PEMBERONTAKAN ANDI AZIS DI SULAWESI SELATAN


Mengenal Andi Azis 

Untuk memahami latar belakang terjadinya peristiwa Andi Azis, maka perlu diketahui bagaimana riwayat hidup Andi Abdul Azis, lebih familiar disebut Andi Azis. Siapa dia sebenarnya dan bagaimana kondisi lingkungannya, kehidupan keluarganya, pendidikan dan lain-lain. Karena keadaan lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologi seseorang. Lingkungan memiliki peran yang penting dalam mewujudkan kepribadian anak, khususnya lingkungan keluarga. Kedua orang tua adalah pemain peran ini, lingkungan keluarga adalah basis awal kehidupan bagi setiap manusia. Dengan kata lain kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan perlakuan kedua orang tua dan lingkungan (Said, 2007: 5). 

Andi Azis dilahirkan di Simpangbinanga, Kabupaten Barru Sulawesi Selatan tanggal 19 September 1924. Ayahnya bernama Andi Djuanna Daeng Maliungan, ibunya bernama Becce Pesse, ia anak pertama dari 11 bersaudara. Ia masuk sekolah ELS kemudian ikut ke negeri Belanda dengan seorang asisten residen pensiunan bangsa Belanda, sehingga praktis sejak berumur 9 tahun ia sudah hidup di negeri Belanda. Pada tahun 1935 di negeri Belanda ia memasuki La Gere School pada sekolah menengah Lyseum sampai tahun 1944. Andi Azis sebenarnya sangat berhasrat untuk memasuki dunia militer di Belanda untuk menjadi seorang perwira, tetapi niatnya tidak terlaksana karena berkecamuknya perang dunia II. Setelah itu ia menjadi anggota Koninklijke Leger (KL) dan bertugas sebagai anggota team perlawanan bawah tanah melawan Jerman. Tanggal 17 September 1944 Andi Azis dipindahkan tugaskan menjadi anggota mata-mata sekutu di Jerman. Namun Sekutu mengalami kekalahan-kekalahan hebat di Eropa, sehingga kegiatan matamata ini tidak berjalan. Andi Azis dengan kelompoknya dengan diam-diam menyeberang Sungai Rhein terus menyeberang ke Inggris, daerah sekutu yang tidak begitu gawat dibandingkan dengan negara sekutu lainnya di Eropa. Di Inggris kemudian ia mengikuti latihan pasukan komando atau pasukan khusus special Troop (SP), di sebuah kamp kurang lebih 70 km di luar London. Dari pendidikan ini ia berhasil lulus dengan pujian, sesudah latihan tersebut kemudian mengikuti pendidikan militer di Inggris (semacam SECABA) dan menjadi sersan tahun 1945. Pada bulan Agustus 1945 karena SEAC dalam usaha mengalahkan Jepang di timur memerlukan seorang anggota tentara pasukan komando atau pasukan khusus yang dapat berbahasa Indonesia. Kemudian Andi Azis ditempatkan di komando perang Sekutu di India, dan berpindah-pindah tugas di Colombo dan akhirnya Calcuta dengan pangkat sersan . (Anonim, 1978: 5; Lahadjdji, 1976: 143).

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, kepada Andi Azis diperbolehkan memilih tugas apakah akan ikut satuan-satuan Sekutu yang akan bertugas ke Jepang ataukah akan bertugas di gugusan selatan (Indonesia). Bagi Andi Azis yang sudah 11 tahun tidak pernah bertemu dengan orang tua, ia memilih bertugas di Indonesia, dengan harapan dapat sekali waktu mengunjungi orang tuanya di Makassar. Dengan jabatan komandan regu di satuan yang diikuti tanggal 19-1-1946 ia mendarat di Jawa (Jakarta), kemudian ia bertugas di daerah Cilincing. Pada tahun 1947 mengambil cuti panjang ke Makassar, ia agak lama di Makassar. Pada tahun itu juga ia mengikuti kursus kepolisian di Menteng Pulo Jakarta, tapi pertengahan tahun 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL dan diberi pangkat letnan dua.

Masih tahun 1947 Andi Azis menjadi ajudan senior Sukowati, Presiden NIT, karena Sukowati berkeinginan mempunyai seorang ajudan berdarah Bugis. Jabatan ajudan dijalaninya selama satu setengah tahun, kemudian la ditugaskan sebagai instruktur di Bandung (Cimahi) pada pasukan S.S.O,P (Baret Merah-KNIL 1948). Pada akhir I948 ia dikirim ke Makassar dan diangkat menjadi komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu, dengan 125 orang anak buah KNIL yang berpengalaman dan kemudian menjadi TNI. Dalam susunan APRIS ia dinaikkan pangkatnya menjadi kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak mengalami perubahan personil. (Anonim, 1978: 8).

Demikian latar belakang kehidupan Andi Azis yang sebagian besar pembentukan jiwanya dialaminya di negeri Belanda. Latar belakang lingkungan kehidupan Belanda sejak kecil, kemudian mempengaruhi pandangan hidupnya. Menurut pendapatnya, ia sangat percaya janji Ratu Yuliana Wilhelmina bahwa Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya tanggal 17 November 1942 (November Belofte-janji November) sebagai hadiah dari negeri Belanda. Ternyata walaupun janji November ini kemudian tidak terlaksana sama sekali, Andi Azis masih mempunyai pendapat bahwa kemerdekaan itu akan lebih baik didapat dengan evolusi tidak dengan revolusi. Tentu saja hal ini bertentangan dengan kenyataan aspirasi rakyat Indonesia yang memang hanya mempunyai tekad merdeka atau mati. Dengan pola cara berfikir itu, tidak heran ia memihak pandangan federalis dan bukan unitaris. Menurut pendapatnya ide membubarkan negara-negara federal, termasuk NIT yang dicintai adalah tidak tepat, tetapi kesatuan Indonesia dapat dicapai secara perlahan-lahan.

Situasi Politik Menjelang Peristiwa Andi Azis 

Banyak kesulitan yang dihadapi sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, terutama usaha-usaha Belanda untuk kembali menjajah Indonesia dengan strategi lamanya devide et impera. Di bidang militer banyak usaha untuk memperlemahkan proklamasi yang telah diraih, misalnya dengan mengadakan siasat berunding sehingga menghasilkan situasi terjepit bagi TNI. Seperti dengan adanya perjanjian Linggar Jati dan Renville, dipandang dari sudut militer perundingan-perundingan tersebut berarti memberikan kesempatan konsolidasi kepada Belanda. Dan menetralisir kedudukan TNI yang telah dapat menduduki posisi-posisi yang sangat menyulitkan Belanda. Van Mook sebagai pimpinan Belanda semasa sebelum pengakuan kedaulatan berusaha menghimpun unsur-unsur yang masih dapat dirangkulnya, untuk memecah belah Indonesia dengan idenya membentuk negaranegara bagian federasi. Tentang pembentukan negara federal mulai dirintisnya pada Konferensi Malino, tanggal 15-25 Juli 1946 dengan dihadiri oleh oknum-oknum daerah yang berhasil dipengaruhi kembali terutama Indonesia Timur (Wawancara Andi Oddang, tgl 19 Februaru 2008). 

Dari konferensi-konferensi ini lahir pertama kali NIT pada bulan Desember 1946 meliputi pulau-pulau Sunda kecil, Sulawesi dan Maluku. Selanjutnya berturut-turut dengan pembentukan negara Sumatera Timur (1947) Madura (1948), Pasundan (1948), Sumatera Selatan (1948) dan Jawa Timur (1948). Dalam kondisi yang terjepit negara kesatuan masih dapat memperjuangkan diadakannya KMB, antara pemerintah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia. Wakil-wakil negara federal yang telah berhasil dibentuk Van Mook pada tangga 23 Agustus-2 Nopember 1949 di Den Haag yang melahirkan pengakuan kedaulatan. Meskipun pada dasarnya masih kurang, yaitu dengan adanya bentukan RIS dan pengaruh ke cita-cita Uni Indonesia Belanda (Agung, 1985: 614). 

Dengan resminya terbentuk RIS, maka seluruh Indonesia terdiri dari 16 negara bagian. Negara-negara tersebut yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Kenegaraan Dayak Besar, Kesatuan Kenegaraan Kalimantan Tenggara, Satuan Kenegaraan Riau, Satuan Kenegaraan Daerah Banjar, Satuan Kenegaraan Kalimantan Timor, Satuan Kenegaraan Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan Satuan Kenegaraan Jawa Tengah. Pihak-pihak yang menganut federasi mendapat angin, cita-cita negara kesatuan ternyata cepat tercapai dengan kesadaran dan kemauan yang keras bangsa kita sendiri untuk tidak mempertahankan lebih lama produk KMB. Dalam Kasus NIT ini sebenarnya tidak seluruhnya hanya sebahagian tokoh-tokoh saja yang menghendaki berdirinya NIT (Anonim, 1978: 12). Andi Azis turut sependapat di mana rupanya telah tercapai persetujuan pendapat antara Andi Azis dengan Soumokil, bahwa kelak dalam NIT Soumokil adalah tokoh politik, sedangkan ia sendiri adalah tokoh militer atau panglimanya. Andi Azis secara politik termasuk kelompok yang tetap ingin mempertahankan federalisme, ia mengharap mendapat kedudukan pucuk pimpinan militer dalam bentuk federalisme. Dalam NIT, yakni Soumokil sebagai tokoh politik dan Sukowati sebagai presiden. Hal ini dapat dipahami mengingat disamping latar belakang bentuk pribadi Andi Azis yang dibesarkan dalam lingkungan Belanda, dengan berkat didikan penjajahan pada umumnya maka ia tetap ingin dengan bentuk federalis tersebut, sesuai dengan paham feodalis yang dianut oleh sebagian kaum bangsawan. 

Pada tanggal 16 Maret 1950 bermunculan partai politik dan organisasi kemasyarakatan beserta massanya di Lapangan Karebosi Makassar, mereka berkumpul untuk melakukan persiapan demonstrasi keesokan harinya untuk berjuang membubarkan NIT. Tanggal 17 Maret 1950 sekitar 2000 orang yang dikoordinasikan oleh BPRRI dan GAPKI turun ke jalan dan mengadakan demonstrasi besar-besaran secara tertib di Kota Makassar. Mereka berkeliling kota sejak pagi dan demonstrasi itu diakhiri di Gedung BPR, sepanjang perjalanan mereka meneriakkan bubarkan NIT dan lebur NIT dalam Republik Indonesia. Sampai di Gedung BPR sebuah resolusi diserahkan kepada ketua BPR, yang mendesak agar NIT dibubarkan dan dimasukkan ke dalam Republik Indonesia (Poelinggomang, dkk, 2005: 266). Pada tanggal 20 maret 1950 demonstrasi kembali berlangsung, rapat umum diadakan sebelum keliling kota, dibacakan mosi bahwa NIT segera dibubarkan dan Sulawesi Selatan menjadi bagian Republik Indonesia. Mereka juga menuntut segera diwujudkan negara kesatuan, selain di Kota Makassar terjadi juga demonstrasi di ParePare, Rappang, Enrekang, Palopo, Tanah Toraja, Pinrang, Mandar, Gowa, Limbung, Takalar, dan lain-lain (Poelinggomang, dkk, 2005: 266).

Untuk mengimbangi demonstrasi yang telah diselenggarakan pada 17 Maret 1950, dari pihak golongan federalis hendak mengadakan juga demonstarsi pada 26 Maret 1950. Sebagai suatu unjuk perasaan dari kalangan federalis, bahwa mereka ingin mempertahankan prinsip federalisme dan NIT. Akan tetapi semalam sebelum demonstarsi dilangsungkan, oleh sementara golongan diadakan semacam intimidasi terhadap beberapa tokoh federalis, seperti Andi Massarapi. Oleh kelompok tersebut dilemparkan granat ke rumahnya, selain itu oleh beberapa kelompok ditembakkan senjata api di beberapa tempat di Makassar (Agung, 1985: 722).

Perkembangan selanjutnya pada akhir Maret ditetapkan lagi suatu keputusan Presiden RIS yang menyatakan bahwa Negara Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur dibubarkan dan keduanya dimasukkan ke dalam Negara Republik Indonesia. Pada bulan April 1950 Keputusan Presiden yang sama dikeluarkan lagi, bertujuan membubarkan daerah Banjar, Dayak Besar, Kalimntan Tenggara, Bangka, Riau, dan Belitung kemudian menggabungkan daerah-daerah itu ke dalam Negara Republik Indonesia. Sampai pada 4 April 1950 RIS hanya terdiri dari bagian Negara Republik Indonesia, telah termasuk semua negara-negara dan daerah daerah yang telah dibubarkan NIT, Negara Sumatera Timur, daerah Istimewa Kalimantan Barat. Kurang lebih seminggu kemudian daerah Kalimantan Barat juga dibubarkan dan dimasukkan ke dalam Negara Republik Indonesia. Setelah kepalah daerahnya Sultan Hamid II ditahan, karena terlibat dalam peristiwa Westerling-APRA di bandung (Agung, 1985: 723)

Nampaknya ketegangan timbul dalam Parlemen dan meruncingnya suasana dikalangan masyarakat, telah menjerumuskan NIT pada krisis poltik yang hebat dan bergejolak pada 5 April 1950. Ini merupakan suatu musibah politik yang menjadi sebab jatuhnya Kabinet Diapari, bubarnya NIT, dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (Agung, 1985: 723).

Parlemen NIT, Fraksi Kesatuan yang diketuai oleh Lanto Daeng Pasewang menganjurkan mosi membubarkan NIT, sehingga menimbulkan perdebatan yang seru. Dengan secara spontan rakyat di Sulawesi Selatan mendukung mosi Fraksi Kesatuan. Kemudian Biro Pejuang Pengikut Republik Indonesia (BPRRI) yang menggerakkan kekuatan kaum republiken untuk membubarkan NIT, mengadakan demonstrasi bekerjasama dengan partai-partai dan organisasi yang berada di Makassar. Untuk melaporkan keadaan di Makassar, maka diutus ke Yogyakarta (sebagai ibukota), menghadap Pemerintah RI yaitu Makkaraeng Daeng Manjarungi dan Riri Amin Daud (Djarwadi, 1972: 46).

Meningkatnya tuntutan terhadap pembubaran NIT, memyebabkan pemerintah NIT mencoba mencari dalangnya. Menjelang akhir Maret 1950 penangkapan terjadi di mana-mana, sebagian besar yang dicari adalah aktivis BPRRI seperti Yusuf Bauty dan F. Pondaag. Di samping ada penangkapan oleh polisi terhadap aktivitas BPRRI. Sebaliknya rumah orang-orang pro Belanda atau yang ingin mempertahankan NIT seperti Andi Massarapi, Baso Daeng Malewa, dan sebagainya dilempari batu atau granat tangan. Suasana tersebut membuat Kabinet NIT di bawah Perdana Menteri Diapari menjadi gugup, karena penangkapan yang dilakukan justru memancing kekerasan baru (Poelinggomang, dkk, 2005: 266).

Perjuangan yang sama juga dilakukan oleh pemimpin-pemimpin lokal dari kalangan aristokrat atau kaum bangsawan di Sulawesi Selatan yang tidak ingin memperoleh kedaulatan dalam bentuk negara federal. Mereka berusaha lewat pemerintah RI yang berada di Yogyakarta agar membubarkan NIT. Untuk mewujudkan itu berangkat ke Yogyakarta sejumlah pimpinan dari kalangan aristokrat pro republik pada akhir Maret 1950 seperti Andi Mappanyukki (mantan Raja Bone), Andi Jemma (mantan Datu Luwu), Pajonga daeng Ngalle (mantan Karaeng Polombangkeng), Andi Sultan Daeng Raja (mantan Karaeng Gantarang), dan lain-lain. Rombongan tersebut di bawah pimpinan Lanto Daeng Pasewang, diserta Kapten M. Yusuf, dan Letnan Bing Latumahina dari KMTIT (Poelinggomang, dkk, 2005: 267).

Situasi kemiliteran di Indonesia Timur dijelaskan sebagai berikut sesuai dengan hasil KMB, maka KNIL itu dimasukkan kedalam TNI. Terutama bagi KNIL asal bangsa Indonesia, dengan melalui prosedur administratif yang cukup berbelit. Tentu saja mengalami banyak persoalan-persoalan psikologis mengingat mereka dilebur ke dalam TNI yang katakanlah selama berdiri pada pihak yang berbeda kepentingannya. KNIL untuk kepentingan Belanda, TNI yang semula memang berasal dari segala lapisan dan golongan yang spontan memperjuangkan kemerdekaan dengan semangat tidak kenal pamrih. Masalah psikologis akan lebih terasa oleh pihak KNIL termasuk pasukannya Andi Azis, sehingga kemudian banyak menimbulkan kegelisahan seperti keraguan apakah benar akan diterima dalam TNI, apakah akan diturunkan pangkatnya demikian rendah

Apalagi mengingat situasi administratif yang masih ruwet saat itu, kegelisahan inilah yang sebagian besar ditunggangi kepentingan politik kaum federalis untuk memberontak kepada RIS. Dimana dalam NIT unsur-unsur seperti ini memang masih kuat sekali dan sengaja diatur oleh Belanda yang ingin tetap mengembalikan pengaruhnya di Indonesia. Setidak-tidaknya ingin menciptakan kondisi-kondisi yang mana Belanda tetap mengendalikan Indonesia, dengan menghasut bangsa Indonesia yang dapat dipengaruhinya seperti Soumokil dan kawan-kawan. 

Usaha-usaha Belanda di bidang militer kelihatan juga, seperti dengan memusatkan pasukan-pasukan KNIL di Indonesia Timur. TNI di daerah ini belum mempunyai kekuatan pengamanan yang berarti, tidak seperti halnya di Jawa dan Sumatera. Bagi pihak-pihak yang menginginkan Republik Indonesia bersatu yang lazim disebut golongan unitaris, saat itu menyatu di jiwa rakyat Indonesia sesuai dengan cita-cita Proklamasi. Sebaliknya upaya Belanda untuk kembali di Indonesia Timur melalui tokoh-tokoh bangas Indonesia yang dapat dipengaruhinya, karena mempunyai latar belakang kehidupan Eropa yang mendalam. 

Jalannya Peristiwa 

Kasus khusus yang menyebabkan aksi Andi Azis, adalah dengan dikirimnya pasukan lengkap dengan persenjataannya di Makassar. Menurut Andi Azis penolakannya ini sudah keempat kalinya melalui Presiden NIT Sukowati kemudian diteruskan ke Letkol A.J. Mokoginta untuk diteruskan lagi ke Presiden Sukarno. Sebelum Batalyon Worang mendarat ia telah mengadakan gerakan pendadakan, dengan tanpa diduga-duga. Pada pagi buta, pukul 06.00 WITA, tanggal 5 April 1950 Andi Azis mengadakan gerakan untuk melumpuhkan kekuatan bersenjata APRIS. Andi Azis disertai kompinya dan dibantu kurang lebih 1300 orang KNIL praktis telah menguasai Kota Makassar. 

 Sasaran gerakan Andi Azisi adalah:1. menduduki semua stasion radio dan telekomunikasi, 2. menduduki lapangan terbang Mandai, 3. memblokade pelabuhan Makassar dan memasang meriam-meriam di pantai, kemudian mengancam kapal yang ditumpangi Batalyon Worang akan ditembak jika berani merapat di pelabuhan (kapal yang lain dengan membawa 300 pejuang bersenjata dari Bali dibawah pengawalan Lettu PM Moulwi Saelan yang sedianya akan ditempatkan di Pandang Pandang juga tidak jadi mendarat, 4. Menyerang staf` Kwartier KMTIT di Jalan Guntur (sekarang Sungai tangka), di mana ditempatkan dua peleton pasukan Polisi Militer dipimpin Letda Tobing, 5. Menyerang Mess perwira Tinggi di jalan Guntur 39 (sekarang Sungai Tangka 39) adalah juga tempat tinggal Letkol A.J. Mokoginta, 6. Menyerang Mess Perwira Menengah di Jalan Mongisidi d/h Klaapperlaan, 7. Menyerang Asrama Pejuang Bersenjata RI yang sedang dalam latihan di Pandang Pandang Sungguminasa (Djarwadi, 1972: 48)

Terutama yang menjadi sasaran adalah markas KMTIT di Jalan H. Guntur, Asrama Corps Polisi Militaer (CPM) dan mess Perwira TNI di Jalan Mongisidi berhasil dilumpuhkan. Selain menguasai markas militer Andi Azis melakukan penangkapan terhadap Letkol A.J. Mokoginta (komandan APRIS untuk wilayah Indonesia Timur) beserta beberapa stafnya (Djarwadi, 1972: 49; Arsip Pemda Tanah Toraja, No. 802). Pada saat ingin menahan Letkol A.J. Mokoginta, Andi Azis diperingatkan bahwa itu adalah insubordinasi yang di jawabnya Met spijt me, Overste, maar ik moethet doen (saya menyesal overste, tetapi saya terpaksa bertindak demikian) (Wawancara Abd. Razak Djalle, 20 Februari 2008)

Operasi terhadap staf kwartier dan Mess Perwira Tinggi di Jalan Sungai Tangka tidak menemui kesulitan, karena lebih dahulu Andi Azis telah mengirim anak buahnya masuk ke dalam staf kwartier, begitu juga di Mess Perwira Tinggi. Selanjutnya operasi mereka terhadap Markas KMTIT dan Mess Perwira di Jalan Guntur dan Jalan Mongonsidi tidak mengalami kesulitan karena Andi Azis telah mengirim anak buahnya kedalam Markas KMTIT. Dengan alasan memperkuat penjagaan malam itu, karena dikhawatirkan terjadi insiden antara APRIS dan KNIL Ketika gerakan dimulai, anggota Kompi Andi Azis mengancam dari dalam pengawal-pengawal CPM. Mereka mengepung dan menduduki markas KMTIT dan mess perwira Tinggi pada jam 6 pagi. Sedangkan di mess perwira menengah di Jalan Mongonsidi dilakukan pendudukan dengan dua kendaraan panser, sehingga seluruh perwira tidak diberi kesempatan melawan (Djarwadi, 1972: 49).

Pasukan Andi Azis dengan mendapat bantuan dari Kaveleri menuju Pandangpandang Sungguminasa menghadapi perlawanan, karena sejak jam 5 pagi seluruh pasukan yang berjumlah 340 orang itu sudah apel pagi. Lettu Andi Sapada dan Letda Surya pengawal empat orang pagi, harus bertugas dalam upacara penyambutan Batalyon Worang. Sebelum berangkat ke Makassar telah memberikan perintah-perintah meniadakan latihan pagi dan semua anggota dalam keadaan waspada. Pimpinan dipercayakan kepada Letnan Muda Andi Hasanuddin Oddang dan dibantu oleh Lappase pimpinan rombongan dari Palopo, Frans Sangker pimpinan rombongan dari Minahasa, dan Serma M. Arsyad B anggota TNI yang diperbantukan di Pandang Pandang (Anonim, tt: 11-12; Djarwadi, 1972: 49).

Dalam peristiwa tersebut terjadi dua kali vuur contact, pertama dengan rombongan Lettu Andi Sapada yang mengendarai jeep ke Makassar, setibanya di Mess Perwira di Jalan Mongisidi d/h klapper laan telah ditahan oleh pasukan Andi Azis telah menguasai jalan tersebut dengan jarak 20 m, sehingga terjadilah tembak-menembak jarak dekat. Pada saat itu Letda Surya luka ditangan , dua orang pengawalnya gugur. Di pihak lawan gugur satu orang. Sedangkan Lettu Andi Sapada, Letda Surya dan rombongan dapat meloloskan diri, kemudian kembali ke pangkalan dan bergabung dengan pasukan di Pandang Pandang. Kedua, tepat jam 6.30 pagi, pasukan Andi Azis sudah menuju Asrama. Dari depan pada mulanya mereka bermaksud melakukan gerak tipu dengan memberdayakan penjaga pintu dengan mengatakan mereka ditugaskan memperkuat pertahanan. Tetapi karena kewaspadaan penjaga pintu mereka tetapi tidak diperbolehkan masuk, sehingga terjadilah tembak menembak antara penjaga pintu dengan penyerang. Peristiwa itu memberikan peluang kesegenap anggota yang berada dalam asrama, segera mengambil senjata serta menempati posisi-posisi taktis dalam parit-parit yang memang sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya sepanjang pagar bambu depan asrama. Penempatan pada posisi yang menguasai medan memungkinkan pasukan Lettu Andi Sapada mengadakan perlawanan selama dua jam terhadap serangan lawan yang diperkuat dengan dua panser (Djarwadi, 1972: 49).

Di pihak pasukan TNI ada penambahan dua pucuk senapan mesin yang baru, setelah ditambah dua pucuk senapan malah pasukan TNI menyerang pasukan Andi Azis, akhirnya pasukan Andi Azis mundur. Peristiwa baku tembak ini menelan korban lima orang di pihak pasukan Andi Azis, pada pukul 10.00 WITA seluruh Makassar dikuasai Andi Azis (Anonim, 1991: 309; Djarwadi, 1972: 50). Pasukan Andi Azis yang menempati medan di sebelah jalan raya dapat dipukul mundur, setelah kekuatan tembak pasukan Lettu Andi Sapada ditambah dengan dua pucuk senapan mesin, maka posisi berubah menjadi pihak menyerang. Mobil ambulans pasukan Andi Azis nampak mondar mandir mengangkut korban di pihak Andi Azis. 

Dalam pertempuran ini menimbulkan korban dikedua belah pihak. Pada tengah hari, setibanya rombongan Lettu Andi Sapada dari Makassar yang diikuti pula oleh beberapa perwira lolos dari penangkapan, terus diadakan rapat untuk mengadalkan konsolidasi. Diambil keputusan memindahkan pasukan ke Palangga di sebelah selatan Sungguminasa. Setelah Markas Komando dipindahkan ke Palangga. Sekalipun serangan-serangan anak buah Andi Azis dalam kota Makassar berhasil. Tetapi tipu dayanya hendak mengelabui penjaga asrama di Pandang-Pandang Sungguminasa tidak berhasil, bahkan perlawanan gigih telah memukul mundur penyerang. Karena kegagalannya Andi Azis mulai melancarkan berita melalui pers, demikian pula dengan menggunakan surat Letkol A.J. Mokoginta yang diantar oleh Kapten PM Hertasning. Dia menganjurkan agar pasukan yang berada di Pandang-Pandang menyerah untuk mencegah pertumpahan darah selanjutnya (Djarwadi, 1972: 49-50)

Kemudian diperintahkan kepada Andi Unru, dengan membawa kekuatan 1 peleton untuk diperbantukan pada Mobile Batalyon Ratulangi (MBR) dengan tugas mengamankan pantai antara Sungguminasa-Bantaeng. Sedangkan Chatib Lasini dengan kekuatan 1 peleton diperbantukan secara menyamar memasuki Kota Makassar dengan tujuan melaporkan para perwira menengah yang telah menjadi tempat penahanan, sudah diserahkan kepada polisi NIT. Komandan pengawal adalah seorang Indo Belanda bernama van Vlogen berpangkat inspektur polisi terlebih dahulu membawa Mayor H.N. Samual. Beliau kebetulan baru tiba diam-diam dari Manado, bertemu dengan Mayor M. Saleh Lahade di Mess Perwira Tinggi di Jalan Sungai Tangka No. 39 dengan pesan bahwa sebentar malam setelah pidato presiden akan dilakukan tembakan pura-pura ke udara, guna diberi kesempatan kepada perwira-perwira yang ditahan melepaskan diri ke Sungguminasa. Pesan ini masih sempat diteruskan ke Mess Perwira-perwira di Jalan Mongisidi, sehingga setelah tiba waktunya, maka komandan dengan anak buahnya melarikan diri kemudian langsung menuju Palangga Sungguminasa (Djarwadi, 1972: 51).

Pasukan Ghatib Lasini yang telah berhasil mengeluarkan para perwira yang ditawan, kemudian ditugaskan mengamankan wilayah Barru untuk menghadapi pendaratan. Dalam pasukan ini diperbantukan seorang perwira TNI Lettu La Nakka dan 1 peleton di bawah Andi Selle. Sedangkan MBR di bawah pimpinan Lettu Arief Rate, yang mendapat tugas untuk mengamankan Jeneponto, Bantaeng, dan Sinjai. Di dekat lapangan terbang Mandai ditempatkan pasukan Letda Andi Aminuddin. Menghadapi kenyataan ini maka timbul pertanyaan, apakah Pemerintah NIT sudah mengetahui sebelumnya, para peninjau mengatakan Pemerintah NIT sebagai een zeer welwilxende houdin (suatu sikap cukup/ menurut tidak membangkang). Beberapa fakta memperkuat dugaan bahwa Pemerintah NIT sudah mengetahui sebelumnya (Anonim, 1984: 16). 

Pemerintah NIT mengemukakan bahwa penempatan bekas TNI di NIT mempunyai sudut psikologi penting yang tidak boleh diabaikan, oleh karena bila hal ini tidak diperhatikan dan diberikan penilaian yang khusus, mungkin akan dapat mengacaukan ketentraman dan ketertiban umum. Pemerintah selanjutnya mengemukakan bahwa waktu yang baik menempatkan TNI di NIT adalah pada suatu saat jika KNIL sudah direorganisasi menjadi bagian tentara APRIS. Pemerintah mengharapkan agar reorganisasi KNIL secepat mungkin dapat dilaksanakan. Sayang sekali hal reorganisasi tersebut belum selesai. Dari 6 kompi pasukan KNIL yang ditempatkan di Makassar dan sanggup untuk dimasukkan ke dalam APRIS dan diberi kesempatan untuk masuk ke dalam tubuh APRIS, baru kompi yang dipimpin oleh Andi Azis (Agung, 1985: 731). 

Dengan aksi andi Azis, maka batalyon Worang mendapat perintah dari markas besar APRIS agar jangan mendarat, sehingga dengan demikian Andi Azis berhasil menghalang-halangi pendaratan APRIS di Makassar. Pemerintah NIT mengeluarkan suatu pernyataan bahwa ia tidak dapat menghalang-halangi terjadinya aksi Andi Azis dan sangat menyesal bahwa hal tersebut terjadi. Kepada angkatan Kepolisian NIT diperintahkan menjaga keamanan dengan ketat (Agung, 1985: 728). 

Sementara Batalyon Worang tidak dapat masuk Pelabuhan Makassar, karena dijaga ketat oleh pasukan Andi Azis dan mengancam akan menembak sampai tenggelam apabila Kapal Waikelo mendekat (nama kapal yang ditumpangi Batalyon Worang). Selanjutnya Andi Azis dengan perantara pers menyatakan keinginannya sebagai berikut: 1. NIT harus dipertahankan, 2. Pasukan KNIL yang sudah masuk APRIS saja yang bertanggungjawab atas keamanan NIT, apabila kurang akan ditambah dengan pasukan APRIS dari TNI, 3. Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta supaya tidak akan bertindak NIT dibubarkan dengan kekerasan (Bardosono, 1956: 23; Kadir, 1984: 236). 

Lettu Andi Sapada tanggal 7 April mengeluarkan pengumuman, bahwa kami tidak pernah menerima ultimatum dari siapapun, hanya tanggal 5 April 1950 pagi, kami mendapat serangan di Asrama Pandang-pandang Sungguminasa, pada hari itu juga beberapa tawanan dari Makassar didatangkan ke asrama kami dengan memakai bendera merah putih dan menyampaikan amanat Letkol A.J. Mokoginta, agar kami meletakkan senjata, amanat mana seluruh anggota kami disambut dengan air mata yang bercucuran dan pada saat itu juga diputuskan untuk tidak meyerahkan diri dan senjata. Kami dapat mempertahankan Sungguminasa, agar menghindari pertumpahan darah yang lebih banyak, menaati amanat Letkol A.J. Mokoginta. Maka kami tanggal 6 April terpaksa meninggalkan asrama dan mengundurkan diri ke daerah pegunungan. Sampai sekarang kami masih mengambil sikap pasif saja, tetapi apabila kami mendapat gangguan sekali lagi, maka kami akan mengadakan operasi besar-besaran di seluruh Sulawesi Selatan, terutama kota Makassar (Anonim, 1984: 14). 

Pada tanggal 11 April 1950 Menteri Pertahanan merangkap wakil Panglima Besar Angkatan Bersenjata RIS mengadakan pidato di muka studio RRI, dia menjelaskan bahwa Andi Azis telah memerintahkan pasukannya untuk tidak keluar tangsi dan para tahanan pada waktu sudah dibebaskan. Selain dari pada itu senjata yang telah dikuasai juga sudah dikembalikan kepada yang bersangkutan. Andi Azis mengajukan permohonan kepada atasannya di Jakarta agar keberangkatannya ke Jakarta ditunda sampai tanggal 13 April 1950 karena dia masih menyelesaikan masalah yang timbul di antara pasukannya, di mana telah timbul keresahan. Permintaan dikabulkan oleh Menteri Pertahanan, dan diharapkan Andi Azis sudah tiba di Jakarta tanggal 13 April 1950 (Agung, 1985: 735). 

Setelah menunda pendaratan, akhirnya Batalyon Worang dapat mendarat tanggal 18 April dekat Jeneponto di pantai selatan. Para gerilyawan memberikan informasi mengenai lokasi pasukan-pasukan KNIL. Polisi bersenjata Belanda dilucuti senjatanya, dengan kaum gerilyawan bertindak sebagai pengawal belakang. Batalyon bergerak ke utara kearah Makassar, dan memasuki kota ini tanpa perlawanan. Karena Andi Azis telah menyerah, Soumokil dan pendukungnya melarikan diri ke Ambon (menurut sumbersumber RIS dengan pesawat terbang milik Belanda), sehari sebelum pendaratan Batalyon Worang. Namun tidak berada dibawah kekuasaan pasukan-pasukan republik, tanggal 25 April 1950 ia memproklamasikan RMS (Republik Maluku Selatan) yang bebas dari NIT dan RIS. Soumokil menolak bertemu dengan para perunding yang dikirim oleh Pemerintah RIS (yang semuanya orang-orang Ambon), termasuk kepala Misi Militer, Putuhena). Kolonel Kawilarang kemudian diangkat menjadi komandan KMTIT, yang masih perlu mengadakan perundingan yang sulit dengan pasukan-pasukan KNIL/KL, dan kaum gerilyawan Sulawesi Selatan yang tidak puas (Harvey, 1989: 169).

Penyerahan diri Andi Azis 

Tindak lanjut dari peristiwa ini, maka Pemerintah RIS meminta agar dikirim wakil NIT ke Jakarta untuk memberikan laporan tentang peristiwa ini. Akhirnya tanggal 6 April 1950 berangkat Mokoginta yang didampingi Menteri Penerangan NIT, Dr. J. W. Ratulangi ke Jakarta untuk membicarakan situasi di Sulawesi Selatan. Bersama Pemerintah RIS dan Markas Besar Angkatan Darat, dalam pembicaraan itu Ratulangi menyatakan bahwa tindakan Andi Azis di luar kehendak dan tidak didukung oleh NIT. 

Pemerintah RIS melalui telegram lewat presiden NIT Sukowati, yang isinya menyebutkan kalau Andi Azis cepat menghadap ke Jakarta ia tidak akan ditahan tapi akan diselesaikan sebaik-baiknya. Andi Azis membalas surat kepada presiden Sukowati untuk meminta waktu mengenai pemanggilan itu. Akhirnya Andi Azis diberi ultimatum menyerahkan diri selama empat kali 24 jam kepada Andi Azis, sejak tanggal 9 April 1950 (Amir, 2001: 45; Agung, 1985: 735). 

Satu hari sebelumnya Andi Azis bersedia memenuhi panggilan menteri Pertahanan di Jakarta, telah diterima perintah dari Letkol Sentot melalui Lettu A. Yusuf di Jakarta. Yang mengirim kurir Nona Andi Nurhani Makkasau yang berisi: 1. Supaya kemampuan tempur pasukan tetap dipelihara, 2. Tidak lama lagi kita akan menyerang dan merebut Makassar, untuk itu supaya pasukan Andi Sapada menempati posisi yang dapat mengamankan pendaratan di Lapangan Terbang Mandai, pantai daerah Barru, pantai jurusan Bantaeng, pantai daerah Sinjai. Oleh sebab itu selama bermarkas`di Palangga telah diadakan rapat yang memberi keputusan:1. Tetap memelihara kekompakan pejuangpejuang dan daya tempur pasukan, 2. menggalang pasukan pejuang bersenjata Republik Indoneisa dan memelihara daya juang rakyat republik, 3 berusaha melepaskan tawanan, 4. mengadakan kontak langsung dengan Jakarta melalui kurir, 5. melakukan tindakan yang mengamankan pendaratan TNI (Djarwadi, 1972: 51). 

Tepat pada tanggal 13 April 1950 Andi Azis menyerahkan diri demikian juga pistolnya, kemudian meminta jaminan kebebasan sesuai dengan telegram tersebut. Selanjut-nya diperintahkan juga, agar Andi Azis mengkonsinyir pasukannya. Melepaskan semua tawanan akibat peristiwa itu, dan menyerahkan kembali alat-alat senjata yang telah jatuh ketangannya kepada yang berhak. Tuntutan yang terakhir itu ternyata disanggupi oleh Andi Azis dan akan dipenuhi untuk melaporkan diri ke Jakarta tanggal 13 April, pernyataan kesanggupan disampaikan lewat Letkol A.J. Mokoginta. Namun kenyataannya tidak demikian membuat Andi Azis kecewa dan sakit hati, karena kemudian ia ditangkap dan di penjara. Dari pihak Kementrian menganggap ia telah melewati batas waktu yang ditentukan, karena menyerahkan diri sesudah pidato Bung Karno, jadi telah melewati batas waktu yang ditentukan (Wawancara Andi Oddang, tgl 19 Februari 2019). 

Pada Kamis, 13 April 1950, 20.15 WIB, dengan melalui radio RIS di Jakarta sebagai Persiden RIS dan panglima tertinggi dari Angkatan Perang RIS telah menyatakan Andi Azis sebagai pemberontak terhadap kekuasaan pemerintah RIS, selanjutnya beliau mempercayakan Angkatan Perang RIS untuk menyelesaikan peristiwa Makassar yang bertentangan dengan hukum negara dan tentara (Bardosono, 1956: 17). 

Kementrian Pertahanan RIS menganggap tindakan Andi Azis dengan pasukannya sebagai suatu tindakan yang melanggar hukum dan disiplin tentara serta menghina sumpah tentara. Dua hari setelah peristiwa tersebut, maka telah dikeluarkan perintah persiapan pasukan ekspedisi ke NIT dengan kekuatan satu divisi yang terdiri dari empat brigade mobil. Sebagai panglima operasi ditunjuk Kolonel A.E. Kawilarang. Pasukan-pasukan ekspedisi terdiri atas satu Brigade Mobile, dari Divisi I Jawa Timur, satu Brigade Mobile dari Divisi IV Jawa Barat, dan satu Batalyon dari Jawa Tengah yang dipimpin oleh Mayor Andi Mattalata. Sebagai Kepala Staf operasi diangkat Letkol Sentot Iskandar (Bardosono, 1985: 21). Kehadiran pasukan ekspedisi mendapat sambutan gembira dari rakyat, di pihak lain kegembiraan ini juga menjadi pangkal ejekan bagi bekas KNIL, yang mengundang terjadinya beberapa kali insiden kecil antara pasukan TNI dan pasukan bekas KNIL, namun sebelum ekspedisi tiba di Makassar, yang mendalangi gerakan itu Soumokil dan pendukungnya meninggalkan Makassar dengan menggunakan pesawat Angkatan Perang Belanda menuju Ambon. Batalyon Worang mendarat di Pattontongan dapat memasuki Makassar atas bantuan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Pasukan ini yang kemudian menata pendaratan Divisi pasukan ekspedisi sehingga tidak mengalami hambatan (Kadir, dkk, 1984: 241). 

Situasi di Makassar sudah berubah membaik, ada pesa khusus dari Komandan Operasi terahadap semua komandan batalyon supaya menjaga benar mobilitas pasukan dengan tidak mencampuri urusan territorial, politik, dan pemerintahan sipil, terhadap pasukan diharapkan berhati-hati dan bijaksana. Pada upacara 17 Agustus 1950, Presiden Sukarno mengumumkan pembubaran RIS dan menyatakan kembali terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sejak saat itu semua negara bagian dinyatakan bubar bersama kabinetnya. Terbentuknya NKRI berdasarkan Undang Undang dasar Sementara 1950 yang disahkan pada 15 Agustus 1950 dan diumumkan ke seluruh pelosok tanah air. 

Akhirnya setelah Andi Azis menyerahkan diri di Jakarta kemudian ditahan di CPM Guntur Jakarta selanjutnya diadili ditahanan militer di Yogyakarta tahun 1953, dengan saksi-saksi antara lain: Letkol Mokoginta, dan Bekas Presiden NIT Sukowati, hakim oleh R.S. Gandasubrata, dan Jaksa Mr. Imam Bardjo. Persidangan Andi Azis berlangsung cukup panjang dan lama dari 25 Maret 1953 selanjutnya keputusannya pada tanggal 9 April 1953 dengan dijatuhi hukuman 14 Tahun di potong waktu selama ditahan. Putusan pengadilan antara lain menyatakan………..

Mengadili

Menerangkan bahwa 

Andi Abdul Azis 

Telah menjalankan kejahatan 

“Pemberontakan tentara” 

Menghukum terdakwa oleh sebab itu dengan hukuman penjara selama: 

14 (empat belas tahun) (Anonim, 1953: 299)

Menentukan bahwa hukuman itu harus dikurangi dengan waktu selama terdakwa ditahan di CPM dan rumah penjara sampai hari putusan ini mendapat kekuatan. Menunjuk terhukum sebagai pihak yang harus memikul biaya perkara-perkara ini. Demikian putusan ini dinyatakan pada hari: Rabu tanggal 8 April 1953 oleh kami Letkol RST Gandasubrata, ketua pengadilan tentara di Yogyakarta dan pada hari itu juga putusan ini oleh ketua tersebut diumumkan dengan dihadiri oleh Mayor Slamet Cokroprawiro, angota-anggotanya Mayor Mr. Imam Bardjo, Jaksa tentara Kapten RP. Muhammad Mukhtar Suryaningrat, Panitera dan Terhukum tersebut (Anonim, 1953: 299) 

Pada tahap pertama ia ditahan di rumah penjara Wiraguna Yogyakarta selama tiga tahun, kemudian dipindahkan ke Cimahi. Di Cimahi ia ditahan tiga tahun dan sempat pula berontak dengan melucuti penjaga, tetapi dapat ditangkap kembali. Kemudian ia dipindahkan ke Penjara Ambarawa. Menurut Andi Azis waktu dipenjara ia didatangi oleh utusan Presiden Soekarno (sabur) untuk menghadap Presiden Soekarno untuk menjadi komandan Cakrabirawa tetapi ditolak.  Andi Azis menjalani hukuman hingga selesai di Jakarta, selama setahun sesudah dilepas ia masih diharuskan melapor kepada yang berwajib setiap hari senin. Pasukan-pasukannya setelah 

Andi Azis menyerah kemudian menyerahkan diri kepada pasukan TNI (Kapten Hertasning), selanjutnya pengamanan berjalan lancar. Andi Azis kemudian dibebaskan tahun 1958 dan menetap di Jakarta, tetapi belum pernah kembali ke Makassar hingga masa orde baru. Namun sekitar tahun 1970 ia kembali ke Makassar, terakhir mengunjungi Makassar tahun 1983. Setelah keluar dari penjara ia terjun ke dunia bisnis dan bergabung bersama Soedarpo Sastro Satono di perusahaan pelayaran Samudra hingga akhir hayatnya. Andi Azis meninggal tanggal 30 Januari 1984 di Rumah Sakit Husada Jakarta, karena sakit jantung. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga di Desa Tuwung Kabupaten Barru Sulawesi Selatan

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama