Penjajahan Belanda di Indonesia

Era VOC (Perserikatan Dagang Hindia Timur)


Besarnya keuntungan yang diperoleh dari perdagangan rempah-rempah dan didukung oleh pengusiran bangsa Portugis menyebabkan para penguasa di Belanda bersaing untuk berlayar ke Maluku. Harga rempah-rempah di Eropa pun semakin tidak terkendali. Melihat kenyataan ini. Parlemen Belanda atau Staten Generaal mengusulkan agar semua perusahaan pelayaran membentuk sebuah kongsi dagang pada tahun 1598. Mulai tahun 1602

Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan- kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Pada abad   ke-17 dan 18   Hindia-Belanda   tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama    Perusahaan    Hindia    Timur    Belanda    (bahasa    Belanda:    Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. VOC  mempunyai  hak-hak  istimewa  yang  disebut  hak  Oktrooi yang  diberikan oleh parlemen Balanda. Hak tersebut adalah sebagai berikut:

1.   Hak monopoli dagang di wilayah-wilayah antara Amerika Selatan dan Afrika.

2.   Hak memiliki angkatan perang dan membangun benteng pertahanan.

3.   Hak berperang dan menjajah

4.   Hak mengangkat pegawai.

5.   Hak melakukan pengadilan dan hak mencetak dan mengedarkan uang sendiri. 

Di samping hak-hak istimewanya, VOC juga memiliki kewajiban khusus terhadap pemerintahan Belanda. VOC wajib melaporkan hasil keuntungan dagangnya kepada Staten General atau parlemen Balanda dan membantu pemerintah Belanda dalam kondisi perang.

Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah- rempah, dan  terhadap  orang-orang  non-Belanda  yang  mencoba  berdagang  dengan  para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala  kepada  pedagang  Inggris,  pasukan  Belanda  membunuh  atau  mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau  budak-budak  yang  bekerja  di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, pada tahun 1618, Pangeran Jayakarta diserang oleh Kerajaan Banten. Kerajaan Banten di bantu oleh Inggris. 


Pada tanggal 30 Mei 1619, Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen, mengirimkan tujuh belas buah kapal untuk menyerang dan memukul mundur pasukan Banten. Pasukan Kerajaan Banten berhasil dikalahkan. Jan Pieterzon Coen kemudian membangun kembali   kota   Jayakarta   dan   memberinya   nama   Batavia.   Batavia dijadikan  pusat perdagangan dan kekuasaan Belanda dan Batavia juga resmi dijadikan markas besar VOC di Indonesia. Dalam menghadapi kerajaan-kerajaan Indonesia, Belanda melancarkan politik adu domba (devide et impera).

Pada akhir abad ke-18, VOC mengalami kemunduran akibat kerugian yang sangat besar dan utang yang dimilikinya berjumlah sangat besar. Hal ini juga diakibatkan oleh:

  1. persaingan dagang dari bangsa Perancis dan Inggris,
  2. penduduk  Indonesia,  terutama  Jawa  telah  menjadi  miskin,  sehingga  tidak mampu membeli   barang-barang yang dijual oleh VOC
  3. perdagangan gelap merajalela dan menerobos monopoli perdagangan VOC,
  4. pegawai-pegawai    VOC    banyak    melakukan    korupsi    dan    kecurangan- kecurangan akibat dari gaji yang diterimanya terlalu kecil,
  5. VOC mengeluarkan anggaran belanja  yang cukup besar untuk memelihara tentara dan pegawai-pegawai yang jumlahnya cukup besar untu memenuhi pegawai daerah-daerah yang baru dikuasai, terutama di Jawa dan Madura.


Era Pemerintah Hindia Belanda

Maka   pada   tahun   1799,   VOC   akhirnya   dibubarkan.   Pada   tahun   1807, Republik Bataafsche  dihapuskan  oleh  Kaisar  Napoleon  Bonaparte  dan  diganti bentuknya menjadi Kerajaan Holland di bawah pemerintahan Raja Louis Napoleon Bonaparte (adik dari Kaisar Napoleon).

VOC akhirnya dibubarkan pada tahun 1799. Segala tanggung jawab VOC diambil alih oleh Kerajaan Belanda dan terbentuknya pemerintahan Hindia Belanda (Nederlands Indies). Pengambilan kekuasaan ini dimaksudkan agar wilayah Indonesia tetap berada dalam pengendalian Belanda. Dalam hal perkembangannya, Raja Louis Napoleon Bonaperte,  yang bertanggung jawab atas wilayah Kerajaan Belanda, menunjuk Herman Williem Daendels sebagai Gubernur Jendral di Indonesia.    Dari tahun 1808-1811  Herman  Willem Daendels  menjadi  Gubernur Jendral Belanda di Indonesia dengan tugas utamanya adalah untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris. Dalam upaya tersebut, perhatian Daendels hanyalah terhadap pertahanan dan ketentaraan.

Untuk   memperkuat   angkatan   perangnya,   Daendels   melatih   orang-orang Indonesia, karena tidak mungkin ia menambah tentaranya dari orang-orang belanda  yang didatangkan dari negeri belanda. Pembangunan angkatan perangnya ini dilengkapi dengan pendirian tangsi-tangsi atau benteng-benteng, pabrik mesiu dan juga rumah  sakit  tentara.  Di samping itu, atas dasar  pertimbangan  pertahanan, Daendels memerintahkan pembuatan jalan pos dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di Jawa Timur. Pembuatan jalan ini menggunakan tenaga rakyat dengan sistem kerja paksa atau kerja rodi, hingga selesainya pembuatan jalan itu. Untuk orang Belanda, pekerjaan menyelesaikan pembuatan jalan pos ini merupakan keberhasilan yang gemilang, tetapi lain halnya dengan bangsa Indonesia, di mana setiap jengkal jalan itu merupakan peringatan terhadap rintihan dan jeritan jiwa orang yang mati dalam pembuatan jalan tersebut.

Setelah pembuatan jalan selesai, Daendels memerintahkan pembuatan perahu- perahu kecil, karena perahu-perahu perang Belanda tidak mungkin dikirim dari negeri Belanda ke Indonesia. Selanjutnya pembuatan pelabuhan-pelabuhan tempat bersandarnya perahu-perahu perang itu, Daendels merencanakan di daerah Banten Selatan. Pembuatan pelabuhan itu telah memakan ribuan korban jiwa orang Indonesia di Banten akibat dari penyakit malaria  yang menyerang para pekerja paksa. Akhirnya pembuatan pelabuhan itu tidak selesai. Walaupun Daendels bersikeras  untuk  tetap menyelesaikannya,  tetapi  Sultan  Banten  menentangnya. Daendels  menganggap  jiwa rakyat  Banten tidak  ada  harganya,  sehingga hal ini mengakibatkan pecahnya perang antara Daendels dengan Kerajaan Banten. Di samping itu, pembuatan pelabuhan di Merak juga mengalami kegagalan dan hanya usaha untuk memperluas pelabuhan di Surabaya yang cukup memuaskan.

Pada tahun 1810 Kerajaan Belanda di bawah pemerintahan Raja Louis Napoleon Bonaparte dihapuskan   oleh  Kaisar  Napoleon  Bonaparte.  Negeri  Belanda dijadikan   wilayah kekuasaan Perancis. Dengan demikian, wilayah jajahannya di Indonesia secara otomatis menjadi wilayah jajahan Perancis. Napoleon menganggap bahwa tindakan Daendels sangat otokratis (otoriter), maka pada tahun 1811 ia dipanggil kembali ke negeri Belanda dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Jansens.


Kebijakan Cultuurstelsel (Tanan Paksa)

Belanda kembali menguasai wilayah Indonesia berdasarkan Konvensi London tahun 1814. Pemerintahan kolonial Belanda selanjutnya dipegang oleh sebuah komisi yang beranggotakan Vander Capellen, Elout, dan Buyskes. Van der Capellen mempunyai peranan paling besar, ia merusaha mengeruk keuntungan sebanyak mungkin. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutang-hutang Belanda yang cukup besar selama perang. Kebijakan yang di ambil oleh Van der Capellen salah satunya adalah dengan menyewakan tanah kepada penguasa-penguasa Eropa. Selanjutnya pemerintah kolonial Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jendral Van den Bosch mengambil kebijakan tanam paksa pada tahun 1830 yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda yang mulai diterapkan di Indonesia. 

Sistem Tanam Paksa telah merendahkan harkat dan martabat Bangsa Indonesia di rendahkan sampai menjadi perkakas bangsa Asing dalam usaha penjajah asing untuk mengisi kasnya.  Keadaan rakyat sudah tentu kacau, sawah dikurangi untuk keperluan tanam paksa, rakyat dipaksa bekerja dimana-mana, kadang-kadang harus bekerja di kebun yang letaknya sampai 45 kilometer dari desanya. Kerja rodi dilaksanakan, pajak tanah harus dibayar, di pasar di peras oleh orang asing yang memborong pasar-  pasar  itu.  Ditambah  lagi  para  pegawai  pemerintah  kolonial Belanda ikut-ikutan memeras  rakyat.  Dalam  sistem  ini,  para  penduduk  dipaksa menanam  hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti  teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa keuntungan  yang  sangat  besar  untuk  pihak  Belanda  dari keuntungan   ini,   utang Belanda dapat dilunasi dan semua masalah keuangan bisa diatasi.

Demikianlah nasib rakyat Indonesia yang di jajah Belanda. Akibat program- program  Belanda  yang  ingin  menambah  kas  keuangan  mereka  rakyat  menjadi sengsara,  kelaparan  merajalela,  bahkan  sampai  menimbulkan  kelaparan  yang berujung kematian. Keadaan ini menimbulkan reaksi yang keras sampai di negeri Belanda. Mereka berpendapat bahwa sistem tanam paksa dihapuskan dan diganti keikutsertaan pihak swasta Belanda untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sistem  tanam  paksa  kemudia secara berangsur-angsur  dihapuskan  tahun 1861, 1866, 1890, dan 1916.


Politik Pintu Terbuka

Pada tahun 1870 di Indonesia mulai dilaksanakan politik kolonial liberal yang sering disebut ”Politik Pintu Terbuka (open door policy)”. Sejak saat itu pemerintah Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha asing untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan.

Periode antara tahun 1870 -1900 disebut zaman liberalisme. Pada waktu itu pemerintahan Belanda dipegang oleh kaum liberal yang kebanyakan terdiri dari pengusaha swasta mendapat kesempatan untuk menanam modalnya di Indonesia dengan cara besar-besaran. Mereka mengusahakan perkebunan besar seperti perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, kelapa sawit dan sebagainya. Mereka juga mendirikan pabrik seperti pabrik gula, pabrik cokelat, teh, rokok, dan lain-lain. Pelaksanaan  politik kolonial liberal ditandai  dengan keluarnya undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula. 

Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870

Undang-undang  ini  merupakan  sendi  dari peraturan  hukum  agraria  kolonial  di Indonesia yang berlangsung dari 1870 sampai 1960. Peraturan itu hapus dengan dikeluarkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960) oleh Pemerintah Republik Indonesia. Jadi Agrarische Wet itu telah berlangsung selama 90 tahun hampir mendekati satu abad umurnya.Wet itu tercantum dalam pasal 51 dari Indische Staatsregeling, yang merupakan peraturan pokok dari undang-undang Hindia Belanda.

Menteri jajahan  Belanda De Waal, berjasa  menciptakan  wet ini  yang isinya, antara lain sebagai berikut:

1.   Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah

2.   Gubernur  jenderal  boleh  menyewakan  tanah  menurut peraturan undang- undang.

3.   Dengan peraturan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan  hak Erfpacht, yaitu hak pengusaha untuk dapat menyewa tanah dari gubernemen paling lama 75 tahun, dan seterusnya.

Undang-undang  agraria  pada  intinya  menjelaskan  bahwa  semua  tanah  milik penduduk Indonesia adalah milik pemerintah kerajaan Belanda. Maka pemerintah Belanda memberi mereka kesempatan untuk menyewa tanah milik penduduk dalam jangka waktu yang panjang. Sewa-menyewa tanah itu diatur dalam Undang-Undang Agraria tahun 1870. Undang-undang itu juga dimaksudkan untuk melindungi petani, agar tanahnya tidak lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangan para pengusaha. Tetapi seringkali hal itu tidak diperhatikan oleh pembesar-pembesar pemerintah. Dengan  dibukanya  perkebunan  di  daerah  pedalaman,  maka  rakyat  di  desa-  desa langsung berhubungan dengan dunia modern. Mereka mulai benar-benar mengenal artinya uang. Mereka juga mengenal hasil bumi yang diekspor dan barang luar negeri yang diimpor, seperti tekstil. Hal ini tentu membawa kemajuan bagi petani. Sebaliknya usaha  bangsa  sendiri  banyak  yang  terdesak,  misalnya  usaha  kerajinan,  seperti pertenunan menjadi mati. Di antara pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik. Karena adanya perkebunan- perkebunan itu, Hindia Belanda menjadi negeri pengekspor hasil perkebunan.


Undang-Undang Gula (Suiker Wet)

Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa tebu tidak boleh diangkut ke luar Indonesia, tetapi harus diproses di dalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus  secara  bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru. Sejak itu Hindia Belanda menjadi negara produsen hasil perkebunan yang penting. Apalagi sesudah Terusan Suez dibuka, perkebunan tebu menjadi bertambah luas, dan produksi gula juga meningkat.



Terbukanya Indonesia bagi swasta asing berakibat munculnya perkebunan- perkebunan swasta asing di Indonesiaseperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan, seperti tambang timah di Bangka dan tambang batu bara di Umbilin.

Khusus perkebunan di Sumatera Timur yaitu Deli dan Serdang, tenaga kerjanya didatangkan dari Cina di bawah sistem kontrak. Dengan hapusnya sistem perbudakan, maka sistem kerja kontrak kelihatan sebagai jalan yang paling logis bagi perkebunan- perkebunan Sumatera Timur, untuk memperoleh jaminan bahwa mereka dapat memperoleh dan menahan pekerja-pekerja untuk beberapa tahun.

Dalam tahun 1888 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan kerja kuli kontrak di Sumatera Timur yang disebut (Koelie Ordonnantie). Koeli Ordonnantie ini, yang mula-mula hanya berlaku untuk Sumatera Timur tetapi kemudian berlaku pula di semua wilayah Hindia Belanda di luar Jawa, memberi jaminan-jaminan tertentu pada majikan terhadap kemungkinan pekerja- pekerja melarikan diri sebelum masa kerja mereka menurut kontrak kerja habis. Di lain pihak juga diadakan peraturan-peraturan yang melindungi para pekerja terhadap tindakan sewenang-wenang dari sang majikan. Untuk memberi kekuatan pada peratuan-peraturan dalam Koeli Ordonnantie, dimasukkan pula peraturan mengenai hukuman-hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran, baik dari pihak majikan maupun dari pihak pekerja. Dalam kenyataan ternyata bahwa ancaman hukuman yang dapat dikenakan terhadap pihak majikan hanya merupakan peraturan di  atas kertas jarang atau tidak pernah dilaksanakan. Dengan demikian ancaman hukuman untuk pelanggaran-pelanggaran hanya jatuh di atas pundak pekerja- pekerja perkebunan. Ancaman  hukuman  yang  dapat  dikenakan  pelaksanaan politik pintu  terbuka,  tidak  membawa  perubahan  bagi  bangsa  Indonesia.  Bangsa Indonesia tetap buruk nasibnya. Banyak di antara penduduk yang bekerja di perkebunan-perkebunan swasta dan pabrik-pabrik dengan perjanjian kontrak kerja. Mereka terikat kontrak yang sangat merugikan. Mereka harus bekerja keras tetapi tidak setimpal upahnya dan tidak terjamin makan dan kesehatannya. Nasib rakyat sungguh sangat sengsara dan miskin.


Kebijakan Politik Etis

Melihat kenyataan banyaknya rakyat Indonesia yang menderita akibat kenijakan Pemerintah  Kolonial Belanda,  para  pengabdi  kemanusiaan  yang  dulu  menentang tanam paksa, mendorong pemerintah colonial untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Sudah menjadi kewajiban pemerintah Belanda untuk memajukan bangsa Indonesia, baik jasmani maupun rohaninya. Dengan dalih untuk memajukan bangsa Indonesia itulah kemudian dilaksanakan Politik Etis.

Pada pekerja-pekerja perkebunan yang melanggar ketentuan- ketentuan kontrak kerja kemudian terkenal sebagai poenale sanctie. Poenale sanctie membuat ketentuan  bahwa  pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunan- perkebunan Sumatera Timur dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan dengan kekerasan jika mereka mengadakan perlawanan. Lain-lain hukuman dapat berupa kerja paksa pada pekerja-pekerja umum tanpa pembayaran atau perpanjangan masa kerja yang melebihi ketentuan-ketentuan kontrak kerja.

Pencetus politik etis (politik balas budi) ini adalah Van Deventer. Van Deventer memperjuangkan nasib bangsa Indonesia denga nmenulis karangan dalam majalah DeGids yang berjudul Eeu Eereschuld (Hutang Budi). Van Deventer menjelaskan bahwa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Hutang budi itu harus dikembalikan dengan memperbaiki nasib rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan. 

Menurut Van Deventer, ada tiga cara untuk memperbaiki nasib rakyat tersebut, yaitu memajukan.

  1. Edukasi  (Pendidikan).  Dengan  edukasi  akan  dapat  meningkatkan  kualitas bangsa Indonesia sehingga dapat diajak memajukan perusahaan perkebunan dan mengurangi keterbelakangan.
  2. Irigasi (pengairan). Dengan irigasi tanah pertanian akan menjadi subur dan produksinya bertambah.
  3. Emigrasi (pemindahan penduduk). Dengan emigrasi tanah-tanah di luar Jawa yang belum diolah menjadi lahan perkebunan, akan dapat diolah untuk menambah penghasilan. Selain itu juga untuk mengurangi kepadatan penduduk Jawa.

Pendukung Politik Etis usulan Van Deventer adalah sebagai berikut.

  • Mr. P. Brooshoof, redaktur surat kabar De Lokomotif,  yang pada tahun 1901 menulis buku berjudul De Ethische Koers In de Koloniale Politiek (Tujuan Ethis dalam Politik Kolonial).
  • K.F. Holle, banyak membantu kaum tani.
  • Van Vollen Hoven, banyak memperdalam hokum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia.
  • Abendanon, banyak memikirkan soal pendidikan penduduk pribumi.
  • Leivegoed, seorangjurnalis yang banyak menulis tentang rakyat Indonesia. f.     Van Kol, banyak menulis tentang keadaanp emerintahan Hindia Belanda.
  • Douwes  Dekker  (Multatuli),  dalam  bukunya  yang berjudul  Max Havelaar, bercerita tentang kondisi masyarakat Indonesia saat itu.

Usulan Van Deventer tersebut mendapat perhatian besar dari pemerintah Belanda, pemerintah Belanda menerima saran tentang Politik Etis, namun akan diselaraskan dengan sistem kolonial di Indonesia. (Edukasi dilaksanakan, tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan). Pendidikan dipisah- pisah  antara   orang Belanda, anak bangsawan, dan rakyat. Bagi rakyat kecil hanya tersedia sekolah rendah untuk mendidik anak menjadi orang yang setia pada penjajah, pandai dalam administrasi dan sanggup menjadi pegawai dengan gaji yang rendah.

Dalam bidang irigasi (pengairan) diadakan pembangunan dan perbaikan. Tetapi pengairan tersebut tidak ditujukan untuk pengairan sawah dan ladang milik rakyat, namun untuk mengairi perkebunan-perkebunan milik swasta asing dan pemerintah kolonial.

Emigrasi juga dilaksanakan oleh pemerintah Belanda bukan untuk memberikan penghidupan yang layak serta pemerataan penduduk, tetapi untuk membuka hutan- hutan baru di luar pulau Jawa bagi perkebunan dan perusahaan swasta asing. Selain itu juga untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah.

Jelaslah bahwa pemerintah Belanda telah menyelewengkan Politik Etis. Usaha- usaha yang dilaksanakan baik edukasi, irigasi, dan emigrasi, tidak untuk memajukan rakyat Indonesia, tetapi untuk kepentingan penjajah itu sendiri. Sikap penjajah Belanda yang demikian itu telah menyadarkan bangsa Indonesia bahwa penderitaan dan kemiskinan rakyat Indonesia dapat diperbaiki jika bangsa Indonesia bebas merdeka dan berdaulat.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama