembali kolonial Belkalian pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura[3] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belkalian tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir raja-raja patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui  luas  oleh  para raja patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belkalian ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan  Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belkalian dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belkalian di  darat  dan  di  laut  dikoordinasi  Kapitan  Pattimura  yang  dibantu  oleh  para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebook, Philip Latumahina dan  Ulupaha.  Pertempuran  yang  menghancurkan  pasukan  Belkalian  tercatat seperti perebutan benteng Belkalian Duurstede di Saparua, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jazirah Hitu di Pulau Ambon dan

Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belkalian. Para tokoh pejuang akhirnya  dapat  ditangkap  dan  mengakhiri  pengabdiannya  di  tiang  gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.

Dalam    Perangnya    melawan    Belkalian,    Pattmura    banyak    dibantu oleh  Kapitan Paulus Tiahahu,   seorang kapitan dari negeri Abubu. Sehingga setelah Pattmura meninggal, perjuagannya kemudian dilanjutkan oleh puteri Kapitan Paulus Tiahahu, yakni   Martha Christina Tiahahu. Ia tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang putri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belkalian dalam Perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya.

Halo… sobat historia…setelah kita mempelajari tentang Peran Tokoh Daerah dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan materi 2 tentang Tokoh Nasional dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia, ada beberapa hal yang patut kita contoh dan teladani. Sebagai Generasi Penerus Bangsa agar dapat melanjutkan nilai cita-cita perjuangan para pahlawan   Akan tetapi sebagai generasi penerus bangsa tentunya kita harus dapat melaksanakan harapan para pahlawan kita dengan mengisi kemerdekaan  yang sudah  mereka  rebut  dengan susah  payah  dengan  mengorbankan harta, benda, bahkan jiwa raganya. 

Sewaktu saya SD, saya masih ingat dengan guru saya yang mengajar pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan  Bangsa  (PSPB)  yang  mungkin  diantara  kalian  semua sebagai Smart Student tentu tidak tahu mata pelajaran tersebut. Dari penjelasan Beliau yang masih ku ingat adalah, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat jasa para pahlawannya”.

Meneladani  Tokoh-Tokoh  Daerah dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI dan peringatan hari pahlawan merupakan     momentum    yang     baik     untuk     meneladani  pahlawan kita dan mengaplikasikannya kedalam sikap dan perilaku kita di dalam mengisi kemerdekaan ini, antara lain :

1. Semangat Nasionalisme dan Patriotisme yang tinggi.

Dewasa ini sangat sedikit dari putra putri komponen anak bangsa yang memiliki semangat nasionalisme, bahkan rasa bangga menjadi bangsa Indonesia sudah tidak ada lagi karena sedikitnya prestasi bangsa ini dimata dunia internasional. Di tingkat pemerintahanpun rasa nasionalismenya juga menurun terbukti dengan alasan ekonomi global dan untuk go publik menjadikan perusahaan milik pemerintah yang notabene untuk mensejahterakan rakyatnya dijual ke investor asing.

2.     Persatuan dan Kesatuan.

Kalau dilihat sekarang rasa persatuan dan kesatuan sudah dibilang tidak ada lagi. Dari segi pemerintahan banyak kebijakan yang lebih mengutamakan golongannya saja dan tidak memperhatikan apakah kebijakan tersebut akan merugikan pihak lain. Begitu juga adanya gesekan di masyarakat seperti perkelahian pelajar maupun tawuran antar kampung sering sekali terjadi.

3.     Kebersamaan dan Tanggung jawab.

Sekarang ini rasa kebersamaan juga apalagi tanggung jawab bisa dikatakan nyaris tidak ada. Sebagai contoh lihat saja suatu pemerintahan daerah banyak diantara mereka antara gubernur, bupati, maupun walikota dengan wakilnya tidak sejalan. Di samping itu juga diantara mereka kurang bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya.

4.     Cinta Tanah Air.

Kepedulian terhadap bumi pertiwi kita Indonesia Juga luntur, sebagai contoh orang yang mempunyai potensi demi kemajuan bangsa ini lebih memilih berkarir di luar negeri  dengan  alasan  kurangnya  perhatian  pemerintah  dan  kecilnya  gaji  yang diperoleh.

5.     Rela berkorban tanpa pamrih.

Terlebih lagi semangat rela berkorban yang dicontohkan para pahlawan yang rela berkorban apa saja bahkan nyawanya, sekarang boro-boro berkorban tapi justru yang dipikirkan bagaimana bisa dapat untung. Contohnya sangat banyak…..

Oleh karena itu mari kita sama-sama merenung dan bertindak sesuai dengan kapasitas kita masing-masing dalam mengisi kemerdekaan ini dengan meneladani para pahlawan kita. Bravo Indonesia…Bahagia Rakyat Ku, Jayalah Negeriku Indonesia.

Berikut beberapa contoh sikap kepahlawanan yang bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya:

  1. Membantu korban bencana alam Dengan membantu korban bencana alam, kamu menunjukkan rasa empati dan simpati kepada sesama.
  2. Membantu tidak harus terjun ke lapangan, bisa dengan menggalang dana kemudian diberikan kepada korban bencana alam melalui badan penyalur bantuan yang terpercaya. Ikut membersihkan lingkungan sekitar Kebersihan lingkungan menjadi tanggung jawab setiap warga yang berada di sekitarnya. Dengan turut bekerja sama membersihkan  lingkungan  dengan  ikhlas,  menunjukkan  bahwa  kamu  berperan dalam usaha melindungi lingkungan dan warga lain dari bencana yang bisa saja terjadi.
  3. Orang tua bekerja mencari nafkah Orang tua yang mecari nafkah demi keluarganya merupakan tindakan perjuangan dan pengorbanan dirinya untuk kelanjutan hidup keluarganya. Hal ini sangat mulia dan memang sudah menjadi kewajiban bagi semua orang tua. Membantu orang yang membutuhkan Dalam membantu orang lain yang membutuhkan harus dilakukan secara ikhlas. Dengan begitu kamu sudah melakukan rasa rela berkorba dan ikhlas. Membantu dengan ikhlas dan rela berkorban menjadi salah satu sikap yang dimiliki para pahlawan.
  4. Aktif dalam organisasi berarti kamu bisa ikut serta dalam memperjuangakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Hal ini karena organisasi masyarakat biasanya memperjuangkan hal-hal untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama. Di dalam organisasi tersebut, kamu bisa mengembangkan sikap tanggung jawab, rela berkorban, dan gotong royong seperti sikap yang dimiliki pahlawan


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama