Dampak Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia

Konten [Tampil]


 

A. Dampak  di Bidang Politik dan Struktur Pemerintahan

Dalam bidang politik, para penguasa penjajahan Barat terutama Belanda melakukan kebijakan yang sangat ketat dan cenderung menindas. Pemerintah kolonial menjalankan politik memecah belah atau devide et impera. Tidak hanya politik memecah belah, tetapi juga disertai dengan tipu muslihat yang cenderung menghalalkan segala cara sehingga melanggar norma-norma kemanusiaan. Misalnya pura-pura mengajak perundingan damai tetapi malah ditangkap (penangkapan Pangeran Diponegoro), pura-pura diajak berunding tetapi malah dibunuh (pembunuhan Sultan Khaerun/Hairun). Secara politik martabat rakyat Indonesia jatuh dan menjadi tidak berdaulat. Rakyat Indonesia juga menjadi kelompok masyarakat kelas tiga setelah kelompok orang-orang barat (penjajah) dan kelompok orang-orang timur asing.

Berangkat dari politik memecah belah dan praktik-praktik tipu muslihat itu, kekuatan kolonial Belanda terus memperluas wilayah kekuasaannya. Penguasa kolonial juga selalu campur tangan dalam pergantian kekuasaan di lingkungan kerajaan/pemerintahan pribumi. Penguasa-penguasa pribumi/lokal dan rakyatnya kemudian menjadi bawahan penjajah. Hal ini dapat menimbulkan sikap rendah diri di kalangan rakyat. Beberapa penguasa pribumi mulai tidak memperhatikan rakyatnya.

Perlu disadari bahwa masa sebelum penjajahan dan sebelum terjadi intervensi politik para penguasa kolonial, berkembang sistem kerajaan. Kerajaan ini berkembang sendiri-sendiri di berbagai daerah. Tetapi seperti telah disinggung di depan bahwa pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, telah dilakukan pembaruan bidang politik dan administrasi pemerintahan. Daendels telah membagi wilayah kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia/Hindia Belanda di Jawa dibagi menjadi sembilan prefektur dan terbagi dalam 30 regentschap (kabupaten). Setiap prefektur diangkat seorang pejabat kepala pemerintahan yang disebut dengan prefek. Seorang pejabat prefek ini diangkat dari orang Eropa. Kemudian setiap regentschap/kabupaten dikepalai oleh seorang regent atau bupati yang berasal dari kaum pribumi. Namun, status bupati sampai dengan camat (yang disebut priayi) sepenuhnya menjadi pegawai negeri (binnenland bestuur) baru terwujud setelah diterapkannya sistem Tanam Paksa pada pertengahan 1850-an.

Setiap bupati ini merupakan pegawai pemerintah yang digaji. Dengan demikian, para bupati ini telah kehilangan hak jabatan yang diwariskan secara turun temurun. Setiap prefek diberikan kekuasaan yang besar dan ditugasi untuk memperketat pengawasan administratif dan keuangan terhadap para penguasa pribumi. Ruang gerak para penguasa pribumi semakin sempit. Kewibawaan yang berusaha diciptakannyapun menjadi semu.

Dalam struktur pemerintahan dikenal adanya pemerintahan tertinggi, semacam pemerintahan pusat. Sebagai penguasa tertinggi adalah gubernur jenderal. Di tingkat pusat ini juga ada lembaga yang disebut dengan Raad van Indie, tetapi perannya cenderung sebagai dewan penasihat. Dalam pelaksanaan pemerintahan juga dikenal adanya departemen-departemen untuk mengatur pemerintahan secara umum. Beberapa departemen hasil reorganisasi tahun 1866, antara lain ada Departemen Dalam Negeri; Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan; Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Keuangan; Departemen Urusan Perang; kemudian dibentuk Departemen Kehakiman (1870); Departemen Pertanian (1904), yang disempurnakan menjadi Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan (1911).

Sementara itu, dalam pelaksanaan pemerintahan dalam negeri, sangat jelas adanya dualisme pemerintahan. Ada pemerintahan Eropa (Europees bestuur) dan pemerintahan pribumi (Inlands bestuur). Di lingkungan pemerintahan Eropa ini, terdapat pejabat wilayah yang paling tinggi yakni residen. Ia memimpin wilayah keresidenan. Di seluruh Jawa-Madura terbagi menjadi 20 keresidenan. Begitu juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau bagian timur juga dibagi dalam wilayah keresidenan-keresidenan, tetapi jumlahnya relatif kecil. Di bawah residen ada pejabat asisten residen. Asisten residen ini mengepalai suatu wilayah bagian dari keresidenan yang dinamakan afdeling. Di bawah asisten residen masih ada pejabat yang disebut kontrolir (controleur). Ia memimpin wilayah yang dinamakan controle-afdeling.

Selanjutnya yang terkait dengan pemerintahan pribumi, para pejabatnya semua dijabat oleh priayi pribumi. Jenjang tertinggi dalam pemerintahan pribumi adalah seorang regent atau bupati. Ia memimpin sebuah wilayah kabupaten. Seorang bupati ini dibantu oleh seorang pejabat yakni patih. Satu wilayah kabupaten umumnya terbagi menjadi beberapa distrik yang dipimpin oleh seorang wedana. Setiap distrik kemudian terbagi menjadi onderdistrik yang dikepalai seorang asisten wedana atau sekarang camat. Unit paling bawah kemudian ada desa-desa.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles di Hindia Belanda, ia mereformasi pemerintahan pada saat itu. Raffles yang berpandangan liberal mulai menghapus ikatan feodal dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang sudah terbiasa hidup dalam adat-istiadat dan ikatan feodal yang kuat dipaksa untuk mengikuti sistem birokrasi baru. Karena itu, dari para penguasa pribumi seperti raja, bupati, hingga kepala desa harus mengikuti sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru. Dalam hal ini pemerintah pusat dapat langsung berhubungan dengan rakyat tanpa perantara penguasa lokal. Sebenarnya pekerjaan ini sudah diawali oleh Daendels, sehingga Raffles tinggal melanjutkan saja. Pembaruan yang dilakukan Raffles juga menyangkut struktur pemerintahan dan peradilan.

Pada masa pemerintahan Raffles, bupati sebagai penguasa lokal harus dijauhkan dari otonomi yang menguntungkan diri sendiri. Seorang bupati diangkat sebagai pegawai pemerintah di bawah seorang residen. W. Daendels memberikan istilah itu dengan prefek atau landrost. Raffles kemudian membagi Jawa menjadi 16 keresidenan. Tiap keresidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh beberapa asisten residen. Pembaruan yang dilakukan Raffles ini bertujuan untuk melakukan transformasi sistem pemerintahan Jawa, yaitu menggantikan sistem tradisional Jawa yang bersifat patrimonial menuju sistem pemerintahan modern yang rasional.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pemerintahan Raffles diperbaiki kembali. Di samping itu untuk menyatukan seluruh wilayah Hindia Belanda yang masih berbentuk kerajaan-kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda melakukan politik pasifikasi kewilayahan di Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, dan Papua. Penyatuan seluruh wilayah Hindia Belanda ini baru berhasil sekitar tahun 1905. Bersatunya Hindia Belanda ini dikenal dengan Pax Neerlandica masa setelah itu, wilayah Hindia Belanda telah stabil di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Wilayah inilah setelah proklamasi menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

B. Dampak di Bidang Ekonomi

Pada masa pemerintahan Daendels, perubahan sistem pemerintahan telah membawa pada perubahan sistem perekonomian tradisional. Dalam sistem modern, tanah-tanah milik raja berubah statusnya menjadi tanah milik pemerintah kolonial. Dalam masa pemerintahan kolonial, mencari uang dan mengumpulkan kekayaan menjadi tujuan utama. Uang dan kekayaan mereka kumpulkan untuk membiayai keperluan pemerintahan yang sedang berlangsung saat itu. Untuk mendapatkan uang pemerintah kolonial memperolehnya dari penjual hasil bumi dari para petani berupa pajak. Petani pun harus menjual hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan.

Panarukan, dibuka pada masa Daendels memerintah Hindia Belanda. Jalan itu dibangun hampir di seluruh Pulau Jawa sebagai sarana pertahanan untuk menghadapi Inggris. Jalan yang dibangun itu menembus sebagian hutan dan gunung untuk menghindari rawa-rawa antara Jakarta dan Cirebon. Pembangunan jalan itu terkait dengan masalah politik yang sedang menimpa pemerintah, seperti masalah keuangan, ancaman Inggris, pemberontakan Banten dan Cirebon, serta banyak musuh-musuh Daendels. Tindakan Daendels ini mendapat pujian dari menteri penjajahan. Karena dengan pembangunan jalan itu maka akan mengurangi pengeluaran pemerintahan.

Pembangunan jalan sepanjang 1.000 km itu dilakukan dengan kerja rodi. Meskipun dibangun dengan kerja rodi, jalan itu berguna untuk memakmurkan pedalaman Jawa sebagai konsekuensi yang teratur. Menurut Daendels, jalan itu membawa keuntungan bagi penduduk setempat dengan semakin ramainya perdagangan. Meskipun jalan pos ini membawa perkembangan daerah yang dilaluinya, namun kritik pedas kepada Daendels dilontarkan karena pembangunan jalan itu telah merenggut ribuan nyawa manusia.

Pada masa Raffles terjadi perubahan sistem kepemilikan tanah dari tanah raja dan penguasa lokal ke pemerintah. Ini berarti pemerintah mempunyai kewenangan untuk menyewakan tanah. Perubahan dari sistem kepemilikan tanah inilah yang menyebabkan pula terjadinya perubahan hubungan antara raja dan kawulanya, yaitu dari patron-client menjadi hubungan-hubungan yang bersifat komersial. Adanya penyewaan tanah ini berarti pemerintah mendapatkan pajak tanah, dan kas pemerintah pun terisi.

Dengan demikian pelaku ekonomi adalah pihak swasta. Sistem ini telah membuka kemerdekaan ekonomi yang didukung oleh kepastian hukum usaha. Perdagangan bebas pun mulai dilakukan. Dalam kaitannya dengan ini, bila perdagangan bebas dilakukan maka kemakmuran rakyat akan tumbuh dengan sendirinya. Sejak itulah sistem kegiatan ekonomi uang di desa-desa Jawa dan daerah lain di Hindia Belanda yang telah lama dikenal dengan sistem ekonomi swadaya berubah menjadi sistem ekonomi komersial.

Setelah pemerintah Raffles berakhir, diganti dengan pemerintahan Hindia Belanda ekonomi uang terus berkembang, dan kegiatan perdagangan pun semakin luas. Perkembangan ini didukung oleh perkembangan di bidang perbankan. Sejak tahun 1828 era perbankan modern masuk ke Hindia Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank, didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828. Kemudian menyusul berdiri bank-bank lainnya seperti Nederlands Handels Maatschappij, De Nationale Handels Bank dan Escompto Bank. Selain itu juga berkembang bank-bank lain yang berasal dari Inggris, Australia, dan Cina. Bahkan juga ada juga bank milik pribumi yaitu Bank Desa, Lumbung Desa.

Dampak lain dari pemerintahan kolonial adalah munculnya kota-kota baru yang ditandai dengan adanya jaringan transportasi berupa jalur-jalur kereta api dari Jakarta ke Bogor, dan kereta api di Pulau Jawa dan lain sebagainya. Pada tahun 1840, muncul penyelidikan tentang pembangun jalur kereta api yang menghubungkan dari Surabaya lewat Solo ke Yogyakarta hingga ke Priyangan. Pada September 1895, Jaringan kereta api Semarang-Cirebon terbangun. Jaringan kereta api juga dibangun di Sumatera. Perusahaan Zuid Sumatera Staatsramwegen membangun jaringan di Lampung sepanjang 62 km dan Palembang sepanjang 152 km yang telah beroperasi 1917. Di Sumatera Barat, sejak 1833 telah dibangun kereta api, begitu juga di Aceh. Di samping itu, jalur transportasi darat membawa banyak perkembangan dalam bidang perekonomian.

Munculnya pelabuhan-pelabuhan membawa pengaruh pada perkembangan perdagangan. Terbentuknya jaringan kereta api yang terhubung ke pelabuhan-pelabuhan sehingga pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda mulai tersambung pula, karena didukung munculnya angkutan kapal laut.

Perkembangan ekonomi juga didukung oleh munculnya kemajuan komunikasi dan transportasi. Pada 1746, kantor pos pertama didirikan di Batavia. Hal ini mengalami kemajuan lagi setelah Daendels membangun jalan pos yang menghubungkan di wilayah Pulau Jawa. Terhubungnya jaringan kereta api dan jalan pos telah mempercepat pengiriman surat lewat pos, sehingga informasi semakin berkembang cepat. Di Sumatera pelayanan pos dilakukan dengan mobil, misalnya di Palembang, Pantai Timur Sumatera dan Aceh. Pelayanan telegrap dimulai sejak 1855, sehingga informasi semakin cepat sampai. Sistem ekonomi kapitalis mulai bangkit dengan ditandai oleh masyarakat Indonesia yang mulai mengenal beberapa jenis tanaman perkebunan yang menjadi bahan ekspor di pasar dunia.

C. Dampak  di Bidang Sosial-Budaya

Penjajahan bangsa Barat di Indonesia secara tegas telah menerapkan kehidupan yang diskriminatif. Orang-orang Barat memandang bahwa mereka yang berkulit putih sebagai kelompok yang kelas I, kaum Timur Asing sebagai kelas II, dan kaum pribumi dipandang sebagai masyarakat kelas III, kelas yang paling rendah. Hal ini membawa konsekuensi bahwa budayanya juga dipandang paling rendah. Pandangan ini sengaja untuk menjatuhkan martabat bangsa Indonesia yang memang sedang terjajah.

Memang bangsa Barat ini ingin memberantas budaya feodal. Terbukti Belanda berhasil menggeser hak-hak istimewa para penguasa pribumi. Para penguasa pribumi, telah kehilangan statusnya sebagai bangsawan yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Mereka telah ditempatkan sebagai pegawai pemerintah kolonial, sehingga tidak memiliki hak-hak istimewa kebangsawanannya. Status dan hak-hak istimewanya justru diambil oleh Belanda. Masyarakat Indonesia harus menghormati secara berlebihan kepada penguasa kolonial. Harus diakui dengan adanya dominasi orang-orang Barat di Indonesia telah menanamkan nilai-nilai budaya yang umumnya kurang sesuai dengan nilai- nilai budaya bangsa Indonesia. Bahkan perkembangan westernisasi budaya yang cenderung dipaksakan juga telah menggeser nilai-nilai budaya keindonesiaan.

Semangat persatuan, hidup dalam suasana kekerabatan, nilai-nilai gotong royong, nilai-nilai kesantunan, unggah-ungguh atau budi pekerti luhur yang dikembangkan di lingkungan kraton yang juga ditiru oleh masyarakat mulai bergeser. Bahkan yang menyedihkan dengan alasan modernisasi, para penguasa Barat tidak mau tahu tentang tradisi atau norma-norma, termasuk nilai halal dan haram dalam Islam, misalnya dengan budaya minum-minuman keras (menjadi mabuk-mabukan), berangkat dari dansa kemudian mengarah kepada pergaulan laki-laki dan perempuan yang cenderung tanpa batas. Oleh karena itu, di lingkungan masyarakat beragama Islam, kaum kolonial yang menjajah Indonesia dikatakan sebagai orang-orang kafir.

Kedatangan dan dominasi bangsa-bangsa Barat juga telah membawa pengaruh semakin intensifnya perkembangan agama Kristen. Hal ini tentu sejenak menimbulkan culture shock di kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Namun dalam perkembangannya mampu beradaptasi sehingga menambah khazanah keragaman di Indonesia. Kemudian pada zaman pemerintahan Raffles, perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah dan budaya, khususnya di Jawa, mendapatkan perhatian khusus.

Melalui bukunya yang berjudul History of Java, buku tersebut memuat berbagai aspek sosial dan budaya di Pulau Jawa. Ada juga buku karya William Marsden yang berjudul History of Sumatera. Pemerhati budaya nusantara ternyata cukup banyak selain Raffles dan William Marsden terdapat pula menteri pemerintahan Batavia, yakni Crawfurd. Ia menulis buku History of the East Indian Arcipelago dalam tiga jilid. Buku itu sangat penuh rasa kemanusiaan serta membakar ketidakadilan yang diderita oleh penduduk.

Pada akhir abad XIX, Van Kol yang menjadi juru bicara sosialis Belanda melancarkan kritik terhadap keadaan Hindia Belanda yang semakin merosot. Ia menyatakan selama satu abad lebih pemerintah mengambil keuntungan dari penghasilan rakyat, tetapi tidak ada satu persen pun yang dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat Hindia Belanda. Di samping itu, Van Deventer pada tahun 1899, menulis dalam judul “Hutang Kehormatan”. Dalam tulisan tersebut ia menganjurkan adanya politik balas budi (politik etis) yang berisi pendidikan, irigasi, dan imigrasi/transmigrasi.

D. Dampak  di Bidang Pendidikan

Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru. Dimulailah era Politik Etis yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916). Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupan pun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.

Hal yang sangat penting untuk mendukung simbol kemajuan itu maka dalam era Politik Etis ini dikembangkan program pendidikan. Pendidikan ini ternyata tidak hanya untuk orang-orang Belanda tetapi juga diperuntukkan kepada kaum pribumi, tetapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Suasana dan simbol kemajuan melalui program pendidikan ini juga didukung oleh adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya barat adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda.

Dalam bidang pendidikan meskipun dampaknya sangat kecil kepada penduduk pribumi, tetapi membawa dampak pada tumbuhnya sekolah-sekolah. Pada tahun 1900, tercatat sebanyak 169 Eurepese Lagree School (ELS) di seluruh Hindia Belanda. Dari sekolah ini murid-murid dapat melanjutkan pelajaran ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) ke Batavia atau Hoogeree Burgelijk School (HBS). Di samping itu juga dikenal sekolah OSVIA (sekolah calon pegawai) yang berjumlah enam buah.

Untuk memperluas program pendidikan maka keberadaan sekolah guru sangat diperlukan. Dikembangkan sekolah guru. Sebenarnya Sekolah Guru atau Kweekkschool sudah dibuka pada tahun 1852 di Solo. Berkembanglah pendidikan di Indonesia sejak jenjang pendidikan dasar seperti Hollands Inlandse School (HIS) kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Untuk kelanjutan pendidikannya kemudian dibuka sekolah menengah yang disebut Algemene Middelbare School (AMS), juga ada sekolah Hogere Burger School (HBS). Kemudian khusus untuk kaum pribumi disediakan “Sekolah Kelas Satu” yang murid-muridnya berasal dari anak-anak golongan atas yang nanti akan menjadi pegawai, dan kemudian rakyat pada umumnya disediakan “Sekolah Kelas Dua” yang di Jawa dikenal dengan “Sekolah Ongko Loro”.

Bagi para pemuda aktivis banyak yang bersekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang berpusat di Batavia. Sekolah ini sering disebut dengan “Sekolah Dokter Jawa” Dari sekolah ini lahir beberapa tokoh pergerakan kebangsaan. Memang harus diakui, meskipun penduduk pribumi yang dapat bersekolah sangat sedikit, namun keberadaan sekolah itu telah menumbuhkan kesadaran di kalangan pribumi akan pentingnya pendidikan. Hal ini mempercepat proses modernisasi dan munculnya kaum terpelajar yang akan membawa pada kesadaran nasionalisme.

Munculnya kaum terpelajar itu mendorong munculnya surat kabar, seperti, Pewarta Priayi yang dikelola oleh R.M. Tjokroadikoesoemo. Juga koran-koran lain, seperti Surat kabar De Preanger Bode (1885) di Bandung, Deli Courant (1884) di Sumatera Timur, Makassarsche Courant (1902) di Sulawesi, Bromartani (1855) di Surakarta, Bintang Hindia (1902) yang dikelola oleh Abdul Rivai, membawa pencerahan di kalangan pribumi. Dari berbagai informasi yang ada di surat kabar inilah lambat laun kesadaran akan pentingnya persamaan, kemerdekaan terus menyebar ke kalangan terpelajar di seluruh wilayah Hindia Belanda. Berkat informasi yang berkembang inilah kaum terpelajar terus melakukan dialog dan berdebat tentang masa depan tanah kelahirannya sehingga kesadaran pentingnya kemerdekaan terus berkembang dari waktu ke waktu yang puncaknya adalah adanya kesadaran untuk menjadi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa adalah Indonesia pada 28 Oktober 1928.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama