Perubahan-perubahan alam sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kehidupan manusia purba di Indonesia. terjadinya perubahan-perubahan alam di dunia memunculkan beberapa teori dan penemuan tentang asal mula manusia dan masyarakat purba di kepulauan Indonesia . geologi adalah ilmu yang mempelajari bumi secara keseluruhan. Berdasarkan geologi, terjadinya bumi sampai sekarang dibagi ke dalam empat zaman. Zaman-zaman tersebut adalah merupakan periodisasi pembabakan pra aksara.
a.
Zaman
Arkeokum, zaman ini berlangsung kira-kira 2.5000 juta tahun. Pada saat itu
kulit bumi masih panas sehingga tidak ada kehidupan.
b.
Zaman
Paleozoikum, berlangsung 340 juta tahun. Makhluk hiudp yang muncul pada zaman
iniadalah mikroorganisme, ikan, ampibi, reptil, dan binatang yang tidak
bertulang belakang.
c.
Zaman
Mesozoikum, berlangsung kira-kira 140 juta tahun. Masa ini, jenis reptil
mencapai tingkat terbesar sehingga zama ini juga disebut zaman reptil. Contoh
hewan Dinosaurus. Setelah berahirnya zaman ini, muncullah kehidupan yang lain,
jenis burung, dan binatang menyusui tingkat rendah dan reptil mengalami
kepunahan.
d.
Zaman
Neozoikum, zaman ini dibagi menjadi dua. Tersier dan kuarter.
a)
Zaman
tersier, berlangsung sekitar 60 juta tahun. Ditandai dengan berkembangnya jenis
binatang menyususi seperti jenis primata, seperti kera.
b)
Zaman
kuarter, kehidupan manusia sehingga merupakan zaman terpenting. Zaman dibagi
menjadi dua zaman, Plestosen ditandai
dengan adanya manusia purba. Zaman Holosen
ditandai dengan adanya manusia jenis Homo
Sapiens yang memiliki ciri-ciri seperti manusia zaman sekarang.
Teori Evolusi Manusia Purba
Berbicara
mengenai evolusi manusia, hingga detik ini pun masih belum adanya suatu
kejelasan yang pasti. Para ahli sejarah memiliki pandangan atau teorinya
masing-masing, yang menunjukkan bahwa masih banyaknya pendapat seputar evolusi
manusia. Bukan suatu hal yang penting untuk memperdebatkan teori manakah yang
sebenarnya paling benar. Karena setiap ahli berhak beropini mengenai topik
bahasan dan karena masih belum adanya sumber data yang mencukupi untuk dapat
menggambarkan proses evolusi secara biologis.
Tahapan mengenai evolusi manusia
purba dapat disusun berdasarkan penemuan fosil manusia. Dari pernyataan
tersebut dapat disimpulkan bahwa proses evolusi manusia purba melalui beberapa
tahapan. Dan inilah tahapan-tahapan evolusi manusia purba tersebut secara umum
:
Tahapan
pertama ialah jenis Australophitecus. Penemuan jenis manisia purba tersebut
ditandai dengan adanya penemuan fosil tertua di daerah Afrika Selatan pada
tahun 1925. Ditemukan oleh seorang ahli bernama Raymond Dart. Fosil ini
ditemukan pada endapan pliosen dan diperkirakan usianya telah mencapai 3 juta
tahun yang lalu. Disebut sebagai Australophitecus Africanus atau kera selatan
dari Afrika. Pada fosil ini dapat juga diketahui cirri-ciri fisik dari
Australophitecus, diantaranya memiliki otak sebesar 500cc, tinggi tubuh 125 cm,
dan beratnya 25 kg (Soejono, 1984:8-9). Dan tampaknya jenis Australophitecus
ini berevolusi menjadi Pithecanthropus atau disebut pula Homo Erectus.
Tahapan yang
kedua dari evolusi selanjutnya ialah jenis Pithecanthropus. Ditandai dengan
adanya penemuan fosil oleh Eugene Dubois di daerah Trinil, Ngawi, Jawa Timur.
Masih dengan cirri yang sama, ditemukan juga jenis Pithecanthropus di
Choukoutien, Cina, dengan nama Pithecanthropus Pekinensis. Jenis ini
diperkirakan hidup pada plestosen tengah sampai plestosen akhir.
Pithecanthropus ini setingkat lebih maju dari jenis sebelumnya. Hal ini dapat
diketahui dari ukuran volume otaknya yaitu sekitar 750-1300 cc, tinggi
tubuhnya, dan bentuk gigi.
Masa berganti
dan diperkirakan Pithecanthropus punah, berevolusi menjadi jenis Homo. Jenis
Homo sendiri diketahui telah berevolusi menjadi dua tahapan. Yaitu Homo
neanderthalensis dan Homo Sapiens. Tahapan Homo neanderthalensis bermula dari
penemuan fosil pada tahun 1856 di lembah Neander, Jerman oleh Dusseldorf.
Selain di Jerman penemuan fosil sejenis juga ditemukan di daerah Eropa Tengah,
Palestina, Eropa Barat, dan Rusia. Mempunyai cirri-ciri dahi miring, muka
menonjol, volume otak 1600 cc (Howell, 1980). Kemudian menginjak pada tahapan
berikutnya yaitu Homo Sapiens. Homo Sapiens berawal dari penemuan fosil pada
tahun 1968 di gua Cro-Magnon. Dikenal dengan Homo Sapiens cro-magnon. Volume
otaknya 1660 cc, dahinya bagus, bentuk muka yang sangat lebar dan pendek, dan
bentuk dagu yang menonjol ke depan (Howell, 1980). Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwasannya evolusi manusia purba ada beberapa tahap,
diantaranya tahap pertama ditandai dengan munculnya fosil Australopithecus.
Kemudian tahap selanjutnya adalah jenis Pithecanthropus. Disangka jenis ini
punah, dan berevolusi menjadi Homo neanderthalensis dan Homo Sapiens.
Evolusi Manusia Purba di Indonesia (Jawa)
Penemuan demi
penemuan fosil-fosil manusia di Indonesia menunjukkan bahwa dahulunya pernah
berlangsung suatu kehidupan manusia purba. Di Indonesia kajian mengenai evolusi
manusia purba dipelajari dalam studi paleoanthropology. Pada studi tersebut
akan diketahui data-data fisik manusia purba yang hampir lengkap mulai dari
bentuk yang masih sederhana hingga wujud yang sudah mumpuni untuk dapat
diteliti. Secara kronologis, temuan fosil pertama kali di Indonesia ditemukan
oleh Van Rietschoten pada tahun 1889 berupa tengkorak manusia Homo Wajakensis
di Wajak, Tulungagung. Setelah itu disusul oleh penemuan atap tengkorak
Pithecanthropus di Trinil, Ngawi, oleh Eugene Dubois pada tahun 1890. Kemudian
penelitian selanjutnya banyak ditemukan manusia fosil diantaranya :
Tahun 1931-1933, penemuan
tengkorak dan tulang kering Pithecanthropus Soloensis, di Ngandong. Tahun 1936,
penemuan fosil tengkorak anak Pithecanthropus Mojokertensis, di Perning,
Mojokerto. Tahun 1936-1941, penemuan fosil rahang, gigi, dan tengkorak Meganthropus
Paleojavanicus.
Karena ada perang dunia II maka
pencarian fosil sempat berhenti, dan mulai tahun 1952 penelitian berlanjut
sampai sekarang. Hasilnya, ditemukan bagian-bagian tubuh Pithecanthropus yang
sebelumnya belum ditemukan. Seperti; tulang-tulang muka, dasar tengkorak, dan
tulang pinggul.
Sebagian besar
manusia fosil yang ditemukan di Indonesia hanya berada di Jawa. Oleh sebab itu
untuk membahas evolusi manusia purba di Indonesia diartikan sebagai studi
evolusi manusia purba di Jawa. Bermula dari penemuan fosil Meganthropus
Paleojavanicus di Jawa, merupakan awal dari evolusi manusia purba di Jawa.
Fosil ini ditemukan pada plestosen bawah dan diperkirakan merupakan makhluk
paling primitif. Karena terbatasnya sumber yang ada mengenai jenis tersebut,
sukar diketahui bagaimanakah sebenarnya kedudukan Meganthropus pada evolusi
manusia purba. Sebagian ahli mengatakan bahwa Meganthropus merupakan golongan
Pithecanthropus atau Homo. Bahkam Weidenreich mengatakan bahwa Pithecanthropus
adalah evolusi dari Meganthropus (Sartono, 1983:1935). Ada pula yang mengatakan
jenis ini termasuk spesies Homo habilis, Homo paleojavanicus, Homo erectus atau
Homo Sapiens erectus.
Dari
penelitian perbandingan dengan fosil dari Afrika dan Eropa, Meganthropus yang
hidup pada plestosen bawah dianggap sebagai pendahulu Pithecanthropus ditemukan
kala plestosen tengah. Meganthropus ini mempunyai muka yang masif dengan tulang
pipi tebal, tonjolan belakang kepala tajam, dan tonjolan kening mencolok. Pada
rahang bawahnya mempunyai batang yang
sangat tegap dan geraham yang besar-besar. Otot kunyahnya kukuh dan tidak
memiliki dagu (Soejono, 1984:67). Fosil selanjutnya ialah Pithecanthropus.
Jenis fosil inilah yang paling banyak ditemukan di Jawa. Sisa-sisa fosil
Pithecanthropus banyak ditemukan di daerah Perning, Kedungbrubus, Trinil,
Sangiran, Sambungmacan, dan sekitar Ngandong. Ciri-ciri umumnya, memiliki
tinggi badan sekitar antara 165-180 cm dengan tubuh yang tegap. Volume otak
berkisar antara 750-1300 cc, mempunyai geraham besar, rahang kuat, dan tonjolan
tebal pada keningnya. Wajah masih menonjol ke depan, dahinya miring ke
belakang. Dan belum menyamai seperti bentuk manusia yang sekarang.
Pithecanthropus mojokertensis atau Pithecanthropus robustus adalah manusia
Pithecanthropus paling tua. Namun
Pithecanthropus erectus lah yang
merupakan jenis paling banyak ditemukan selama ini. Fosil dari jenis
tersebut adalah temuan yang selama ini paling penting dan terkenal, di derah
Trinil pada tahun 1891. Seorang ahli yang bernama Dubois, memandang
Pithecanthropus sebagai mising link, yaitu manusia perantara yang menghubungkan
antara kera dan evolusi manusia (Howell, 1980; Sartono, 1983).
Dari beberapa
jenis Pithecanthropus, jenis yang hidup sampai pada plestosen atas adalah
Pithecanthropus soloensis. Pithecanthropus soloensis lebih banyak memiliki
persamaan dengan jenis Pithecanthropus dari Choukoutien yaitu Pithecanthropus
pekinensis. Dari fosil yang ditemukan, Pithecanthropus soloensis ini memiliki
beberapa ciri-ciri, diantaranya mempunyai volume otak antara 1000-1300 cc.
Adanya perkembangan dari tingkat volume otak tersebut menunjukkan adanya
kemajuan pula dalam bidang kehidupan. Manusia Pithecanthropus sudah mulai
mengenal adanya komunikasi antar sesamanya, walupun terbatas. Selain itu,
adanya pembagian kerja pada kedua jenis kelamin juga menunjukkan telah adanya
kerjasama di antara mereka. Diperkirakan tiap kelompok manusia ini terdiri dari
20-50 orang. Dan yang terkhir hidup dari plestosen atas adalah genus Homo. Di
Indonesia jenis ini diwakili oleh penemuan fosil Homo Wajakensis, ditemukan di
daerah Wajak, dan penemuan beberapa tulang paha dari Trinil serta tulang
tengkorak di Sangiran. Isi tengkoraknya bervariasi antara 1000-2000 cc.
Memiliki tinggi badan yang lebih besar, antara 130-210 cm dan berat badan
30-150 kg (Soejono, 1984:81). Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat
disimpulkan bahwa evolusi manusia purba di Indonesia khususnya di Jawa memiliki
beberapa tahap. Berawal dari jenis Meganthropus paleojavanicus dan
Pithecanthropus mojokertensis (plestosen bawah), Pithecanthropus erectus dan
Pithecanthropus soloensis (plestosen tengah-atas), serta Homo wajakensis
(plestosen atas-holosen bawah).
Posting Komentar