Sejarah Sebagai Kisah dan Seni

 

Adakah kalian yang mengenal mereka? Pasti banyak diantara kalian yang mengenal sosok dalam gambar diatas. Ya mereka adalah tokoh Minke, Annelis dan Nyai Ontosoro dalam film  Bumi Manusia, merupakan film drama biografi sejarah Indonesia tahun  2019  yang  disutradarai Hanung  Bramantyo dan  ditulis Salman  Aristo.  Film  ini dialih wahanakan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Film ini dibintangi Iqbaal Ramadhan, Mawar   Eva   de   Jongh,   dan Sha   Ine   Febriyanti.   Film   ini   menceritakan kegamangan Minke antara kemajuan Eropa dan perjuangan membela tanah airnya serta hubungannya dengan Annelies.

Tokoh yang mendunia satu lagi  adalah yang terkenal dengan Sumpah Palapanya, ya beliau adalah Mahapatih Gajah Mada. Sumpah itu berbunyi “ Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isuk amukti palapa. Artinya “ Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikian saya (baru akan) melepaskan puasa”. Sumpah itu diucapkan Gajah Mada saat upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubumi Majapahit. Sumpah yang diambil untuk menyatukan Nusantara dibawah Panji Majapahit.

Adakah kalian yang mengenal mereka? Pasti banyak diantara kalian yang mengenal sosok dalam gambar diatas. Ya mereka adalah tokoh Minke, Annelis dan Nyai Ontosoro dalam film  Bumi Manusia, merupakan film drama biografi sejarah Indonesia tahun  2019  yang  disutradarai Hanung  Bramantyo dan  ditulis Salman  Aristo.  Film  ini dialih wahanakan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Film ini dibintangi Iqbaal Ramadhan, Mawar   Eva   de   Jongh,   dan Sha   Ine   Febriyanti.   Film   ini   menceritakan kegamangan Minke antara kemajuan Eropa dan perjuangan membela tanah airnya serta hubungannya dengan Annelies.

Tokoh yang mendunia satu lagi  adalah yang terkenal dengan Sumpah Palapanya, ya beliau adalah Mahapatih Gajah Mada. Sumpah itu berbunyi “ Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isuk amukti palapa. Artinya “ Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikian saya (baru akan) melepaskan puasa”. Sumpah itu diucapkan Gajah Mada saat upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubumi Majapahit. Sumpah yang diambil untuk menyatukan Nusantara dibawah Panji Majapahit.

Dari deskripsi diatas menurut kalian mana peristiwa yang masuk kategori Kisah, Seni , Fiksi dan Mithos?. Kalo mau tahu baca modul ini samapai selesai yaa!.


Sejarah sebagai cerita/kisah

Sejarah mempelajari kisah dan pengalaman dari masa lampau. Melalui kisah sejarah, kita dapat melihat pergerakan yang dinamis yang terjadi di bumi dengan manusia sebgai objeknya. Sejarah sebagai kisah merupakan hasil konstruksi (penggambaran) sejarawan terhadap suatu peristiwa. Untuk menyusun kisah sejarah, sejarwan membutuhkan fakta dari berbagai sumber sejarah yang diperoleh melalui serangkaian metode.

Sejarah sebagai cerita atau kisah adalah peristiwa sejarah yang diceritakan atau dikisahkan kembali sebagai hasil rekonstruksi ahli sejarah (sejarawan) terhadap sejarah sebagai peristiwa. Sejarah sebagai cerita merupakan rekonstruksi dari suatu peristiwa baik yang dituliskan maupun diceritakan oleh seseorang sehingga sejarah dapat berupa kisah yang berbentuk lisan dan tulisan. Sejarah sebagai kisah merupakan peristiwa sejarah yang dikisahkan kembali atau diceritakan kembali sebagai hasil konstruksi dari para ahli sejarah (sejarawan) terhadap sejarah sebagai peristiwa. Oleh R. Moh Ali (2005) hal  itu  disebut  sejarah  sebagai  serba  subjek.  Sehingga   tidak  tertutup  kemungkinan sejarah sebagai kisah bersifat subjektif.

Subjektivitasnya ada pada bagaimana sejarah itu disampaikan, diceritakan oleh seseorang. Faktor kepentingan dan latar belakang penulis sejarah itu juga mempengaruhi cara penulisan sejarah.  Penulisan yang dapat dipertanggungjawabkan harus melalui penafsiran yang mendekati kebenaran peristiwa yang terjadi. Sementara itu untuk merekonstruksi kisah sejarah harus mengikuti metode analisis serta pendekatan tertentu.

Suatu peristiwa yang sama dapat saja dikisahkan dengan cara berbeda oleh dua orang atau lebih karena mereka memiliki  penafsiran  yang  berbeda. Misalnya ketika kita mewawancarai masyarakat di wilayah Majapahit sekarang, akan berbeda mengisahkannya Peristiwa Bubat antara satu dengan yang lainnya. Apabila  yang  kita  wawancarai  adalah orang-orang Pasundan, kemungkinan ia akan menceritakan Peristiwa Bubat dalam perspektif dirinya sebagai orang sunda. Apabila kita tanya orang-orang yang tbukan dari wilayah keduanya maka akan berbeda pula cara mengisahkannya.
Apabila kita mendengarkan seseorang   menceritakan   tentang   perang
bubat yang terjadi karena kesalah pahaman antara kerajaan Majapahit yang di pimpin
Raja Hayam wuruk dengan pihak kerajaan pasundan yang dipimpin oleh Sri Baduga.
Yang menyebabkan meninggalnya raja pasundan dan putrinya yang bernama Dyah Ayu
Pitaloka yang akan dipersunting oleh Raja Hayam wuruk dari Majapahit. Kisah ini masuk dalam kategori kisah lisan. Namun, apabila kita ingin mengetahui peristiwa Bubat dengan
membaca buku-buku yang bercerita tentang Perang Bubat, maka itu termasuk dalam
kategori kisah tulisan. 


Sejarah sebagai seni


Ada sebuah gemuruh  di kepala saat pertama kali membaca satu kutipan ini. Kutipan milik Kartini. Penting menyebutnya Raden Ajeng Kartini, namun pemilik nama ini justru meminta untuk hanya memanggilnya dengan nama saja, tanpa gelar kebangsawanan yang lekat dari keluarganya. Sebuah permintaan yang ia tulis kepada seorang gadis Belanda yang menjadi sahabat pena pertamanya, Estelle “Stella” Zeehandelaar. Panggil Aku Kartini Saja; yang kemudian menjadi sebuah judul biografi yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.

Saat ia melihat fenomena mengapa Cina selalu superior di pendidikan di Indonesia “Aku lebih cenderung untuk berada bahwa stimulus dan selera adalah faktor yang sangat berpengaruh pada pemikiran seseorang, Belajar tanpa selera tidak akan berhasil. Tanpa fighting spirit, maka kita bukan apa-apa. Hanya dengan inilah kita dapat belajar dengan semangat. Aku lihat orang-orang Tionghoa telah mempunyai stimulus dalam hal ini ekonomi atau ideal”. Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran

Sudah pernah baca belum dua buah novel sejarah diatas. Didalam kutipan Itu apa yang kalian pahami, mengapa penulisan sebuah karya harus menarik, kenapa gak ditulis sesuai peristiwa saja yang apa adanya. Kenapa sih sejarah dikatakan sebagai seni?. Berbicara tentang sejarah sebagai Seni, dalam benak kita yang muncul kenapa seni, mengapa seni, bagaimana sebuah peristiwa bisa sebagai seni?.    Sejarah dapat berperan sebagai suatu Seni yang mengedepankan nilai estetika. Sejarah sebagai seni
bukan dipandang dari segi etik atau logika, melainkan dari segi estetika.

Menurut Wilhelm Dilthey, sejarah adalah pengetahuan tentang rasa. Sejarah tidak hanya mempelajari segala yang bergerak dan berubah atau yang tampak dipermukaan, sejarah juga mempelajari motivasi yang mendorong terjadinya perubahan besar bagi pelaku  sejarah.  Sejarah  mempelajari  suatu  proses yang  dinamis  dalam  kehidupan manusia yang didalamnya terdapat hubungan sebab akibat. 

Sejarah sebagai seni disebabkan dalam rangka penulisan kisah sejarah. Dalam memilih topik, sejarawan sering tidak bisa mengandalkan ilmu yang dimilikinya saja, ia akan memerlukan ilmu sosial dalam menentukan sumber apa yang harus dicari, demikian pula dalam interpretasi data.

Dalam hal ini sejarawan memerlukan Intuisi   atau ilham, yaitu pengalaman langsung dan insting selama masa penelitian berlangsung. Setiap langkah diperlukan kepandaian sejarawan dalam memutuskan apa yang harus dikerjakan. Seringkali untuk memilih suatu penjelasan, bukan peralatan ilmu yang berjalan tetapi instuisi. Dalam hal ini cara sejarawan seperti seorang seniman.

Tokoh penganjur sejarah sebagai seni adalah George Macauly Travelyan. Menurut Travelyan menulis sebuah kisah peristiwa sejarah tidaklah mudah karena memerlukan imajinasi dan seni. Demikian halnya ketika harus menggambarkan suatu peristiwa atau berupa deskripsi, sejarawan sering tidak sanggup melanjutkan tulisannya. Dalam keadaan seperti itu, sebenarnya yang diperlukan adalah intuisi. Namun, meskipun mengandalkan intuisi, sejarawan harus tetap berdasarkan data yang dimilikinya.

Sejarawan juga membutuhkan Imajinasi, misalnya membayangkan apa yang  sebenarnya terjadi, apa yang sedang terjadi, pada suatu periode yang ditelitinya. Imajinasi  yang  digunakan  tentunya  bukanlah  imajinasi liar melainkan berdasarkan keterangan atau data yang mendukung. Misalnya seorang sejarawan akan menulis priyayi awal abad ke-20. Ia harus memiliki gambaran, mungkin priyayi itu anak cucu kaum bangsawan atau raja yang turun statusnya karena sebab-sebab alamiah atau politis. Imajinasi seorang sejarawan juga harus jalan jika ia ingin memahami perlawanan Sultan Palembang yang berada di luar ibu kota pada abad ke-19. Sejarawan dituntut untuk dapat membayangkan sungai dan hutan yang mungkin jadi tempat baik untuk bersembunyi (Kuntowijoyo 2001:70).

Demikian halnya dengan Emosi. Dalam penulisan sejarah terdapat pula keterlibatan emosi. Di sini penulis sejarah perlu memiliki empati yang menyatukan dirinya dengan objek yang diteliti. Pada penulisan sejarah zaman Romantik yaitu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke- 19, sejarah dianggap sebagai  cabang  sastra. Akibatnya, menulis  sejarah  disamakan  dengan  menulis  sastra,  artinya  menulis  sejarah  harus dengan keterlibatan emosional. Orang yang membaca  Catatan seorang Demonstran harus dibuat seolah-olah hadir dan menyaksikan sendiri peristiwa itu. Penulisnya harus berempati, menyatukan perasaan dengan objeknya. Diharapkan sejarawan dapat menghadirkan objeknya seolah-olah pembacanya mengalami sendiri peristiwa itu (Kuntowijoyo 2001:70-71).

Unsur lain yang tidak kalah pentingnya adalah Gaya Bahasa. Dalam penulisan sejarah, sejarawan harus menggunakan gaya bahasa yang tidak berbelit-belit, tidak berbunga-bunga, tidak membosankan, komunikatif dan mudah dipahami. Khususnya dalam menghidupkan suatu kisah di masa lalu. Di sini yang diperlukan adalah kemampuan menulis secara terperinci (detail). Berbeda dengan karya sastra, dalam penulisan sejarah harus berusaha memberikan informasi yang lengkap dan jelas. Serta menghindari subjektivitas dan mengedepankan obyektivitas berdasarkan penggunaan metode penelitian yang tepat.

Namun, sejarah sebagai seni memiliki beberapa kekurangan yaitu sejarah sebagai seni akan kehilangan ketepatan dan obyektivitasnya. Alasannya, seni merupakan hasil imajinasi. Sementara ketepatan dan obyektivitas merupakan hal yang diperlukan dalam penulisan sejarah. Ketepatan berarti adanya kesesuaian antara fakta dan penulisan sejarah. Sedangkan obyektivitas berarti tidak ada pandangan yang individual. Kedua hal ini menimbulkan kepercayaan orang pada sejarawan dan memberikan kesan penguasaan sejarawan atas detail tulisan sejarah. Namun, kesan akan kedua hal itu akan hilang jika sejarah menjadi seni karena sejarah berdasarkan fakta dan seni merupakan hasil imajinasi. Sejarah yang terlalu dekat seni pun dapat dianggap telah memalsukan fakta.

Berkaitan dengan fakta dari peristiwa di masa lalu, muncul kesangsian apakah benar masa lalu pernah ada. Mungkin saja masa lalu itu sebuah rekayasa, hasil khayalan kita atau fiksi. Bila kita menyangsikan adanya sesuatu dimasa silam, maka kita harus mempunyai  gambaran  mengenai  dunia  yang  telah  disangsikan  tersebut  kemudian merumuskan kesangsian tersebut. Selain itu juga kita harus menanyakan mengapa kita menyangsikan masa lalu itu.

Filsuf Bertrand Russel (1872-1970) Menuliskan bahwa segala kenang-kenangan kitaakan masa silam, ternyata diciptakan lima menit yang lalu. Semua kenang-kenangan kita dan bahan historis serasi antara satu dan yang lainnya, sehingga Nampak seolah- olah ada masa silam yang mendahului saat penciptaan itu.(Angkersmit 1987:77)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 391) fiksi adalah cerita rekaan, rekaan,  khayalan,  tidak  berdasarkan  kenyataan,  dan  pernyataanyang  hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Fiksi berbeda dengan sejarah, karena sejarah menyuguhkan fakta sedangkan fiksi menyuguhkan khayalan, imajinasi dan fantasi. Fiksi sejarah adalah sebuah karya fiksi yang di ilhami dari sejarah. Melalui fiksi sejarah, seseorang akan diajak memahami sejarah dengan cara yang berbeda. Yang berfungsi untuk menghibur. Contoh fiksi sejarah antara lain Roro Mendut karya Y.B Mangunwijaya.


Di  samping  itu fiksi merupakan karya rekaan yang melibatkan imajinasi dan merupakan bagian dari seni. Sejarah dapat juga disebut sebagai seni karena sejarah berhubungan  dengan   penyimpulan  dan  penulisan   suatu   peristiwa  sejarah   yang berhubungan dengan kaidah dan keindahan bahasa Kita mengenal adanya karya sastra (fiksi) yang berlatar belakang sejarah. Misalnya karya tetralogi Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca yang menggambarkan suasana Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dalam karya-karyanya tersebut Pramoedya menghubungkan antara sejarah (realitas) dengan sastra (fiksi).


Berikutnya   adalah    Mithos dalam sejarah. Mithos merupakan bagian dari  budaya  sebagai   bagian  dari olah pikir manusia. Daya ingat manusia terbatas. Baik      sejarah      maupun      mitos, keduanya  menceritakan  masa  lalu tetapi sejarah dan mitos adalah dua hal  berbeda.  Mithos  berasal  dari Bahasa    Yunani,    Mythos    berarti dongeng.  Oleh  karena  merupakan dongeng, mithos          biasanya menceritakan   masa   lalu   dengan waktu    yang    tidak    jelas    serta kejadian yang tidak masuk akal. Contoh mithos di Indonesia adalah kisah   Kanjeng   Ratu   Kidul   yang memiliki    istana di dalam    Laut Selatan   dan   menjadi   permaisuri raja-raja  Jawa.  Sebenarnya  mithos tidak   hanya dikenal   di   Jawa,   di wilayah-wilayah  lain  di  Indonesia juga mengenal mithos.

Meskipun kisah dalam mithos di luar rasio manusia ada saja orang Indonesia yang mempercayainya dan  menyatakan  bahwa  itu  merupakan  peristiwa  nyata,  peristiwa faktual yang benar terjadi. Hal inilah yang menurut Onghokham disebut mithos. Meskipun mithos bukan sejarah tetapi mithos-mithos memiliki kegunaan sendiri. Ini menunjukkan bahwa Sejarah memang tidak ada dengan sendirinya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama