Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Untuk melaksanakan pembangunan nasional, Presiden
Soekarno membentuk Fron Nasional dan Dewan Perancang Nasional melalui Penetapan
Presiden No. 13 Tahun 1959. Front Nasional adalah organisasi masa yang
memperjuangkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 seperti tercantum dalam UUD
1945. Front Nasional diketuai oleh Presiden Soekarno. Dewan Perancang Nasional
dibentuk pada tangga 15 Agustus 1959 dan mempunyai tugas mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional serta menilai penyelenggaraan pembangunan
itu. Dewan Perancang Nasional diketuai oleh Mohammad Yamin. Selanjutnya
Depernas berhasil menyusun Rancangan Dasar UU Pembangunan Nasional Sementara
Berencana tahap 1960-1969. Rancangan UU tersebut disetujui MPRS dan ditetapkan
dalam Tap MPRS No. 2/MPRS/1960.
2.
Devaluasi Mata Uang Rupiah
Akibat pergolakan dan salah urus terhadap perusahaan
asing yang dinasionalisasi, keuangan negara mengalami defisit anggaran pada
tahun 1959. Usaha untuk mengatasi hal itu dilakukan dilakukan dengan mengadakan
kebijakan devaluasi tanggal 24 Agustus 1959. Dalam kebijakan tersebut
pemerintah mendevaluasi mata uang Rp 1.000,00 dan Rp 500,00 menjadi Rp 100,00
dan Rp 50,00. Tujuan kebijakan devaluasi ini adalah meingkatkan nilai rupiah
dan melindungi tabungan rakyat. Pemerintah juga melakukan pembekuan simpanan di
bank jumlahnya lebih dari Rp 25.000,00. Namun, tindakan pemerintah ini tidak
menurunka laju inflasi yang sangat tinggi.
3.
Deklarasi Ekonomi
Pada 28 Maret 1963, Presiden Soekarno mengumumkan
langkah-langkah untuk menganggulangi masalah ekonomi nasional yang dikenal
dengan Deklarasi Ekonomi (Dekon). Sebagai tindak lanjut Dekon, pada tanggal 26
Mei 1963 dikeluarkan serangkaian peraturan mengenai eksplor, impor dan
harga-harga. Semua peraturan tersebut ternyata tidak mampu mengatasi
permasalahan ekonomi nasional karena inflasi tidak mampu diturunkan. Akibatnya,
beban rkyat semakin meningkat akibat tingginya harga-harga kebutuhan pokok.
Kegagalan memperbaiki ekonomi nasional disebabkan gagalnya pengajuan pinjaman
kepada IMF sebesar 400 juta dolar AS dan kesulitan keuagan akibat pemutusan
hubungan dengan Singapura dan Malaysia.
4.
Kebijakan Perdangan dan Perkreditan Luar
Negeri
Negara Indonesia yang agraris belum mampu memenuhi
seluruh kebutuhannya. Hasil pertanian dan perkebunan yang dihasilkan memang
dapat dijual ke luar negeri melalui kegiatan ekspor. Kegiatan perdagangan luar
negeri ini bertujuan untuk menghasilkan dan meningkatkan devisa. Devisa inilah
yang kemudian dipakai untuk membeli barang-barang kebutuhan dari luar negeri
yang belum bisa dihasilkan sendiri dalam negeri. Untuk menjaga dan
mempertahankan neraca perdagangan luar negeri yang sehat, Indonesia harus
meningkatkan ekspor supaya devisa semakin bisa ditingkatkan.
Ternyata devisa yang dihasilkan dari perdagangan luar
negeri tidak mampu menutupi seluruh biaya impor barang kebutuhan. Sehingga
pemetintah “terpaksa” membuat utang luar negeri melalui kredit-kredit yang
dikucurkan negara donor. Dalam hal kredit luar negeri inilah Indonesia dapat
terjebak keputusan politik berpihak pada blok tertentu yang sedang bersitegang,
entah itu Blok Barat (negara-negara demokrasi barat) ataupun Blok Timur
(negara-negara Komunis). Misalnya, melalui skema Goverment to Goverment (G to G), pemerintah RI dan RRCmengadakan
hubungan dagang yang menguntungkan kedua negara. Indonsia mengeksplor karet ke
RRC, tetapi dengan harga yang sangat rendah. Namun, karet tidak langsung
dikirim ke RRC, tetapi dioalh terlebih dulu di Singapur menjadi bahan baku,
baru kemudian diekspor dari Singapur ke RRC.
Tentu Singapur yang menerima keuntungan yang lebih
besar dibanding Indonesia. Lebih menyakitkan lagi, kapal-kapal yang membawa
karet dari Indonesia hanya berhenti di wilayang teritorial Singapura.
Karet-karet tersebut ditampung di kapal lain yang sudah Siap membawa ke
Singapura. Sementara kapal-kapal dari Indonesia meneruskan perjalanan ke
Hongkong atau RRC sambil membawa karet yang sudah diolah di Singapura dan
dijual dengan harga yang lebih mahal.
RRC mengolah bahan baku karet dari singapura menjadi ban
dan barang-barang lainnya lalu diekpor ke Indonesia. Celakanya barang-barang
yang diekspor RRC ke Indonesia dijual sangat mahal dan diperhitungkan sebagai
bantuan luar negeri. Hubungan dagang semacam ini sangat merugikan Indonesia,
karena Indonesia tiak punya pilihan lain selain menjual karet ke RRC. Ini
terjadi karena pemerintah RI memilih dalam blok RRC dan blok negara komunis.
Contoh lainnya, untuk membiayai proyek-proyek yang sedang dikerjakan
dalam negeri, Presiden/ Mandataris MPRS mengeluarkan Instruksi Presiden No.m018
Tahun 1964 dan Keputusan Presiden No. 360 Tahun 1964 yang berisi tentang
ketentuan mengenai penghimpunan dan pengunaan Danna-Dana Revolusi. Dana
revolusi tersebut pada awalnya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan
pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan defferd payment (impor
dibayar dengan kredit karena tiak cukup persediaan devisa).
Dalam praktiknya, barang-barang yang diimpor dengan
sistem kredit itu adalah barang-barang yang tidak memberi manfaat bagi rakyat
banyak karena bukan merupakan barang mewah ataupun barang perdagangan lainnya.
Akibat kebijakan luar negeri semacam itu, utang-utang negara bertambah besar.
Sementara itu, ekspor keluar negeri ekspor barang keluar negeri semakin
menurun. Devisa negara juga semakin menipis. Oleh karena iu, sering terjadi
bahwa beberapa negara tidak mau lagi berhubungan dagang dengan Indonesia karena
utang-utangnya tidak dibayar. Di dalam negeri, situasi keuangan yang buruk ini
mengganggu produksi, distribusi, dan perdagangan. Masyarakatlah yang akan
mengalami kerugian dari praktik perdagangan dan perkreditan luar negeri ini.
5.
Kemerosotan Ekonomi pada Masa Akhir Demokrasi
Terpimpin
Presiden Soekarno melakukan tindakan yang terkesan
menyalahi segala ketentuan yang mengakibatkan merosotnya ekonomi nasional.
Presiden Soekarno juga mengeluarkan keputusan yang memungkinkan menteri
keuangan menempuh kebijaksanaan yang menyimpang dari Undang-Undang Pokok Bank
Indonesia dengan cara mengizinkan menteri keuangan tidak mengumumkan neraca
Bank Indonesia. Akibatnya, Bank Indonesia tidak bisa lagi menjalankan fungsinya
untuk mengatur peredaran uang. Untuk menutupi devisit keuangan, pemerintah
terus mencetak uang kertas tanpa perhitungan sehingga laju inflasi pada tahun
1965 mencapai 650 persen.
Pada masa akhir demokrasi terpimpin, kondisi ekonomi
Indonesia semakin menurun diakibatkan pendapatan ekspor menurun, cadangan
devisa menurun, inflasi meningkat tajam, dan tingginya tingkat korupsi
birokrasi. Inflasi yang mencapai 650 pesen menjadikan harga melambung tinggi.
Menurut Ricklefs, harga beras naik 900 persen pad akhir tahun 1965. Rakyat
terpaksa harus antre untuk mendapatkan kebutuhan pokok, seperti beras, minyak,
dan gula pasir.
Posting Komentar