Sejarah Sebagai Ilmu dan Peristiwa

Pengalaman adalah suatu hal yang sangat berharga dalam kehidupan manusia. Kalian punya gak pengalaman berharga, kalau kalian punya pengalaman boleh juga ditulis atau dikisahkan agar pengalaman berharga kalian tercatat dalam sejarah. Karena dari pengalaman itulah nanti peristiwa sejarah akan muncul dalam kehidupan kita.   Saya juga punya pengalaman berharga disaat terjadi peristiwa Reformasi tahun 1998, kala itu saya mahasiswa yang bersama-sama membuat perubahan bagi Bangsa Indonesia, kami mahasiwa dari Sabang sampai Merauke bersatu padu menyuarakan aspirasi rakyat, karena banyaknya korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menyebabkan kemunduran multi dimensional Bangsa Indonesia. Nah pengalaman saya ini termasuk dalam kategori apa yaa?. Ayook kita cari tahu!

1.   Sejarah sebagai ilmu

Sejarah sebagai ilmu dapat kita lihat dari beberapa ciri. Pertama, sejarah merupakan ilmu empiris. Sebagai ilmu sejarah termasuk ilmu-ilmu empiris (bahasa Yunani emperia berarti pengalaman). Pengalaman itu direkam dalam dokumen. Dokumen-dokumen itulah yang diteliti sejarahwan untuk menemukan fakta. Fakta-fakta itulah yang diinterpretasi. Dari interpretasi atas fakta-fakta barulah muncul tulisan sejarah. Jadi, meskipun ada perbedaan mendasar dengan ilmu alam dan biologi, sejarah itu sama dengan ilmu-ilmu alam, sama-sama berdasar penglaman, pengamatan dan penyerapan. Akan tetapi, dalam ilmu-ilmu alam percobaan itu dapat diulang-ulang. Sementara itu, sejarah tidak bisa mengulang percobaan. Revolusi Indonesia tidak dapat diulang kembali; sekali terjadi, sudah itu lenyap ditelan masa lampau. Sejarah hanya meninggalkan dokumen. Beda lain ialah kalau fakta sejarah itu adalah fakta manusia, sedangkan dalam ilmu-ilmu alam adalah fakta alam. Perbedaan-perbedaan itu tentu saja membawa konsekuensi tersendiri bagi sejarah.

Sejarah sering disebut tidak ilmiah hanya karena bukanlah ilmu-ilmu alam. Tenyata cara kerja keduanya sama. Perbedaan antara sejarah dan ilmu-ilmu alam  tidak  terletak  pada  cara  kerja,  tetapi  pada  obyek.Ilmu-ilmu  alam  yang mengamati benda-benda tentu saja berbeda dengan sejarah yang mengamati manusia. Beda antara ilmu-ilmu alam dan sejarah seperti perbedaan antara benda dan manusia. Benda-benda itu mati, sedang manusia itu hidup. Benda mati tidak berpikir, sedangkan manusia itu berpikir dan berkesadaran. Dapat dimengerti kalau ilmu-ilmu alam menghasilkan hukum alam yang berlaku umum dan pasti, sejarah menghasilkan generalisasi yang tidak sepasti ilmu-ilmu alam.

Jadi meskipun ada perbedaan yang mendasar dengan ilmu alam dan biologi, sejarah itu sama dengan ilmu alam dan biologi karena berdasarkan pengalaman, pengamatan dan penyerapan. Akan tetapi dalam percobaan ilmu alam dapat diulang-ulang, sementara itu sejarah tidak bisa mengulangnya. Nah disinilah perbedaannya, kalo sejarah hanya meninggalkan dokumen karena peritiwa itu terjadi sekali dan akan ditelan masa lampau.

Perbedaan-perbedaan itu tentu saja membawa konsekuensi  tersendiri bagi sejarah. Sejarah sering dikatakan tidak ilmiah hanya karena bukan ilmu-ilmu alam, namun ternyata cara kerja keduanya sama. Perbedaan antara sejarah dan ilmu alam terletak pada objek yang ditelitinya.

Yang kedua adalah Objek berasal dari bahasa Latin objectus yang berarti di hadapan,     sasaran,     tujuan. Sejarah biasanya  dimasukkan  dalam  ilmu tentang manusia (humaniora) karena selain objek yang diteliti adalah manusia, khususnya perubahan atau perkembangan manusia pada masa lalu, metodologi yang digunakan juga berbeda dengan ilmu lain, misalnya antropologi. Lebih dari segalanya, objek dari sejarah ialah waktu. Jadi sejarah memiliki objek sendiri yang tidak dimiliki oleh ilmu lain secara khusus. Kalau sejarah yang dibicarakan adalah waktu yang dimiliki manusia. Waktu dalam pandangan sejarah tidak pernah lepas dari manusia.

Ketiga    Generalisasi  (bahasa  Latin generalis bermaksud  umum)  adalah pekerjaan penyimpulan dari yang khusus kepada yang umum. Generalisasi yang tersedia dapat menjadi dasar penelitian bila sifatnya sederhana, sudah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya, dan merupakan accepted history. Generalisasi itu dapat dipakai sebagai hipotesis deskriptif, iaitu sebagai dugaan sementara. Biasanya ia hanya berupa generalisasi konseptual. Meskipun demikian, pemakaian generalisasi  yang  bagaimanapun sederhananya harus  dibatasi  supaya  sejarah tetap empiris. Generalisasi sejarah yang sebenarnya adalah hasil penelitian. Misalnya, kata "revolusi" yang merupakan penyimpulan dari data yang ada memang dapat menjadi dasar penelitian, sementara kata "revolusi pemuda" adalah kesimpulan yang didapatkan sebagai hasil penelitian. Akan tetapi, sejarah adalah ilmu yang menekankan keunikan, jadi semua penelitian tidak boleh hanya didasarkan pada asumsi umum.

Generalisasi atau kesimpulan umum memang sangat perlu dalam sejarah, sebab sejarah adalah ilmu. Orang yang tak melakukan generalisasi tidak akan mampu membedakan antara "pohon dengan hutan". Juga ia tidak akan mampu membedakan antara hutan dengan taman. Sebab, keduanya mempunyai unsur yang sama, yaitu pohon, danau, dan gundukan tanah. Demikian pula ia tidak akan mengerti lalu-lintas. Yang dilihatnya hanyalah lampu hijau-kuning-merah, polis, kereta, dan jalan raya. Generalisasi sejarah boleh berarti spesifikasi atau bahkan anti-generalisasi bagi ilmu lain. Generalisasi bertujuan dua perkara penting, iaitu; (1) saintifikasi dan (2) simplifikasi.

Saintifikasi: Semua ilmu menarik kesimpulan umum. Kesahajaan menjadi tumpuan  dalam  generalisasi.  Kalau  kita  ingin  memberi  warna  pada  sesuatu tembok, kita perlu tahu bahawa kita memerlukan berapa tong cat. Perhitungan luas  tembok dan berapa meter dapat dicat oleh setiap tong, kita akan dapat meramalkan dengan penuh kepastian berapa tong cat yang diperlukan. Ramalan itu dalam ilmu sosial, termasuk sejarah adalah tidak dengan penuh kepastian, sebaliknya hanya berupa kemungkinan. Dalam sejarah, generalisasi sama dengan teori bagi ilmu lain. Dalam antropologi kita kenal teori evolusi. Dalam sejarah kita mengenal generalisasi tentang perkembangan sebuah masyarakat. Kalau orang menggunakan istilah teori untuk sejarah, maka yang dimaksud adalah generalisasi.

Simplifikasi: diperlukan supaya sejarawan dapat melakukan analisis. Penyederhanaan  yang  ditentukan  melalui  pembacaan itu akan  membimbing (menuntun)  sejarawan  dalam  mencari  data,  melakukan  kritik  sumber,  interpretasi (penafsiran) dan penulisan.

 

Proses Eskavasi

Proses Ekskavasi di Candi Keboireng

Sejarah dengan pendekatan ilmu sosial membuka kesempatan untuk mengungkapkan generalisasi yang hanya dapat diekstrapolasikan dengan alat- alat analitis ilmu-ilmu sosial. Dimana generalisasi seringkali merupakan kesimpulan-kesimpulan dari ilmu lain. Ke empat, sejarah mempunyai Metode dalam Bahasa yunani   methodos yang berarti cara. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992) metode adalah bagaimana orang memperoleh pengetahuan (how to know). Berkaitan dengan  ilmu sejarah, metode sejarah adalah bagaimana mengetahui tentang sejarah. Sejarawan harus mengetahui bagaimana ia menggunakan ilmu metode itu pada tempat yang seharusnya. Sejarawan harus mengetahui prosedur-prosedur yang   akan di tempuh dalam menjaring informasi, pertanyaan, mengapa dan bagaimana melakukan kritik terhadap sumber sejarah yang diperolehnya. Dalam kritik sumber ada dua : kritik Intern yaitu melakukan pengujian terhadap kebenaran isi sumber (validitas) sedangkan  kritik ekstern adalah pengujian terhadap keaslian sumber ( otentik).

 

METODE SEJARAH

1.    Heuristik / Pengumpulan Sumber Data

2.    Verifikasi / Pengujian Sumber Data

3.    Interpretasi / Kritik Sumber

4.    Historiografi/ Penulisan Kisah Sejarah

 

Ke  Lima,  Teori  berasal  dari  bahasa  Yunani theoria yang  berarti renungan. Seperti ilmu lainnya, sejarah juga memiliki teori pengetahuan yang sering disebut filsafat sejarah kritis. Teori dalam sejarah,  umumnya berisi  satu kumpulan  tentang kaidah pokok    suatu ilmu (Kuntowijoyo, 2001).

Menurut Lubasz (1963) yang dikutip oleh Sjamsudin (2012) teori dalam sejarah, terutama dalam penjelasan sejarah,  pada umumnya digunakan untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan suatu keberadaan kolektif, untuk merekonstruksi suatu perangkat kepercayaan menurut suatu analisis karakter kolektif, untuk menguji kebenaran dan ketepatan (verifikasi), penjelasan (eksplanasi) suatu peristiwa kolektif.

 

2.   Sejarah sebagai Peristiwa

Bahan utama yang digunakan sejarawan menyusun suatu cerita atau analisis sejarah ialah fakta, dan fakta itu pada hakikatnya adalah suatu konstruk yang dibuat oleh sejarawan, maka sebenarnya fakta sejarah telah mengandung unsur subjektif, yaitu unsur-unsur subjek, dalam hal ini ialah penulis sendiri. Dipandang secara demikian, maka sukar dipertanggung jawabkan bahwa fakta adalah fakta yang mencerminkan apa yang sesungguhnya telah terjadi.

Sejarah pada umumnya ditulis berdasarkan pemikiran dan tindakan manusia di masa lampau. Oleh karena itu sejarawan harus berusaha mengadakan penyelidikan untuk mengetahui segala yang diperbuat dan dipikirkan oleh manusia pada masa lalu. Dalam proses penyelidikan itu pula sejarawan harus bekerja untuk memperoleh fakta-fakta sejarah dan dapat memaparkannya. Fakta sejarah juga dapat didefiniskan sebagai suatu unsur yang dijabarkan secara langsung atau tidak langsung dari dokumen. Dokumen sejarah dan dianggap kredibel setelah pengujian yang seksama sesuai dengan hukum-hukum metode sejarah. Yang dimaksud kredibel disini adalah bukanlah apa yang sesungguh- sungguhnya terjadi, melainkan bahwa unsur itu paling dekat dengan apa yang sesungguh-sungguhnya terjadi, dapat kita ketahui berdasarkan suatu penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada.

Perlu kiranya ditegaskan kembali bahwa fakta tidaklah sama dengan realitas atau kenyataan dan kejadian sehari-hari, yang bersifat pasti, tidak berubah. Tetapi fakta adalah pernyataan, rumusan atau kesimpulan dari kejadian atau realitas sehari-hari tersebut. Karena itu fakta bisa saja berubah, kalau ditemukan data dan sumber yang lebih kredibel. Menurut Bacher fakta-fakta sejarah dapat dibedakan menjadi dua yakni :

  1. Fakta-fakta   keras   (hard   facts)   yang   itu   fakta-fakta   yang   telah   teruji kebenarannya. Sebagai contoh Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus   1945   dalam   depot   arsip   tersimpan   banyak   dokumen   yang mendukung atau menjelaskan peristiwa tersebut.
  2. Fakta-fakta lunak (cold facts) yang itu fakta-fakta yang belum dikenal dan masih perlu diselidiki kebenarannya. Untuk menguji kebenaran fakta-fakta itu, sejarawan harus mendapatkan bukti-bukti yang kuat. Selanjutnya sejarawan juga harus pandai mengelola dan menyusun fakta-fakta agar  dapat  membutuhkan rekontruksi dalam bentuk kisah. Misalnya tentang pembunuhan presiden Amerika Serikat. J.F. Kennedy di tahun 60-an. Siapakah pembunuhnya masih merupakan tanda tanya. Di samping itu ada banyak teori berbeda yang digunakan berkenaan           dengan pembunuhan tersebut

Berdasarkan bentuknya fakta sejarah dibagi menjadi 3, yaitu : fakta mental, fakta social, dan artefak.

  1. Fakta mental : Fakta mental adalah kondisi yang dapat menggambarkan suasana pikiran, perasaan batin, kerohanian, dan sikap yang mendasari suatu karya cipta. Jadi fakta mental bertalian dengan perilaku, ataupun tindakan  moral  manusia  yang  mampu  menentukan  baik  buruknya kehidupan manusia, masyarakat, dan Negara misalnya, mental orang Aceh  yang  keras  dan  tak  mudah  menyerah,  mengakibatkan  pihak Belanda kewalahan dalam menghadapi perlawanannya.
  2. Fakta Sosial : Fakta sosial adalah fakta sosial yang berdimensi sosial, yakni kondisi yang mampu menggambarkan tentang keadaan sosial, Jadi fakta sosial berkenaan dengan kehidupan suatu masyarakat, kelompok masyarakat atau suatu Negara yang menumbuhkan hubungan sosial yang harmonis serta komunikasi yang terjaga baik. Misalnya, bangunan arsitektur Eropa di kota Indonesia. Ini menandakan Bahwa di kota bersangkutan pernah di tempati oleh orang-orang asal Eropa yang membangun rumah yang beraksitektur dan tidak jauh beda dengan negara asalnya.
  3. Artefak adalah semua benda baik secara keseluruhan atau sebagian hasil garapan tangan manusia, contohnya candi, patung, dan perkakas

Sejarah sebagai peristiwa dapat dipahami sebagai sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat pada masa lampau. Di sini, pengertian ‘sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat’ merupakan hal penting karena segala sesuatu yang terjadi yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan masyarakat bukanlah sejarah.

Berikutnya, pengertian ‘pada masa lampau’ sangat jelas bahwa sejarah merupakan peristiwa yang terjadi pada masa lalu, bukan sekarang yang menurut R. Moh Ali disebut sejarah sebagai obyek. Namun, tidak semua peristiwa yang terjadi   pada  masa  lalu  dianggap  sebagai  sejarah.  Suatu  peristiwa  dianggap sebagai peristiwa sejarah jika peristiwa itu dapat dikaitkan dengan peristiwa yang lain sebagai bagian dari proses dinamika dalam konteks historis. Selain itu peristiwa-peristiwa tersebut perlu pula diseleksi untuk mendapatkan peristiwa yang memang penting dan berguna.

Peristiwa yang dapat digolongkan sebagai peristiwa sejarah haruslah unik, terjadi sekali saja (einmalig) dan memiliki pengaruh yang besar pada masanya dan masa sesudahnya. Sejarah sebagai peristiwa tidak dapat kita amati lagi karena kita tidak dapat lagi menyaksikan peristiwa tersebut. Misalnya peristiwa 10 November 1945 ketikA Bung Tomo membakar semangat arek-arek (anak-anak) Suroboyo .

Peristiwa yang terjadi pada masa lampau menjadi materi penting dalam pembahasan ilmu sejarah. Peristiwa pada masa lampau dapat dikategorikan sebagai peristiwa sejarah, jika memiliki syarat berikut :

      OBJEKTIF

      UNIK

      PENTING

  • Peristiwa tersebut didukung oleh fakta sejarah yang dapat menunjukkan bahwa peristiwa tersebut benar- benar tejadi pada masa lampau.
  • Tidak ada peristiwa lain yang sama dengan peristiwa yang terjadi pada waktu itu.
  • Setiap peristiwa memiliki arti pentingdalam perkembangan ilmu pengetahuan serta kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Meskipun semua peristiwa pada masa lampau merupakan bagian dari sejarah, sejarawan tidak begitu saja mampu merekonstruksi rangkaian peristiwa tersebut. Sejarawan harus menelusuri awal mula terjadinya suatu peristiwa. Sejarawan juga harus mampu mengembangkan pembahasan peristiwa berdasarkan data dan fakta.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama