Masa Praaksara
merupakan suatu
masa di mana manusia dalam hal
ini ialah manusia purba sebagai masyarakat
yang menetap di suatu wilayah yang ada di
Indonesia, masih belum mengenal tulisan . Berdasarkan hasil kebudayaannya, secara
garis besar, Zaman Praaksara
dibagi menjadi Zaman Batu
dan Zaman Logam.
1.
Jaman batu
Berdasarkan cara memproses perkakas batu dan fungsi perakaks batu yang mereka gunakan
, jaman batu diperiodisasi lagi menjadi 4 zaman, yaitu sebagai berikut:
a. Jaman Paleolitikum (Zaman Batu Tua)
b. Jaman Mesolitikum (Zaman Batu Madya)
c. Jaman Neolitikum (Zaman Batu Baru/Batu
Muda)
d. Jaman Megalitikum (Zaman Batu Madya)
a.
Jaman Batu Tua (
Palaeplithikum)
Jaman
palaeolithikum berarti jaman batu tua. Jaman ini ditandai dengan adanya perkakas yang terbuat dari batu yang masih kasar, sederhana, dan sangat
primitif. Hasil
kebudayaan Palaeolithikum banyak ditemukan
di
daerah Pacitan (Jawa Timur) dan Ngandong (Jawa Timur). Untuk itu para arkeolog sepakat untuk membedakan temuan benda-benda prasejarah di kedua tempat tersebut yaitu sebagai kebudayaan Pacitan dan
kebudayaan Ngandong.
1)
Kebudayaan Pacitan
Pacitan merupakan nama salah
satu kabupaten yang ada di Jawa
Timur,
berbatasan dengan Jawa Tengah. Pada zaman purba, diperkirakan
aliran Bengawan
Solo
mengalir ke selatan dan bermuara di pantai Pacitan.
Alat-alat batu yang
berasal dari
Pacitan
ini
disebut dengan kapak
genggam
( Chopper ) dan kapak perimbas. Di Pacitan, juga
ditemukan alat-alat yang
berbentuk kecil, disebut dengan
serpih. Berbagai peninggalan tersebut diperkirakan digunakan
oleh manusia purba jenis
Meganthropus.
Perkakas batu
yang
ditemukan di daerah pacitan ini yaitu
:
Pada tahun 1935, Von Koenigswald menemukan beberapa alat dari batu yang ada
di daerah Pacitan. Alat-alat ini bentuknya menyerupai kapak, akan tetapi tidak
bertangkai,
sehingga menggunakan
kapak tersebut dengan cara digenggam.
Merupakan peninggalan
jaman Palaeolithikum yang ditemukan pertama kali oleh
Von Koenigswald tahun 1935 di Pacitan dan diberi nama dengan kapak genggam, karena alat
tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya
dengan cara menggenggam.
Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu
prasejarah
disebut dengan chopper artinya
alat penetak.
Berdasarkan penelitian yang intensif yang dilakukan sejak awal tahun 1990, dan
diperkuat dengan adanya
penemuan terbaru tahun 2000 melalui hasil ekskavasi yang dilakukan oleh
tim peneliti
Indonesia-Perancis
diwilayah
Pegunungan Seribu/Sewu
maka dapat dipastikan bahwa kapak genggam/Chopper dipergunakan oleh manusia
jenis Homo
Erectus.
2) Kebudayaan Ngandong
Ngandong
merupakan
nama dari salah satu daerah yang terletak
didekat Ngawi, Madiun, Jawa Timur. Di daerah Ngandong dan Sidorejo ini banyak ditemukan alat-alat
yang berasal dari tulang serta alat-alat kapak genggam dari batu.
Alat-alat dari tulang tersebut ini diantaranya dibuat dari tulang binatang dan tanduk rusa.
Selain itu,
juga ada alat-alat seperti ujung tombak yang bergerigi pada sisi- sisinya. Berdasarkan penelitian, alat-alat tersebut
merupakan hasil kebudayaan dari Homo Soloensis dan Homo Wajakensis.
Di dekat Sangiran, dekat dengan Surakarta, ditemukan juga
alat-alat yang
berbentuk kecil, biasa disebut dengan nama
Flakes. Manusia purba telah memiliki nilai seni yang tinggi. Pada beberapa flake, ada yang dibuat dari batu indah, seperti Chalcedon.
Perkakas yang ditemukan didaerah
Ngandong ini,
yaitu
:
Alat Alat
Dari Tulang dan Tanduk
Di sekitar daerah Ngandong dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur) ditemukan kapak genggam dan alat-alat dari tulang
dan tanduk. Alat-alat dari
tulang tersebut
bentuknya ada yang seperti belati dan ujung tombak yang bergerigi pada sisinya.
Adapun fungsi dari alat-alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah,
serta menangkap ikan.
Flakes ( Alat Serpih )
Selain alat-alat dari tulang yang termasuk kebudayaan Ngandong, juga ditemukan
alat alat lain berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga
ada
yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon.
Karena perkakas perkakas tersebut ditemukan di daerah Ngandong, dikenal secara umum dengan nama Kebudayaan Ngandong. Manusia pendukung kebudayaan ini adalah
: Makhluk dari jenis Pithecanthropus erectus,
pithecantropus
robustus dan Meganthropus palaeojavanicus. Selanjutnya hidup berbagai jenis homo
(manusia) diantaranya Homo soloensis dan Homo wajakensis.
b.
Jaman Batu Madya
( Mesolithikum )
jaman Mesolitikum diperkirakan berlangsung pada masa Holosen awal setelah jaman es berakhir. Pendukung
kebudayaannya ialah Homo Sapiens yang merupakan
manusia cerdas. Untuk penemuannya berupa fosil manusia purba, banyak ditemukan di
Sumatra Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Flores.
Ciri kebudayaan
Mesolithikum
tidak
jauh berbeda dengan
kebudayaan
Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup pada zaman
tersebut sudah ada yang menetap
sehingga kebudayaan
Mesolithikum yang
sangat
menonjol
dan sekaligus menjadi ciri dari jaman ini
yaitu kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
1)
Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya
adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan.
Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba
yang hidup pada jaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein
Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan
Chopper ( Kapak Genggam Jaman Palaeolithikum ) .Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut
dinamakan dengan pebble atau kapak
Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya
yaitu
di
pulau Sumatera.
Kapak Genggam
Pebble
( Kapak Sumatera )
Kapak
Sumatra (Pebble) Bentuk kapak ini bulat,
terbuat dari batu kali yang dibelah dua. Kapak genggam jenis ini banyak
ditemukan di Sepanjang Pantai
Timur Pulau
Sumatera, antara
Langsa (Aceh)
dan Medan.
Bentuk pebble
dapat dikatakan
sudah agak sempurna
dan buatannya agak halus. Bahan untuk
membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan
sejenis kapak tetapi
bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan Hache Courte atau
kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya dengan menggenggam.
Di antara tumpukan sampah juga
ditemukan batu
penggiling beserta dengan
landasannya yang digunakan
sebagai
penghalus
cat merah. Cat itu
diperkirakan
digunakan dalam acara keagamaan atau
dalam ilmu sihir.
2) Abris Sous Roche
Abris sous roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada jaman Mesolithikum dan berfungsi
sebagai tempat perlindungan dari cuaca
dan binatang buas , dugaan ini muncul dari perkakas seperti ujung panah, flakes, batu
penggilingan,
alat-alat dari tulang dan tanduk, yang tertinggal
di
dalam gua.
Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels
tahun 1928-1931
di
goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari jaman
Mesolithikum, serta
alat-alat
dari tulang dan tanduk rusa.
3)
Sampung Bone
Culture
Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan di dalam goa goa ternyata yang
paling
banyak
adalah alat
dari
tulang sehingga oleh para
arkeolog menyebutnya
sebagai Sampung
Bone Culture/kebudayaan tulang
dari Sampung. Karena
goa di
Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan
Mesolithikum. Selain
di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di
daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur.
Penelitian
terhadap
goa di Besuki
dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren.
4)
Kebudayaan Toala
Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah
Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang
masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan
jaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan
Toala.
Dari uraian di atas dapatlah
disimpulkan
bahwa jaman Mesolithikum sesungguhnya memiliki 3 corak kebudayaan yang terdiri dari:
a. Kebudayaan pebble/pebble
culture di Sumatera Timur.
b. Kebudayaan tulang/bone culture
di Sampung
Ponorogo.
c. Kebudayaan flakes/flakes culture
di
Toala, Timor dan Rote.
Kecuali hasil-hasil kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger
juga ditemukan fosil
manusia yang berupa tulang belulang, pecahan tengkorak
dan gigi, meskipun tulang- tulang tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh/lengkap, tetapi
dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa manusia yang hidup pada masa
Mesolithikum adalah jenis Homo
Sapiens.
Manusia pendukung kebudayaan
jaman Mesolithikum adalah ras bangsa Papua Melanosoide nenek
moyang dari Suku Irian dan Melanosoid, Sakai, Aeta, dan
Aborigin Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai
pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan
penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin Indocina
daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan
tersebut, maka
ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah
Hoabinh, di Asia Tenggara. Maka kebudayaan Kapak
Genggam Pebble sering disebut juga Kebudayaan Bacson Hoabinh.
C.
Jaman Batu muda
( Neolithikum )
Jaman Neolitikum merupakan perkembangan jaman dari kebudayaan batu madya. Alat-alat yang terbuat dari batu yang telah mereka hasilkan lebih sempurna dan lebih
halus disesuaikan
dengan fungsinya.
Hasil kebudayaan yang terkenal di
jaman
Neolitikum adalah jenis kapak persegi dan kapak
lonjong.
Fase atau tingkat kebudayaan pada jaman prasejarah yang memiliki ciri-ciri berupa
unsur-unsur kebudayaan, seperti peralatan yang berasal dari batu yang sudah diasah,
pertanian menetap, peternakan, serta pembuatan tembikar, juga merupakan salah satu
pengertian dari jaman Neolitikum. Hasil hasil kebudayaan utama dari masa
ini antara
lain
1) Kapak
persegi
Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang
lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak
persegi berbentuk
persegi panjang atau berbentuk juga
trapezium tersedia dalam berbagai ukuran
. Kapak persegi yang besar sering disebut
dengan nama beliung atau cangkul.
Sementara itu, yang berukuran kecil disebut dengan trah (tatah) yang digunakan untuk
mengerjakan kayu. Alat-alat tersebut, terutama beliung, sudah diberi dengan
tangkai.
Daerah persebaran dari kapak persegi ini merupakan daerah
Indonesia yang berada di
bagian barat,
misalnya
di daerah Sumatera, Jawa,
dan
Bali.
2)
Kapak
Batu Chalcedon
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu
api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat
dari calsedon hanya dipergunakan
sebagai alat upacara keagamaan, ajimat atau tanda kebesaran. Manusia
pendukung pada jaman ini
adalah
Austronesia (austria),
Austro-Asia (khamer- indocina).
3) Kapak Lonjong
Terbuat dari batu yang berbentuk lonjong serta sudah diasah secara halus dan diberi tangkai.
Fungsi dari
alat
ini diperkirakan sebagai kegiatan dalam menebang
pohon. Daerah persebaran dari kapak lonjong ini umunya di daerah Indonesia yang
terletak di bagian timur, misalnya
di
daerah Irian, Seram, Tanimbar,
dan Minahasa.
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-
hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan
ujungnya
yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam.
Untuk itu
bentuk
keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan
Walzenbeil
dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil,
sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak
persegi. Daerah penyebaran
kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti,
Tanimbar dan Irian. Dari
Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan
Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan
sebutan Neolithikum Papua.
D. Jaman Megalithikum
( Batu
Besar )
Berdasarkann bahasa Yunani, kata
Megalitikum dapat dibagi menjadi kata
"Mega" yang berarti
besar dan "Lithos" yang berarti batu. Perkembangan jaman batu besar atau
jaman Megalitikum diperkirakan sudah ada sejak jaman batu muda hingga jaman logam.
Kebudayaan Megalitikum merupakan jaman dimana alat yang dihasilkan
berupa
bangunan batu besar, pada umumnya diperuntukan bagi tempat beribadah pada arwah
nenek
moyang
dalam systemkepercayaan Animisme dan Dinamisme .Kebudayaan ini merupakan kelanjutan dari jaman Neolitikum karena dibawa oleh bangsa Deutero Melayu yang dating di Nusantara. Kebudayaan ini berkembang bersama dengan kebudayaan logam di Indonesia, yakni kebudayaan Dongson.
Bentuk peninggalan peninggalan jaman Megalitikum tersebut terbuat
dari batu besar yang pembentukannya sesuai dengan kepentingan upacara
tertentu. Maka dari itu hasil
kebudayaan jaman Megalitikum memiliki maknanya masing masing. Berikut beberapa
hasil budaya
pada jaman batu besar yaitu
diantaranya:
1) Menhir
Menhir merupakan tugu atau tiang yang berasal dari batu dan dibangun sebagai
lambang atau tanda peringatan kepada arwah nenek moyang. Selain itu Menhir juga
digunakan untuk mengikat binatang korban persebahan untuk arwah nenek moyang .
Untuk itu menhir diletakkan pada tempat tertentu dan dijadikan
sebagai benda
pemujaan. Hasil budaya jaman batu besar
seperti
menhir ini berfungsi untuk sarana
pemujaan kepada arwah para
nenek moyang, serta tempat penampung
roh roh yang datang dan tempat memperingati kepala suku atau seseorang yang sudah meninggal. daerah penemuannya
di Sumatera Selatan
dan Kalimantan.
Dolmen merupakan
meja batu besar yang memiliki permukaan rata. Kegunaan dolmen ialah untuk tempat meletakkan roh, tempat duduk ketua suku agar memperoleh
3) Punden Berundak Undak
Merupakan bangunan
bertingkat dengan tanjakan kecil sebagai tempat memuja roh para
nenek moyang. Masing masing tingkat
pundek berundak biasanya dibuat menhir. Hasil kebudayaan jaman Megalitikum ini bernama pundek berundak karena bangunannya berbentuk tumpukan batu bertingkat yang menyerupai anak tangga serta paling atas atau bagian tertinggi digunakan
sebagai tempat paling suci.
Punden berundak biasanya didirikan di
daerah
dataran
rendah yang
tidak
berpegunungan maka mereka
membuat
bangunan
tinggi
semacam
gunung
yang
dipuncaknya bersamayam arwah nenek moyang sesuai kepercayaan Animisme. Pada
perkembangannya Punden Berundak
digunakan
sebagai dasar pembuatan keraton,
candi dan sebagainya.
Merupakan peti jenazah jaman batu besar yang dipendam dalam tanah.
Bentuk kubur batu ini ialah persegi panjang dengan alas,
sisi dan tutupnya yang berasal dari batu kemudian disusun menjadi sebuah peti. Penemuan kubur batu ini terdapat di
daerah Kuningan, Jawa Barat.
Merupakan kubur batu yang bentuknya bulat atau kubus dengan
tutup menyerupai atap rumah. Waruga memiliki fungsi dan bentuk yang hampir sama dengan
sarkofagus. Namun posisi mayat ditempatkan dalam keadaan jongkok terlipat. Hasil
kebudayaan jaman Megalitikum seperti waruga ini penemuannya berada
di daerah Minahasa.
6)
Sarkofagus
Merupakan peti jenazah yang bentuknya menyerupai lesung, namun memiliki
tutup dibagian atasnya. Sarkofagus dibuat
menyerupai lesung batu namun bentuknya
keranda. Hasil kebudayaan pada jaman batu
besar
ini ditemukan di daerah Bali.
7)
Patung
atau
Arca
Hasil kebudayaan jaman batu besar selanjutnya ialah patung atau arca. Patung
atau arca merupakan bangunan berbentuk manusia atau binatang yang terbuat dari batu
sebagai simbol
pemujaan
dan
lambang nenek
moyang. Bentuk peninggalan zaman
Megalitikum tersebut penemuannya terdapat di daerah pegunungan wilayah
Bengkulu dengan Palembang atau lebih tepatnya di Dataran
Tinggi Pasemah. Van Heine Geldern dan Dr. Van der Hoop adalah orang orang yang
melakukan penyelidikan di daerah
Pasemah.
Di Indonesia,
kebudayaan megalitikum berdasarkan pendapat Van Heine Geldern
dapat dibagi menjadi dua golongan/penyebaran seperti:
1. Megalitikum tua yang penyebarannya
pada jaman Neolotikum di Indonesia
tahun
2500 - 1500 SM. Hasil kebudayaan
jaman megalitikum tua dapat berupa punden
berundak, arca statis dan menhir. Hasil kebudayaan pada jaman batu besar
ini
dipengaruhi oleh kebudayaan kapak
persegi.
2. Megalitikum muda yang penyebarannya pada jaman Perunggu di Indonesia tahun
1000 - 100 SM. Hasil kebudayaan jaman
batu besar ini dapat berupa arca, kubur
peti batu, waruga, sarkofagus dan
dolmen.
Hasil kebudayaan
pada jaman
Megalitikum ini dipengaruhi oleh kebudayaan Dongson atau kebudayaan
Deutro Melayu.
2.
Jaman logam ( Jaman
Perundagian )
Secara harafiah, perundagian berasal dari kata undagi yang berarti
seseorang yang
ahli dalam
melakukan
pekerjaan tertentu. Pada masa ini, kehidupan masyarakat
boleh dibilang
telah berada di tahap yang lebih maju, lantaran sudah memiliki keterampilan untuk membuat alat-alat dari bahan perunggu. Adapun alat-alat tersebut nantinya digunakan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Baik untuk
bertani, berburu ataupun
melakukan upacara tertentu.
Hasil budaya pada jaman logam diperoleh dari pengaruh kebudayaan Dongson
Vietnam sehingga
mereka
dapat
memperoleh
kepandaian
dalam
mengolah
logam tersebut. Meskipun pada
masa ini telah terdapat hasil kebudayaan jaman logam seperti
alat alat dari logam, namun untuk keperluan
sehari hari mereka tetap menggunakan
gerabah maupun
alat alat batu
lainnya.
Pada jaman Logam orang sudah membuat alat-alat dari logam selain alat-alat dari batu. Orang sudah
mengenal teknik
melebur
logam dan mencetaknya
menjadi
peralatan.
Teknik
pembuatan
alat
logam
ada dua macam, yaitu dengan cetakan batu
yang
disebut
bivalve dan
dengan
cetakan tanah liat dan
lilin yang disebut a cire perdue.
Kelebihan teknik bivalve
dari
a cire perdue adalah dapat digunakan
berkali kali.
Jaman logam
terbagi lagi menjadi 3 : jaman
besi, tembaga,
dan
perunggu. Indonesia hanya
mengalami jaman
perunggu dan jaman besi. Pada jaman ini, manusia mengalami masa perundagian, karena manusia sudah banyak yang
menghasilkan berbagai kerajinan
tangan, yang
terbuat
dari logam. Manusia
sudah
mengenal teknik melebur logam, mencetaknya menjadi alat yang diinginkan. Teknik
pembuatan
alat
logam ada
dua
macam, yaitu dengan
cetakan
batu yang
disebut bivalve dan dengan cetakan tanah liat dan lilin yang disebut a cire perdue.
a.
Jaman perunggu
Perunggu adalah jenis logam yang berasal dari campuran tembaga dengan timah
putih. Pada jaman perunggu ini, masyarakatnya dapat menciptakan dua macam benda
seperti benda untuk kepentingan upacara keagamaan dan untuk keperluan
sehari hari.
Adapun hasil
kebudayaan pada jaman logam ini yaitu
diantaranya:
1)
Nekara Perunggu
Adalah benda semacam genderang besar dengan pinggang pada bagian tengahnya dan
bagian atas tertutup serta pembuatannya berasal dari perunggu. Fungsi dari nekara
adalah untuk simbol status sosial dan sarana upacara, baik upacara kematian ataupun kesuburan. Selain itu nekara
juga berfungsi untuk memanggil hujan dan memanggil roh
leluhur agar turun kedunia memberikan berkatnya. Hal ini terlihat dalam beberapa
nekara yang memiliki hiasan tertentu.
2) Kapak Corong atau Kapak Sepatu
Modul Sejarah Indonesia_X_3.4 dan 4.4
Merupakan hasil kebudayaan jaman logam pada masa perunggu, yang terbuat dari hasil proses mencetak logam melalui tekhnik bilvolve maupun a cire
perdue, kemudian
diasah dimana kemampuan mengasah sudah mereka
kuasai sejak jaman
Neolithikum. Sehingga karena terbuat dari logam yang diasah memungkinkan bagian penampang Kapak Corong tajam dan bisa digunakan untuk membalik tanah layaknya cangkul, luku maupun tractor seperti yang digunakan
oleh
masyarakat
modern sekarang, itu
mengandung arti cara bercocoktanam pada
masa ini adalah bercocoktanam dengan
tekhnik bersawah
.
Kapak corong memiliki bagian tanggkai menyerupai corong dan bagian tajamnya menyerupai kapak batu. Bagian corong berguna untuk tempat pemasangan tangkai kayu yang menyiku
menyerupai bentuk
kaki. Maka dari itu kapak
corong dapat dinamakan
dengan kapak sepatu.
Hasil
kebudayaan
pada jaman
logam
seperti
kapak corong ini
memiliki ukuran dan bentuk
yang beraneka ragam.
Ada
yang memiliki
bagian
tajam melengkung
panjang (candrasa) maupun
lurus. Kemudian
bagian tangkainya ada yang terbelah dua
menyerupai ekor
burung pada layang layang,
ada
yang lurus
maupun melengkung. Fungsi
kapak corong pada jaman perunggu ialah untuk mencangkul. Sedangkan kegunaan kapak
corong kecil ialah
untuk
mengerjakan kayu. Adapula kapak corong dengan bagian tajam melengkung panjang
yang berguna untuk tanda kebesaran
kepala suku ataupun untuk upacara.
Hasil budaya pada jaman
logam seperti kapak
corong ini biasanya dihiasi dengan beberapa pola hiasan jika digunakan untuk upacara. Penemuan kapak corong tersebut
berada di Kepulauan Selayar, Sumatra Selatan, dekat Danau Sentani Papua, Jawa Bali, dan Sulawesi Tengah.
3) Bejana Perunggu
Merupakan hasil kebudayaan jaman logam pada masa perunggu. Bejana perunggu ialah benda yang bentuknya menyerupai gitar Spanyol namun tidak memiliki tangkai. Bejana perunggu ini mempunyai pola hiasan yang menyerupai huruf J dan hiasan anyaman. Para
ahli
di Indonesia menemukan bejana perunggu di daerah Sumatra dan Madura.
Penemuan hasil kebudayaan pada jaman logam seperti bejana ini berada di daerah Pnom Penh, Kamboja. Hasil peninggalan jaman perunggu ini menjadi bukti bahwa kebudayaan
logam di Indonesia tergolong dalam
satu
kebudayaan logam
Asia yang pusatnya terdapat
di Dongson.
Maka
dari
itu di
Indonesia terdapat
kebudayaan jaman perunggu yang disebut dengan
kebudayaan
Dongson.
Kebudayaaan jaman
perunggu merupakan hasil asimilasi dari antara
masyarakat asli
Indonesia |
( proto
melayu ) |
dengan |
bangsa |
mongoloid |
sehingga |
|
membentuk |
ras deutro |
melayu ( melayu |
muda ). |
|
b. Jaman besi
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang menjadi
alat-alat yang diperlukan. Teknik
peleburan besi lebih sulit
dari teknik peleburan
tembaga maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan panas yang sangat tinggi,
yaitu ±3500 °C. Alat besi yang banyak ditemukan di Indonesia berupa alat keperluan sehari – hari seperti pisau, sabit, mata kapak, pedang, dan mata tombak. Pembuatan
alat
besi memerlukan tehnik khusus yang mungkin hanya dimiliki oleh sebagian anggota
masyarakat, Yakni golongan undagi.
Alat-alat besi yang dihasilkan antara lain: Mata Kapak bertungkai kayu, Mata
Pisau, Mata Sabit, Mata Pedang, Cangkul. Alat-alat tersebut ditemukan di Gunung Kidul
(Yogyakarta), Bogor (Jawa Barat),
Besuki dan Punung (Jawa Timur).
Tekhnik Pembuatan Hasil Kebudayaan jaman Logam
Hasil kebudayaan jaman
logam dapat berupa barang barang perunggu yang
pebuatannya menggunakan teknik
cetak tuang (teknik a cire perdue) dan teknik dua setangkup
(teknik bivalve). Adapun
penjelasan mengenai masing masing teknik
pembuatan barang dari logam yaitu sebagai berikut:
1.
Teknik Cetak Tuang (Teknik a Cire
Perdue)
Teknik pembuatan hasil kebudayaan pada jaman logam yang pertama ialah teknik cetak tuang atau teknik a cire perdue. Adapun langkah langkah pembuatan benda logam
menggunakan
teknik tersebut yaitu meliputi:
a) Langkah
pertama ialah membuat model logam menggunakan lilin dan bahan dasar
sesuai keinginan.
b) Lapisi model lilin menggunakan tanah liat. Setelah tanah liat mengeras kemudian dipanaskan dengan api sehingga dapat mencairkan lilin melalui lubang bawah
dibagian modelnya.
c) Bagian atas model telah dipersiapkan lubang untuk memasukkan cairan logam.
Lalu tunggu sampai dingin cairan logamnya.
d) Kemudian pecahkan model tanah liat setelah logam cairnya dingin. Benda logam yang diinginkan akhirnya
telah jadi.
Teknik pembuatan hasil budaya pada jaman logam ini memiliki kelebihan
dan kekurangannya. Adapun
kelebihan teknik cetak
tuang yaitu
detail dari benda yang diinginkan menjadi lebih
sempurna. Sedangkan kekurangan teknik a cire perdue ialah
hanya dapat menggunakan cetakan modelnya sekali saja.
2.
Teknik Dua
Setangkup
atau Teknik Bivalve
Teknik pembuatan hasil kebudayaan jaman logam
selanjutnya ialah teknik dua setangkup
atau
teknik
bivalve. Adapun
langkah- langkah pembuatan
benda
logam
menggunakan
teknik tersebut yaitu meliputi:
a) Langkah pertama
membuat
cetakan model dengan model yang ditangkupkan.
b) Setelah
itu
logam cair dituangkan
dalam cetakan tadi.
c) Lalu saling ditangkupkan kedua
cetakan tersebut.
d)
Tunggu
sampai logam dingin sehingga dapat
dibuka cetakannya.
e) Benda
logam yang dibuat
telah jadi.
Teknik pembuatan hasil kebudayaan
pada jaman logam ini memiliki kelebihan
dan kekurangannya. Adapun kelebihan teknik dua setangkup yaitu dapat menggunakan cetakannya berulang kali. Sedangkan kekurangan teknik bivalve ialah benda logam yang
telah jadi terdapat rongga di dalamnya sehingga bendanya tidak terlalu kuat.
Modul Sejarah Indonesia_X_3.4 dan 4.4
C. Rangkuman
Kebudayaan masyarakat praaksara mengalami perkembangan dan peningkatan dari masa ke masa mulai dari yang masih sangat primitive , berupa batu yang belum diproses
sampai akhirnya mereka
pandai mengolah logam menjadi perkakas mereka , seperti
yang tergambar pada periodesasi berikut
ini
:
1. Jaman Palaeolithikum : hanya berupa batu yang belum mengalami proses apapun
hanya diambil begitu saja dari alam sehingga belum bisa digunakan
untuk bercocok
tanam. Hasil budayanya ; Kapak genggam, Chopper, Kapak
berimbas, Belati
2. Jaman Messolithikum : batu yang mereka gunakan mulai diproses sederhana yaitu hanya dengan membelahnya menjadi dua bagian yang memiliki sisi
sisi yang tajam sehingga bisa digunakan untuk bercocok tanam dengan cara berkebun . Hasil budayanya ; Kapak Sumatra, Kapak pendek, Gua tempat tinggal ( Abrissauche Roche
), Kyokkenmodinger, Alat serpih yang berasal dari tulang, Kesenian gambar pada dinding gua
3. Jaman Neolithikum : batu yang pada masa Messolithikum hanya dibelah saja, pada masa ini sudah diasah sehingga menghasilkan kapak yang lebih tajam sehingga bisa
digunakan untuk menggali tanah sehingga mereka bisa bercocoktanam yang lebih meningkat dari berkebun
yaitu berladang. Hasil budayanya : Kapak persegi, Kapak
lonjong, Kapak bahu, Gerabah, Perhiasan, Alat pemukul kayu untuk membuat
pakaian.
4. Jaman Logam : masyarakat pada masa ini sudah mengenal logam sehingga perkakas
yang mereka gunakan sekarang terbuat dari logam yang di cetak dengan
menggunakan 2 tekhnik mencetak yaitu Bivolve dan
a cire perdue, kemudaian diasah yang kepandaiannya sudah dimiliki sejak jaman
Neolithikum. Sehingga dengan perkakas logam yang diasah tentu lebih tajam dari batu yang diasah. Dengan kapak logam yang diasah ini mereka bisa
gunakan untuk membalik tanah sehingga
mereka bisa mengembangkan cara bercocoktanam dengan tekhnik bersawah. Hasil kebudayaannya : Alat-alat yang terbuat dari logam : Rumah kayu, Seni ukir dan seni
hias, Nekara,
Moko, Candrasa,
Bejana Perunggu
5. Jaman Megalithikum : masa ini sudah berlangsung sejak jaman neolithikum dan terus berlanjut hingga jaman logam, jadi perkakas yang mereka
gunakan adalah perkakas yang dihasilkan pada jaman tersebut. Sedangkan
hasil budaya dari jaman ini umumnya terkait
dengan
benda benda benda atau bangunan yang berfungsi
sebagai sarana untuk
mewujudkan kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Hasil
budayanya adalah ; Bangunan besar yang terbuat dari batu : Menhir, Arca, Punden
berundak, Peti kubur, Dolmen, Sarkofagus, Waruga
Posting Komentar