Periodesasi Perkembangan Masyarakat Praaksara Berdasarkan Hasil Hasil Kebudayaan

 

Masa Praaksara merupakan suatu masa di mana manusia dalam hal ini ialah manusia purba sebagai masyarakat yang menetap di suatu wilayah yang ada di Indonesia, masih belum mengenal tulisan . Berdasarkan hasil kebudayaannya, secara garis besar, Zaman Praaksara dibagi menjadi Zaman Batu dan Zaman Logam
1. Jaman batu
Berdasarkan cara memproses perkakas batu dan fungsi perakaks batu yang mereka gunakan , jaman batu diperiodisasi lagi menjadi 4 zaman, yaitu sebagai berikut:
a. Jaman Paleolitikum (Zaman Batu Tua)
b. Jaman Mesolitikum (Zaman Batu Madya)
c. Jaman Neolitikum (Zaman Batu Baru/Batu Muda)
d. Jaman Megalitikum (Zaman Batu Madya)

a. Jaman Batu Tua ( Palaeplithikum)
Jaman palaeolithikum berarti jaman batu tua. Jaman ini ditandai dengan adanya perkakas yang terbuat dari batu yang masih kasar, sederhana, dan sangat primitif. Hasil kebudayaan Palaeolithikum banyak ditemukan di daerah Pacitan (Jawa Timur) dan Ngandong (Jawa Timur). Untuk itu para arkeolog sepakat untuk membedakan temuan benda-benda prasejarah di kedua tempat tersebut yaitu sebagai kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
1) Kebudayaan Pacitan


Pacitan merupakan nama salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur, berbatasan dengan Jawa Tengah. Pada zaman purba, diperkirakan aliran Bengawan Solo mengalir ke selatan dan bermuara di pantai Pacitan.
Alat-alat  batu  yang  berasal  dari  Pacitan  ini  disebut  dengan kapak  genggam ( Chopper ) dan kapak perimbas. Di Pacitan, juga ditemukan alat-alat yang berbentuk kecil, disebut dengan serpih. Berbagai peninggalan tersebut diperkirakan digunakan oleh  manusia  purba jenis  Meganthropus.  Perkakas batu  yang  ditemukan di  daerah pacitan ini yaitu :
Pada tahun 1935, Von Koenigswald menemukan beberapa alat dari batu yang ada di daerah Pacitan. Alat-alat ini bentuknya menyerupai kapak, akan tetapi tidak bertangkai, sehingga menggunakan kapak tersebut dengan cara digenggam.
Merupakan peninggalan jaman Palaeolithikum yang ditemukan pertama kali oleh Von Koenigswald tahun 1935 di Pacitan dan diberi nama dengan kapak genggam, karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam.
Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu prasejarah disebutdengan chopper artinya alat penetak.

Berdasarkan penelitian yang intensif yang dilakukan sejak awal tahun 1990, dan diperkuat dengan adanya penemuan terbaru tahun 2000 melalui hasil ekskavasi yang dilakukan  oleh  tim  peneliti  Indonesia-Perancis  diwilayah  Pegunungan  Seribu/Sewu maka dapat dipastikan bahwa kapak genggam/Chopper dipergunakan oleh manusia jenis Homo Erectus.

2)Kebudayaan Ngandong
Ngandong merupakan nama dari salah satu daerah yang terletak didekat Ngawi, Madiun, Jawa Timur. Di daerah Ngandong dan Sidorejo ini banyak ditemukan alat-alat yang berasal dari tulang serta alat-alat kapak genggam dari batu.
Alat-alat dari tulang tersebut ini diantaranya dibuat dari tulang binatang dan tanduk rusa. Selain itu, juga ada alat-alat seperti ujung tombak yang bergerigi pada sisi- sisinya. Berdasarkan penelitian, alat-alat tersebut merupakan hasil kebudayaan dari Homo Soloensis dan Homo Wajakensis.
Di dekat Sangiran, dekat dengan Surakarta, ditemukan juga alat-alat yang berbentuk kecil, biasa disebut dengan nama Flakes. Manusia purba telah memiliki nilai seni yang tinggi. Pada beberapa flake, ada yang dibuat dari batu indah, seperti Chalcedon. Perkakas yang ditemukan didaerah Ngandong ini, yaitu :
1. Alat Alat Dari Tulang dan Tanduk


Di sekitar daerah Ngandong dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur) ditemukan kapak genggam  dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat dari  tulang  tersebut bentuknya ada yang seperti belati dan ujung tombak yang  bergerigi pada sisinya. Adapun fungsi dari alat-alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah, serta menangkap ikan.
2. Flakes ( Alat Serpih )


Selain alat-alat dari tulang yang termasuk kebudayaan Ngandong, juga ditemukan alat alat lain berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon. Karena perkakas perkakas tersebut ditemukan di daerah Ngandong, dikenal secara umum dengan nama Kebudayaan Ngandong. Manusia pendukung kebudayaan ini adalah:  Makhluk         dari         jenis          Pithecanthropus         erectus,         pithecantropus robustus dan Meganthropus palaeojavanicus. Selanjutnya hidup berbagai jenis homo (manusia) diantaranya Homo soloensis dan Homo wajakensis.

b. Jaman Batu Madya ( Mesolithikum )
jaman Mesolitikum diperkirakan berlangsung pada masa Holosen awal setelah jaman es berakhir. Pendukung kebudayaannya ialah Homo Sapiens yang merupakan manusia cerdas. Untuk penemuannya berupa fosil manusia purba, banyak ditemukan di Sumatra Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Flores. 
Ciri    kebudayaan   Mesolithikum   tidak   jauh   berbeda    dengan    kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup pada zaman tersebut sudah  ada  yang  menetap  sehingga  kebudayaan  Mesolithikum  yang  sangat menonjol        dan        sekaligus        menjadi        ciri        dari        jaman        ini        yaitu kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
1) Kjokkenmoddinger


Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya  adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan.
Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada jaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan Chopper ( Kapak Genggam Jaman Palaeolithikum   ) .Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada jaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan Chopper ( Kapak Genggam Jaman Palaeolithikum   ) .Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Kapak Genggam Pebble ( Kapak Sumatera )
Kapak Sumatra (Pebble) Bentuk kapak ini bulat, terbuat dari batu kali yang dibelah dua. Kapak genggam jenis ini banyak ditemukan di Sepanjang Pantai Timur Pulau Sumatera, antara Langsa (Aceh) dan Medan.
Bentuk pebble dapat dikatakan sudah agak sempurna dan buatannya agak halus. Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya dengan menggenggam.
Di  antara  tumpukan sampah  juga  ditemukan  batu  penggiling  beserta  dengan landasannya  yang  digunakan  sebagai  penghalus  cat  merah.  Cat  itu  diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau dalam ilmu sihir.

2) Abris Sous Roche


Abris sous roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada jaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas , dugaan ini muncul dari perkakas seperti ujung panah, flakes, batu penggilingan, alat-alat dari tulang dan tanduk, yang tertinggal di dalam gua. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari jaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa

3) Sampung Bone Culture


Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan di dalam goa goa   ternyata yang paling  banyak  adalah  alat  dari  tulang  sehingga  oleh  para  arkeolog  menyebutnya sebagai   Sampung  Bone Culture/kebudayaan  tulang dari  Sampung.  Karena  goa  di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah  Besuki  dan  Bojonegoro  Jawa Timur.  Penelitian  terhadap goa  di  Besuki  dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren.

4) Kebudayaan Toala


Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan  jaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa jaman Mesolithikum sesungguhnya memiliki 3 corak kebudayaan yang terdiri dari:
a. Kebudayaan pebble/pebble culture di Sumatera Timur.
b. Kebudayaan tulang/bone culture di Sampung Ponorogo.
c. Kebudayaan flakes/flakes culture di Toala, Timor dan Rote.
Kecuali hasil-hasil kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang berupa tulang belulang, pecahan tengkorak dan gigi, meskipun tulang- tulang tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh/lengkap, tetapi dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa manusia yang hidup pada masa Mesolithikum adalah jenis Homo Sapiens.

Manusia pendukung kebudayaan jaman Mesolithikum adalah ras bangsa Papua Melanosoide nenek moyang dari Suku Irian dan Melanosoid, Sakai, Aeta, dan Aborigin Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin Indocina daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Maka kebudayaan Kapak Genggam Pebble sering disebut juga Kebudayaan Bacson Hoabinh.

C. Jaman Batu muda ( Neolithikum )
Jaman Neolitikum merupakan perkembangan jaman dari kebudayaan batu madya. Alat-alat yang terbuat dari batu yang telah mereka hasilkan lebih sempurna dan lebih halus   disesuaikan   dengan  fungsinya.   Hasil   kebudayaan   yang   terkenal  di   jaman Neolitikum adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong.
Fase atau tingkat kebudayaan pada jaman prasejarah yang memiliki ciri-ciri berupa unsur-unsur kebudayaan, seperti peralatan yang berasal dari batu yang sudah diasah, pertanian menetap, peternakan, serta pembuatan tembikar, juga merupakan salah satu pengertian dari jaman Neolitikum. Hasil hasil kebudayaan utama dari masa ini antara lain

1) Kapak persegi 


Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi berbentuk persegi panjang atau berbentuk juga trapezium tersedia dalam berbagai ukuran . Kapak persegi yang besar sering disebut dengan nama beliung atau cangkul. Sementara itu, yang berukuran kecil disebut dengan trah (tatah) yang digunakan untuk mengerjakan kayu. Alat-alat tersebut, terutama beliung, sudah diberi dengan tangkai. Daerah persebaran dari kapak persegi ini merupakan daerah Indonesia yang berada di bagian barat, misalnya di daerah Sumatera, Jawa, dan Bali.

2) Kapak Batu Chalcedon


Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, ajimat atau tanda kebesaran. Manusia pendukung     pada     jaman     ini     adalah Austronesia (austria), Austro-Asia (khamer- indocina)

3) Kapak Lonjong


Terbuat dari batu yang berbentuk lonjong serta sudah diasah secara halus dan diberi  tangkai.  Fungsi  dari  alat  ini  diperkirakan sebagai  kegiatan  dalam  menebang pohon. Daerah persebaran dari kapak lonjong ini umunya di daerah Indonesia yang terletak di bagian timur, misalnya di daerah Irian, Seram, Tanimbar, dan Minahasa.

Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam- hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
Pada jaman Neolithikum selain berkembang kapak persegi dan kapak lonjong juga terdapat barang-barang yang lain seperti perhiasan, gerabah dan pakaian. Perhiasan yang banyak ditemukan umumnya terbuat dari batu, baik batu biasa  maupun batu berwarna/batu permata atau juga terbuat dari kulit kerang . Pakaian yang dikenal oleh masyarakat pada jaman Neolithikum dapat diketahui melalui suatu kesimpulan penemuan alat pemukul kayu di daerah Kalimantan dan Sulawesi Selatan,  kesimpulan tersebut diperkuat dengan adanya pakaian suku dayak dan suku Toraja, yang terbuat dari kulit kayu.

D. Jaman Megalithikum ( Batu Besar )
Berdasarkann bahasa Yunani, kata Megalitikum dapat dibagi menjadi kata "Mega" yang berarti besar dan "Lithos" yang berarti batu. Perkembangan jaman batu besar atau jaman Megalitikum diperkirakan sudah ada sejak jaman batu muda hingga jaman logam.
Kebudayaan Megalitikum merupakan jaman dimana alat yang dihasilkan berupa bangunan batu besar, pada umumnya diperuntukan bagi tempat beribadah pada arwah kepercayaan Animisme dan Dinamisme .Kebudayaan ini merupakan kelanjutan dari jaman Neolitikum karena dibawa oleh bangsa Deutero Melayu yang dating di Nusantara. Kebudayaan ini berkembang bersama dengan kebudayaan logam di Indonesia, yakni kebudayaan Dongson.
Bentuk peninggalan peninggalan jaman Megalitikum tersebut terbuat dari batu besar yang pembentukannya sesuai dengan kepentingan upacara tertentu. Maka dari itu hasil
kebudayaan jaman Megalitikum memiliki maknanya masing masing. Berikut beberapa hasil budaya pada jaman batu besar yaitu diantaranya:
1) Menhir


Menhir merupakan tugu atau tiang yang berasal dari batu dan dibangun sebagai lambang atau tanda peringatan kepada arwah nenek moyang. Selain itu Menhir juga digunakan untuk mengikat binatang korban persebahan untuk arwah nenek moyang .
Untuk itu menhir diletakkan pada tempat tertentu dan dijadikan sebagai benda pemujaan. Hasil budaya jaman batu besar seperti menhir ini berfungsi untuk sarana pemujaan kepada arwah para nenek moyang, serta tempat penampung roh roh yang datang dan tempat memperingati kepala suku atau seseorang yang sudah meninggal. daerah penemuannya di Sumatera Selatan dan Kalimantan.

2) Dolmen


Dolmen merupakan meja batu besar yang memiliki permukaan rata. Kegunaan dolmen ialah untuk tempat meletakkan roh, tempat duduk ketua suku agar memperoleh berkat magis para leluhur dan tempat meletakkan sesaji. Hasil kebudayaan jaman Megalitikum ini memiliki alas yang berbentuk lempengan batu besar dengan permukaan datar, kemudian diberikan empat batu panjang sebagai penyangganya.

3) Punden Berundak Undak


Merupakan bangunan bertingkat dengan tanjakan kecil sebagai tempat memuja roh  para  nenek  moyang. Masing  masing  tingkat  pundek  berundak  biasanya  dibuat menhir. Hasil kebudayaan jaman Megalitikum ini bernama pundek berundak karena bangunannya berbentuk tumpukan batu bertingkat yang menyerupai anak tangga serta paling atas atau bagian tertinggi digunakan sebagai tempat paling suci.
Punden  berundak  biasanya  didirikan  di  daerah  dataran  rendah  yang  tidak berpegunungan  maka  mereka  membuat  bangunan  tinggi  semacam  gunung  yang dipuncaknya bersamayam arwah nenek moyang sesuai kepercayaan Animisme. Pada perkembangannya  Punden  Berundak  digunakan  sebagai  dasar  pembuatan  keraton, candi dan sebagainya. 

4) Kubur peti batu 


Merupakan peti jenazah jaman batu besar yang dipendam dalam tanah. Bentuk kubur batu ini ialah persegi panjang dengan alas, sisi dan tutupnya yang berasal dari batu kemudian disusun menjadi sebuah peti.  Penemuan kubur batu ini terdapat di daerah Kuningan, Jawa Barat. 

5) Waruga 


Merupakan kubur batu yang bentuknya bulat atau kubus dengan tutup menyerupai atap rumah. Waruga memiliki fungsi dan bentuk yang hampir sama dengan sarkofagus. Namun posisi mayat ditempatkan dalam keadaan jongkok terlipat. Hasil kebudayaan jaman Megalitikum seperti waruga ini penemuannya berada di daerah Minahasa.

6) Sarkofagus  


Merupakan peti jenazah yang bentuknya menyerupai lesung, namun memiliki tutup dibagian atasnya. Sarkofagus dibuat menyerupai lesung batu namun bentuknya keranda. Hasil kebudayaan pada jaman batu besar ini ditemukan di daerah Bali.

7)       Patung atau Arca
Hasil kebudayaan jaman batu besar selanjutnya ialah patung atau arca. Patung atau arca merupakan bangunan berbentuk manusia atau binatang yang terbuat dari batu
sebagai  simbol  pemujaan  dan  lambang  nenek  moyang.  Bentuk  peninggalan  zaman
Megalitikum tersebut penemuannya terdapat di daerah pegunungan wilayah Bengkulu dengan Palembang atau lebih tepatnya di Dataran Tinggi Pasemah. Van Heine Geldern dan Dr. Van der Hoop adalah orang orang yang melakukan penyelidikan di daerah Pasemah.
Di Indonesia, kebudayaan megalitikum berdasarkan pendapat Van Heine Geldern dapat dibagi menjadi dua golongan/penyebaran seperti:
  1.  Megalitikum tua yang penyebarannya pada jaman Neolotikum di Indonesia tahun 2500 - 1500 SM. Hasil kebudayaan jaman megalitikum tua dapat berupa punden berundak, arca statis dan menhir. Hasil kebudayaan pada jaman batu besar ini dipengaruhi oleh kebudayaan kapak persegi.
  2. Megalitikum muda yang penyebarannya pada jaman Perunggu di Indonesia tahun 1000 - 100 SM. Hasil kebudayaan jaman batu besar ini dapat berupa arca, kubur peti batu, waruga, sarkofagus dan dolmen. Hasil kebudayaan pada jaman Megalitikum ini dipengaruhi oleh kebudayaan Dongson atau kebudayaan Deutro Melayu.
2. Jaman logam ( Jaman Perundagian )
Secara harafiah, perundagian berasal dari kata undagi yang berarti seseorang yang ahli dalam melakukan pekerjaan tertentu. Pada masa ini, kehidupan masyarakat boleh dibilang telah berada di tahap yang lebih maju, lantaran sudah memiliki keterampilan untuk membuat alat-alat dari bahan perunggu. Adapun alat-alat tersebut nantinya digunakan  untuk   memenuhi   kebutuhan   sehari-hari. Baik   untuk   bertani,   berburu   ataupun melakukan upacara tertentu.
Hasil budaya pada jaman logam diperoleh dari pengaruh kebudayaan Dongson Vietnam  sehingga  mereka  dapat  memperoleh  kepandaian  dalam  mengolah  logam tersebut. Meskipun pada masa ini telah terdapat hasil kebudayaan jaman logam seperti alat alat dari logam, namun untuk keperluan sehari hari mereka tetap menggunakan gerabah maupun alat alat batu lainnya.
Pada jaman Logam orang sudah membuat alat-alat dari logam selain alat-alat dari batu.       Orang  sudah mengenal     teknik     melebur logam dan mencetaknya menjadi     peralatan.     Teknik pembuatan   alat   logam ada dua macam, yaitu dengan cetakan       batu       yang   disebut   bivalve   dan   dengan cetakan   tanah   liat   dan                                                            lilin yang disebut a cire perdue.
Kelebihan teknik bivalve  dari a cire perdue adalah dapat digunakan berkali kali.
Jaman logam terbagi lagi menjadi 3 : jaman besi, tembaga, dan  perunggu.    Indonesia    hanya
mengalami  jaman perunggu dan jaman besi. Pada jaman ini, manusia mengalami masa perundagian, karena manusia sudah banyak yang menghasilkan  berbagai  kerajinan  tangan,  yang  terbuat  dari  logam.  Manusia  sudah mengenal teknik melebur logam, mencetaknya menjadi alat yang diinginkan. Teknik pembuatan    alat    logam    ada    dua    macam,    yaitu    dengan    cetakan    batu    yang disebut bivalve dan dengan cetakan tanah liat dan lilin yang disebut a cire perdue

a. Jaman perunggu
Perunggu adalah jenis logam yang berasal dari campuran tembaga dengan timah putih. Pada jaman perunggu ini, masyarakatnya dapat menciptakan dua macam benda seperti benda untuk kepentingan upacara keagamaan dan untuk keperluan sehari hari.

Adapun hasil kebudayaan pada jaman logam ini yaitu diantaranya:
1) Nekara Perunggu


Adalah benda semacam genderang besar dengan pinggang pada bagian tengahnya dan bagian atas tertutup serta pembuatannya berasal dari perunggu. Fungsi dari nekara adalah untuk simbol status sosial dan sarana upacara, baik upacara kematian ataupun kesuburan. Selain itu nekara juga berfungsi untuk memanggil hujan dan memanggil roh leluhur agar turun kedunia memberikan berkatnya. Hal ini terlihat dalam beberapa nekara yang memiliki hiasan tertentu.

2) Kapak Corong atau Kapak Sepatu 


Merupakan hasil kebudayaan jaman logam pada masa perunggu, yang terbuat dari hasil proses mencetak logam melalui tekhnik bilvolve maupun a cire perdue, kemudian diasah dimana kemampuan mengasah sudah mereka kuasai sejak jaman Neolithikum. Sehingga karena terbuat dari logam yang diasah memungkinkan bagian penampang Kapak Corong tajam dan bisa digunakan untuk membalik tanah layaknya cangkul, luku maupun tractor seperti yang digunakan oleh masyarakat modern sekarang, itu mengandung arti cara bercocoktanam pada masa ini adalah bercocoktanam dengan tekhnik bersawah .
Kapak corong memiliki bagian tanggkai menyerupai corong dan bagian tajamnya menyerupai kapak batu. Bagian corong berguna untuk tempat pemasangan tangkai kayu yang menyiku menyerupai    bentuk    kaki. Maka  dari  itu  kapak corong    dapat    dinamakan dengan kapak sepatu.
Hasil         kebudayaan pada  jaman  logam  seperti kapak corong      inimemiliki ukuran dan bentuk yang beraneka ragam. Ada  yang  memiliki  bagian tajam        melengkung  panjang (candrasa) maupun lurus. Kemudian  bagian tangkainya ada yang terbelah dua menyerupai    ekor    burung pada   layang   layang, ada    yang    lurus    maupun melengkung.   Fungsi  kapak  corong  pada  jaman perunggu ialah untuk mencangkul. Sedangkan kegunaan kapak corong kecil ialah untuk mengerjakan kayu. Adapula kapak corong dengan bagian tajam melengkung panjang yang berguna untuk tanda kebesaran kepala suku ataupun untuk upacara.
Hasil budaya pada jaman logam seperti kapak corong ini biasanya dihiasi dengan beberapa pola hiasan jika digunakan untuk upacara. Penemuan kapak corong tersebut berada di Kepulauan Selayar, Sumatra Selatan, dekat Danau Sentani Papua, Jawa Bali, dan Sulawesi Tengah.

3) Bejana Perunggu


Merupakan hasil kebudayaan jaman logam pada masa perunggu. Bejana perunggu ialah benda yang bentuknya menyerupai gitar Spanyol namun tidak memiliki tangkai. Bejana perunggu ini mempunyai pola hiasan yang menyerupai huruf J dan hiasan anyaman. Para ahli di Indonesia menemukan bejana perunggu di daerah Sumatra dan Madura.
Penemuan hasil kebudayaan pada jaman logam seperti bejana ini berada di daerah Pnom Penh, Kamboja. Hasil peninggalan jaman perunggu ini menjadi bukti bahwa kebudayaan logam di Indonesia tergolong dalam satu kebudayaan logam Asia yang pusatnya terdapat di Dongson. Maka    dari  itu    di Indonesia terdapat  kebudayaan      jaman perunggu yang disebut dengan  kebudayaan Dongson.
Kebudayaaan         jaman  perunggu merupakan hasil    asimilasi    dari    antara  masyarakat   asli Indonesia ( proto    melayu ) dengan bangsa mongoloid sehingga membentuk ras  deutro melayu (   melayu muda ).

b. Jaman besi
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang menjadi alat-alat  yang  diperlukan.  Teknik  peleburan  besi  lebih  sulit  dari  teknik  peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan panas yang sangat tinggi, yaitu ±3500 °C. Alat besi yang banyak ditemukan di Indonesia berupa alat keperluan sehari – hari seperti pisau, sabit, mata kapak, pedang, dan mata tombak. Pembuatan alat besi memerlukan tehnik khusus yang mungkin hanya dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat, Yakni golongan undagi.
Alat-alat besi yang dihasilkan antara lain: Mata Kapak bertungkai kayu, Mata Pisau, Mata Sabit, Mata Pedang, Cangkul. Alat-alat tersebut ditemukan di Gunung Kidul (Yogyakarta), Bogor (Jawa Barat), Besuki dan Punung (Jawa Timur). Tekhnik Pembuatan Hasil Kebudayaan jaman Logam. Hasil kebudayaan jaman logam dapat berupa barang barang perunggu yang pebuatannya menggunakan teknik cetak tuang (teknik a cire perdue) dan teknik dua setangkup (teknik bivalve). Adapun penjelasan mengenai masing masing teknik pembuatan barang dari logam yaitu sebagai berikut:
1. Teknik Cetak Tuang (Teknik a Cire Perdue)


Teknik pembuatan hasil kebudayaan pada jaman logam yang pertama ialah teknik cetak tuang atau teknik a cire perdue. Adapun langkah langkah pembuatan benda logam menggunakan teknik tersebut yaitu meliputi:
  1. Langkah pertama ialah membuat model logam menggunakan lilin dan bahan dasar sesuai keinginan.
  2. Lapisi model lilin menggunakan tanah liat. Setelah tanah liat mengeras kemudian dipanaskan dengan api sehingga dapat mencairkan lilin melalui lubang bawah dibagian modelnya.
  3. Bagian atas model telah dipersiapkan lubang untuk memasukkan cairan logam. Lalu tunggu sampai dingin cairan logamnya.
  4. Kemudian pecahkan model tanah liat setelah logam cairnya dingin. Benda logam yang diinginkan akhirnya telah jadi.
Teknik pembuatan hasil budaya pada jaman logam ini memiliki kelebihan dan kekurangannya.  Adapun kelebihan  teknik cetak  tuang  yaitu  detail dari  benda  yang diinginkan menjadi lebih sempurna. Sedangkan kekurangan teknik a cire perdue ialah hanya dapat menggunakan cetakan modelnya sekali saja.
2. Teknik Dua Setangkup atau Teknik Bivalve


Teknik pembuatan hasil kebudayaan jaman logam selanjutnya ialah teknik dua setangkup  atau  teknik  bivalve.  Adapun  langkah-  langkah  pembuatan  benda  logam menggunakan teknik tersebut yaitu meliputi:
  • Langkah pertama membuat cetakan model dengan model yang ditangkupkan.
  • Setelah itu logam cair dituangkan dalam cetakan tadi.
  • Lalu saling ditangkupkan kedua cetakan tersebut.
  • Tunggu sampai logam dingin sehingga dapat dibuka cetakannya.
  • Benda logam yang dibuat telah jadi.
Teknik pembuatan hasil kebudayaan pada jaman logam ini memiliki kelebihan dan kekurangannya. Adapun kelebihan teknik dua setangkup yaitu dapat menggunakan cetakannya berulang kali. Sedangkan kekurangan teknik bivalve ialah benda logam yang telah jadi terdapat rongga di dalamnya sehingga bendanya tidak terlalu kuat.


.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama