1. Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh merupakan kerajaan di kepulauan Indonesia yang besar karena
adanya arus perdagangan laut Internasional, selain menjadi pelabuhan transit
yang kemudian berkembang menjadi kota pelabuhan dan akhirnya kerajaan, Aceh
juga merupakan daerah penghasil yang mengekstrak hasil bumi dari pedalaman
Sumatera bagian utara. Aceh merupakan penghasil lada dalam jumlah yang besar,
kebesaran Aceh juga ditopang oleh armada lautnya yang kuat sehingga mampu
mendominasi selat malaka.
Aceh didirikan oleh Raja pertamanya, Yaitu Ali Mughayat Syah (1514-1530
M). Bagaimana Aceh bisa mendapatkan kesempatan menjadi kerajaan besar, semua
itu tidak terlepas dari peristiwa
penaklukan Malaka oleh
portugis 1511, yang
membuat Aceh menjadi pelabuhan alternatif
bagi para pedagang (khususnya) muslim yang enggan berbisnis di Malaka Portugis.
Raja pengganti Ali Mughayat Syah adalah Salahudin yang menduduki tahta tidak
lama dan digantikan Alaudin Riayat Syah Al-Kahar.
Kehidupan politik pada masa Kerajaan Aceh diwarnai dengan adanya
perebutan hegemoni di selat malaka antara 3 kekuatan besar, yaitu Aceh, Johor
(dinasti Malaka yang digulingkan Portugis dan membuat kerajaan baru) serta
Malaka-Portugis, sejak pertengahan abad 16 M, ketiga kekuatan tersebut
seringkali terlibat peperangan dan saling menyerbu satu sama lain. Aceh sendiri
merupakan kerajaan yang berhasil menguasai
daerah sumatera bagian utara hingga sejauh pedalaman Batak di selatan Aceh, serta juga
menguasai kota-kota pelabuhan
lain di sepanjang
pantai Utara dan Timur Sumatera (deli, Samudera, Pedir,
Pasai)
Penguasa terbesar dari
kerajaan Aceh tidak
lain adalah Sultan Iskandar
Muda, yang menaiki tahta pada tahun 1607
hingga 1636, dan berhasil membentuk Aceh menjadi kekuatan paling besar di
Kepulauan Indonesia bagian Barat. Kekuatan militernya terdiri dari kapal-kapal
perang besar yang sanggup membawa 600-800 prajurit, kemudian terdapat pula
pasukan berkuda, pasukan
penunggang gajah, artileri
dan pasukan infanteri yang
berasal dari para milisi.
Pasukan Iskandar muda mampu berkali-kali menyerang dan menghancurkan
Johor di semenanjung Malaka, meskipun gagal menyerang Malaka Portugis pada tahun 1629. Daerah-daerah lain yang dia
taklukan antara lain, Deli, Aru, Bintan Portugis, Pahang, Kedah, dan Nias.
Meskipun para penguasa-penguasa kota pelabuhan lain bergabung dalam serangan ke
aceh (Pahang, Palembang, Jambi, Indragiri, Kampar dan Siak serta Johor) namun
tidak menghentikan Sultan Iskandar Muda dalam menegakkan hegemoni Aceh di Selat
Malaka dan perairan Sumatera.
Kehidupan Politik dalam kerajaan Aceh ditunjang oleh banyaknya para
bangsawan, atau disebut Orang Kaya, yang masing-masing memiliki kekuasaan atas
sebuah wilayah/urusan tertentu. Baik atau tidaknya pemerintahan seorang Sultan
di Aceh, tergantung dari seberapa mampu Sultan tersebut mengendalikan para
orang kaya/kuat di aceh tersebut. Pada masa Iskandar Muda, dia berhasil
membentuk sebuah kelas sosial baru yang terdiri dari para “panglima perang”
(biasa disebut Hulubalang/uleebalang) dan
mereka menguasai sebuah
daerah/mukim berdasarkan garis
keturunan feodal, kelas sosial
ini mirip para bangsawan di Jawa ataupun Baron bila di Eropa. Pada masa
Iskandar Muda, seluruh kelas sosial ini dipaksa untuk mendukung cita-cita raja,
termasuk urusan misi penyerangan ke berbagai daerah yang memerlukan biaya dan
tenaga yang tidak sedikit, ketika Iskandar Muda digantikan, para hulubalang ini
tidak ingin hal tersebut terulang, maka banyak dari mereka berupaya untuk
membatasi kekuasaan para raja pengganti Iskandar Muda.
Kekuasaan Iskandar Muda digantikan oleh menantunya, yaitu Sultan Iskandar
Tsani, yang memerintah tidak lama, yaitu sekitar 5 tahun (1536-1541) setelah
wafatnya Iskandar Tsani, dia digantikan Jandanya, yaitu Ratu Tajjul Alam
(1641-1675 M) yang diangkat oleh para Uleebalang untuk mencegah tidak munculnya
lagi Raja yang kuat seperti Iskandar Muda, yang berarti membatasi kekuasaan
para Uleebalang. Selepas wafatnya
Ratu Tajul Alam,
aceh berangsur-angsur melemah,
kekuasaan Sultan kini hanya terbatas tembok Ibukota, para
Uleebalang menjadi penguasa turun temurun di tanahnya beserta para penduduknya.
Pada akhir abad ke 17 M, kekuasaan para Imam dan Ulama sangat berpengaruh di
Ibukota maupun di daerah-daerah para Uleebalang. Dimana nanti kedua kelas sosial
tersebut akan banyak terlibat pertentangan satu sama lain.
Kehidupan ekonomi masyarakat
Aceh adalah dalam
bidang pelayaran dan perdagangan. Pada
masa kejayaannya, perekonomian berkembang pesat. Penguasaan Aceh atas daerah-daerah pantai
barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada. Sementara itu, Semenanjung
Malaka banyak menghasilkan lada dan timah. Hasil bumi dan alam menjadi bahan ekspor yang penting bagi Aceh, sehingga
perekonomian Aceh maju dengan pesat.
Bidang perdagangan yang maju menjadikan Aceh makin makmur. Setelah Sultan Ibrahim dapat menaklukkan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh makin bertambah makmur. Dengan kekayaan melimpah, Aceh mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kejayaan. Dari daerah yang ditaklukkan didatangkan lada dan emas sehingga Aceh merupakan sumber komoditas lada dan emas.
Kehidupan ekonomi di kerajaan Aceh bertumpu di bidang pelayaran dan
perdagangan. Perekonomian Aceh tumbuh pesat, sebab letaknya strategis di Selat
Malaka. Selain itu, semakin meluasnya pengaruh kerajaan Aceh dan hubungan-
hubungan dengan pihak asing juga menjadi faktor perkembangan ekonomi yang
semakin maju.
Dibawah ini beberapa komoditas perdagangan Kerajaan Aceh, meliputi :
• Lada
• Emas
• Minyak Tanah
• Kapur
• Sutera
• Kapas
• Kapur barus
• Menyan
• Belerang
Selain itu, perekonomian di Ibukota kerajaan juga tumbuh pesat, dibuktikan dengan sudah adanya pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi. Di bidang pertanian, daerah Pidie adalah lumbung bagi komoditas padi. Namun komoditas utama atau bisa dikatakan unggulan di kesultanan Aceh yang diekspor ke luar adalah lada.
Dengan kemakmuran dan kemajuan dibidang perekonomian, kesultanan Aceh
kemudian tumbuh menjadi kerajaan Islam besar yang diperkuat oleh armada
bersenjata yang besar dan kuat, terutama armada lautnya.
b. Kehidupan budaya di Kerajaan
Aceh
Selain di bidang perekonomian, pengaruh letak yang strategis membuat
kehidupan sosial budaya di kerajaan Aceh tumbuh pesat. Hal ini disebabkan
karena interaksi
dengan orang-orang luar seperti pedagang-pedagang dari Timur Tengah dan Eropa.
Kehidupan sosial budaya dapat dilihat landasan hukum yang berlaku yang
didasari dari ajaran Islam. Hukum adat ini disebut hukum adat Makuta Alam.
Berdasarkan hukum ini, pengangkatan seorang sultan diatur dengan sedemikian
rupa dengan melibatkan ulama dan perdana menteri.
Sisa-sisa arsitektur bangunan peninggalan kesultanan Aceh keberadaannya tidak terlalu banyak, disebabkan karena sudah terbakar pada masa perang Aceh. Beberapa bangunan yang masih tersisa contohnya seperti Istana Dalam Darud Donya yang sekarang menjadi Pendopo Gubernur Aceh.
Selain istana, beberapa peninggalan yang masih dapat kita lihat sampai sekarang seperti Masjid Tua Indrapuri, Benteng Indra Patra, Gunongan, Pinto Khop, dan kompleks pemakaman keluarga kesultanan Aceh.
2. Kerajaan Demak
a) Kehidupan politik pada masa
Kerajaan Demak
ingatkah kamu dengan kerajaan
Majapahit ? kerajaan yang
bercorak Hindu dan berpusat di
sekitar wilayah Mojokerto saat ini, pada satu waktu tepatnya abad ke 15
M, Kerajaan Majapahit telah mencapai titik terendah kerajaannya,
kekuasaanya tergerus oleh adanya perang saudara diantara mereka sendiri, salah
satu kejadian
pamungkas yang mengakhiri
kerajaan Majapahit antara
lain adalah pada
tahun
1486, serangan dari Girindrawardhana yang berasal dari daerah Kediri dan
mengakibatkan kekuasaan Kerajaan Majapahit hilang beserta raja terakhirnya,
yaitu
Brawijaya V.
Namun ternyata, terdapat salah satu keturunan Brawijaya V, yang telah
menguasai wilayah Demak (sekitar Jepara saat ini) dan telah memeluk Islam,
karena Ibunya merupakan Putri Cina. Pada saat itu, Abad ke 15 M, kota-kota
pelabuhan di pantai utara Jawa telah tumbuh menjadi pusat akfititas perdagangan
Internasional yang ramai, keturunan Brawijaya V ini, yang dikenal dengan nama
Raden Patah lantas didaulat sebagai Raja Demak pertama, dan dianggap sebagai
penerus utama dari Kerajaan Majapahit.
Demak, lantas melakukan serangkaian penaklukan ke wilayah timur, Tuban
ditaklukan (1527), Kediri, sebagai kekuasaan Hindu dinasti Girindrawardhana,
juga ditaklukan Demak pada 1527 dan semakin memperkuat legitimasi Demak adalah
penerus Majapahit karena
seluruh pusaka kerajaan
Majapahit yang sempat dirampas ke Kediri oleh
Girindrawardhana, kini diboyong ke Istana Demak. Setelah itu Madiun dikuasai
(1529), Surabaya (1530) telah mengakui kekuasaan Demak, Pasuruan, Gunung
Penanggungan (tempat suci Umat Hindu di Jawa), Malang juga akhirnya dikuasai
pada pertengahan abad 16 M.
Selain melalukan serangkaian penaklukan ke Timur, Demak juga terlibat
dalam perebutan hegemoni di kawasan Selat Malaka, hal tersebut terlihat dari
beberapa kali serangan Demak ke Malaka Portugis pada kurun waktu 1513 – 1515.
Dipimpin oleh Pangeran Pati Unus yang belakangan mendapat gelar Pangeran
Sabrang Lor.
Selain ke Malaka, Perluasan pengaruh yang dilakukan Demak juga menjangkau
ke
Wilayah Jawa Bagian Barat.
Sejak awal abad 15 M, Banten telah berkembang menjadi pelabuhan penghasil
Lada yang besar, sejak dikuasainya Malaka oleh Portugis, seperti Aceh, Banten
mendapat keuntungan dari tersebarnya para pedagang yang mencari pelabuhan
alternatif selepas Malaka dikuasai Portugis, namun Banten secara umum masih
merupakan Vassal (kekuasaan bawahan)
dari kerajaan Pajajaran,
kemunduran Pajajaran di Abad 15 M membuat penguasa Banten berpikir
untuk tetap setia kepada Pajajaran. Sementara itu, Banten pun pada awalnya
enggan untuk masuk kedalam lingkaran islamisasi dan merasa terancam oleh Demak,
untuk itu Banten pun mengikat sebuah aliansi dengan Portugis di Sunda Kelapa,
dengan perjanjian pada tahun 1522, yaitu perjanjian agar Portugis membangun
sebuah pos dagang di Timur Banten (wilayah sekitar Sunda Kelapa) untuk menahan
laju kaum muslim dari Timur (Demak dan Cirebon), namun belum sampai perjanjian
itu dilaksanakan, Demak (dibawah pimpinan
Fatahillah) telah berhasil menguasai Banten
dan seluruh pantai Utara Jawa bagian tengah hingga Barat pada
tahun 1527, kini tahun tersebut dianggap sebagai tahun lahirnya kota DKI
Jakarta.
No. |
Nama |
Tahun Berkuasa |
1. |
Raden Patah |
1478 (?)-1504 |
2. |
Trenggono
(S. Trenggono) ? |
1505-1518 |
3. |
Pati Unus |
1518-1521 |
4. |
Trenggono, Sultan |
1521-1546 |
5. |
Sunan Prawata |
1546-1561 ? |
Tabel 2.Daftar nama nama Raja Demak
b) Kehidupan ekonomi pada masa
Kerajaan Demak
Perekonomian Demak berkembang ke arah perdagangan maritim dan agraria.
Ambisi Kerajaan Demak
menjadi negara maritim
diwujudkan dengan upayanya
merebut Malaka dari
tangan Portugis. Perdagangan
antara Demak dengan
pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara cukup ramai, Demak berfungsi
sebagai pelabuhan transito (penghubung) daerah penghasil rempah-rempah di
kawasan Timur Indonesia dan memiliki sumber penghasilan pertanian yang cukup
besar,
seperti Beras dan bahan pangan lainnya. Selain beras komoditas lain yang
diekspor, antara lain madu, dan lilin. Barang tersebut diekspor ke Malaka
melalui Pelabuhan Jepara. Dengan demikian, kehidupan ekonomi masyarakat
berkembang lebih baik.
Sebagai negara maritim, Demak menjalankan fungsinya sebagai penghubung
atau transito antara daerah penghasil rempah-rempah di bagian timur dengan
Malaka, dan dari Malaka kemudian dibawa para pedagang menuju kawasan Barat,
hingga sejauh ke Eropa. Berkembangnya perekonomian Demak di samping faktor
dunia kemaritiman, juga faktor perdagangan hasil-hasil pertanian seperti yang
dijelaskan di atas.
Dengan semakin stabilnya kehidupan politik Kerajaan Demak, maka keadaan
ini sangat berpengaruh pada kehidupan ekonomi Kerajaan Demak. Dengan daerah
sumber pertanian yang luas, Kerajaan Demak memiliki peran penting dalam
perkembangan ekonomi global
c) Kehidupan Sosial dan Budaya
pada masa Kerajaan Demak
Bagaimana kehidupan sosial masyarakat Demak, sayangnya sumber-sumber
tertulis yang ada mengenai kerajaan Demak tidak banyak membicarakan kehidupan
masyarakat umum di kerajaan Demak, sehingga mungkin membuat kalangan
sejarawan kesulitan merekonstruksi bagaimana
lapisan-lapisan sosial di masyarakat Demak.
Mengenai kehidupan Budaya masyarakat Demak, kembali karena terbatasnya
bukti, maka sejarawan kesulitan merekonstruksi kehidupan kebudayaan masyarakat
Demak (atau bahkan Jawa) sebelum abad XVIII, meskipun demikian masih terdapat
gambaran mengenai kehidupan kebudayaan masyarakat Demak yang berasal dari
Istana (kalangan Bangsawan)
karena kebanyakan bukti
yang ditemukan berasal dari Istana.
Kemunculan Demak, seperti kerajaan-kerajaan Islam lainnya, bukan saja
menciptakan dinasti-dinasti baru, tetapi juga meninggalkan warisan budaya yang
beraneka ragam, sebagian bernafaskan Islam tetapi sebagian besarnya, khususnya
di Jawa, mempunyai hubungan yang erat dengan ajaran-ajaran kebudayaan pada masa
Pra-Islam.
Kebudayaan Wayang merupakan salah satu yang tetap dilestarikan pada masa
Kerajaan Demak dan hingga kerajaan-kerajaan setelah Demak, memang wayang
merupakan salah satu sarana penting dalam memelihara dan mempertahankan
peninggalan Hindu dan Buddha di kalangan masyarakat Jawa yang sudah menganut
Islam, wayang ini pula seringkali dijadikan media bagi para Wali Songo untuk
menyiarkan Islam di kalangan Masyarakat, dan media wayang yang digunakan
utamanya adalah Wayang Kulit, dengan memainkan lakon yang berasal dari karya-
karya Hindu dari India (yang telah disadur ke bahasa Jawa) seperti Ramayana dan
Bharatayuddha namun seringkali ada yang diselipkan tentang ajaran-ajaran Islam.
Salah satu warisan kebudayaan yang diperlihatkan hingga hari ini terdapat
ada di sebuah kota bernama kudus, berasal dari nama arab, Al-Quds, menjadi salah
satu kota suci di Jawa, cerita di Kudus erat kaitannya dengan salah satu Wali
Songo yang bernama Sunan Kudus, yang juga merupakan Imam kelima di Kerajaan
Demak. Munculnya Kudus sebagai salah satu warisan kerajaan Demak dapat terlihat
dari Masjid Kudus yang mempertahankan arsitektur Hindu, pintu-pintu Jawa Kuno
yang berdaun dua atau biasa disebut Candi Bentar, serta adanya menara berbentuk
arsitektur Hindu serta hiasan di Mihrab Imam bertarikh 1549 M.
Selain di Mesjid Kudus, kehidupan kebudayaan masyarakat Demak tidak dapat
dikatakan terang benderang, namun hal yang pasti adalah, adanya kesinambungan
naskah-naskah yang ditulis menggunakan bahasa Jawa Kuno dan merupakan karya-
karya sastra yang berasal dari Abad 17 atau sesudahnya berarti menggambarkan
bahwa kebudayaan Jawa Kuno dari masa Pra-Islam tidak punah dan kemudian
berakulturasi dengan kebudayaan Islam seperti cerita Menak Amir Hamzah, Yusup,
Ahmad Hanapi, ataupun cerita roman Panji dan Damar Wulan, atau bahkan karya
sastra yang lebih
serius seperti Babad
Tanah Jawi ,
semua itu memang
ditulis setelah kerajaan Demak tidak ada, namun dapat dipastikan bahwa
adanya Kerajaan Demak turut andil dalam meneruskan berbagai kebudayaan
Pra-Islam hingga nanti diteruskan oleh banyaknya karya-karya yang ditulis oleh
kerajaan-kerajaan penerus Demak.
3. Kerajaan Gowa
Setelah membaca bagaimana kerajaan-kerajaan di Indonesia Bagian Barat,
mari kita simak salah satu kerajaan Maritim bercorak Islam yang ada di sebelah
timur, apakah kalian mengenal kota
Makassar hari ini,
bagaimanakah sejarah kota
Makassar yang kalian ketahui ??
semua itu punya kaitan dengan materi yang akan kita bahas, yaitu adalah
Kerajaan Gowa, atau sering juga disebut kerajaan Gowa-Tallo. Terdapat 2 suku
bangsa serumpun di Sulawesi bagian Selatan, yang satu adalah suku bangsa
Makassar dan yang satu adalah suku bangsa Bugis, kedua suku bangsa ini dikenal
sebagai pelaut- pelaut tangguh dan prajurit-prajurit yang tidak kenal takut,
riwayat mereka di dalam lembaran sejarah Indonesia seringkali terlibat dalam
pertempuran, kepahlawanan, patriotisme dan keberanian.
Pada awalnya Kerajaan Gowa sebenarnya merupakan sebuah aliansi dimana,
Raja-raja berasal dari garis keturunan Gowa, sedangkan perdana menteri berasal
dari garis keturunan Tallo, aliansi ini dimulai sejak pertengahan abad XVI. Salah satu perdana menteri dari Tallo yang terkenal adalah Karaeng
Patingalloang (1639-1654 M) yang bahkan
dikatakan memiliki perpustakaan yang berisi karya-karya berbahasa Portugis
dan Spanyol, dan
fasih berbicara dalam
kedua bahasa tersebut,
menguasai teologi katolik serta
fasih pula berbahasa
latin, hal tersebut
menggambarkan betapa
interaktifnya kota Makasar sebagai pusat kerajaan Gowa-Tallo antara para
penduduk lokal dengan para pedagang asing dari berbagai bangsa di Eropa.
Pada pertengahan abad ke XVII, kekuatan VOC sudah mulai berkuasa di
kepulauan Maluku, dan VOC menganggap Makassar (kerajaan Gowa-Tallo) merupakan
ancaman terhadap monopoli perdagangan yang dilakukan VOC di Maluku, Makassar
seakan menjadi pelabuhan alternatif dan berkumpulnya pedagang eropa selain
Belanda dan terus mempraktekkan apa
yang disebut VOC
sebagai “Perdagangan liar”
yang sebenarnya adalah bentuk perlawanan dari monopoli dari VOC.
Raja Gowa-Tallo berhasil mendominasi wilayah Sulawesi Selatan dan turut
bertanggung jawab atas serangkaian penaklukan yang dilakukan terhadap
kerajaan-kerajaan yang berasal dari suku bangsa yang lain, yaitu Bugis.
Kerajaan seperti Bone, Luwu, Sidenreng. Penguasaan Gowa-Tallo sebenarnya masih
memberikan otonomi yang
luas terhadap kerajaan-kerajaan
bawahannya, namun bagi banyak suku bangsa Bugis, penguasaan Gowa-Tallo terhadap
kerajaan suku Bugis ternyata tidak diterima oleh semua pihak.
Pemberontakan dari pihak Kerajaan Bone pernah dilakukan terhadap
Gowa-Tallo pada tahun 1660, salah satu tokoh bernama Arung Pallaka ikut
pemberontakan tersebut dan berhasil ditumpas oleh Gowa-Tallo, Arung palaka dan
beberapa pendamping nya lalu meminta perlindungan VOC dan bersedia menjadi
serdadu VOC, pertikaian antara Gowa- Tallo dan Bugis segera dimanfaatkan oleh
VOC untuk melakukan penaklukan terhadap kekuasaan Gowa-Tallo di Sulawesi
Selatan, setelah VOC yakin bahwa aliansi VOC dengan Arung Pallaka akan menjadi
senjata pamungkas dalam menghadapi Gowa-Tallo.
Tokoh dari Gowa-Tallo yang cakap dan menjadi sultan pada peristiwa
Gowa-Tallo Vs VOC & Bone ini adalah Sultan Hassanudin, yang merupakan salah
satu dari raja yang kuat dan terkenal di Gowa-Tallo. Namun berkat kelicikan VOC
yang memanfaatkan Bone sebagai senjata, Sultan Hassanudin harus dipaksa
menandatangani perjanjian Bungaya
16 November 1667 setelah menerima serbuan dari VOC dan sekutu Bugisnya.
Arung Palaka benar-benar bermanfaat untuk memimpin serbuan terhadap Gowa-Tallo
melalui jalur darat sedangkan VOC menggempur dari lautan.
Kehidupan Politik pada masa Kerajaan Gowa-Tallo didominasi oleh berbagai
kepemimpinan dari seorang Perdana Menteri yang memerintah, selain itu terdapat
pula dewan adat yang berfungsi memberi nasehat dan arahan bagi Raja dan Perdana
Menteri. Secara umum pemerintahan Gowa-Tallo terhadap kerajaan-kerajaan
bawahannya bukan merupakan penjajahan yang kaku, namun lebih kepada pengakuan
supremasi dan superioritas Gowa-Tallo terhadap kerajaan lain, hal itu
dibuktikan dengan adanya otonomi yang cukup besar yang diberikan para penguasa
Gowa-Tallo terhadap kerajaan- kerajaan bawahanya tersebut.
a) Kehidupan Ekonomi Pada Masa
Kerajaan Gowa-Tallo
Pelabuhan Makassar sebagai pusat kekuasaan Gowa-Tallo merupakan pelabuhan
ramai yang dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai bangsa, Wilayah maritim
yang notabene adalah wilayah pantai dan lautan dimanfaatkan oleh
masyarakat di
kerajaan-kerajaan untuk melakukan
perdagangan secara global. Perkembangan peradaban masyarakat
Indonesia bertalian erat hubungannya dengan pesisir pantai dan lautan sebagai
zona maritim. Kita akan melihat peradaban yang dibangun melalui jalur
perdagangan. Hal ini dapat terjadi demikian karena masyarakat lepas pantai
umumnya bukan hanya memanfaatkan lautan untuk memenuhi kebutuhan pangan lautan
dengan berprofesi sebagai nelayan, akan tetapi lebih dari itu pesisir pantai
dan lautan dijadikan bandar perdagangan.
Dalam proses perdagangan yang dilakukan secara internasional, selain
sarana pertukaran barang terjadi pula interaksi budaya yang mengakibatkan
infiltrasi budaya luar ke masyarakat lokal. Hal inilah yang menjadikan
masyarakat di daerah
pesisir mengalami peradaban
yang lebih maju
ketimbang wilayah pedalaman karena menerima kemajuan peradaban
lain yang disebabkan interksi dengan pedagang-pedagan negara-negara lain yang
singgah di pantai-pantai tersebut.
Begitu pula di kerajaan Gowa-Tallo yang merupakan pelabuhan utama yang
menjadi tempat singgah dari berbagai bangsa di Eropa, India, China dan
orang-orang Arab, Bangsa Inggris, Portugis, Denmark dan berbagai bangsa Eropa
selain Belanda menjadikan
Pelabuhan Makassar sebagai
pelabuhan utama mereka
dalam berdagang di kawasan kepulauan Indonesia bagian Timur, selain itu,
faktor kehilangan Malaka bagi Portugis (setelah direbut VOC tahun 1641)
menjadikan Makassar sebagai pusat pos dagang mereka sebelum kemudian mereka
menyambangi kawasan-kawasan di Timor.
b) Kehidupan Sosial Kerajaan
Gowa
Sebagai negara Maritim, sebagian besar masyarakat Makasar yaitu nelayan
dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya,
bahkan
tak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.
Walaupun masyarakat Makasar mempunyai kebebasan berusaha dalam mencapai
kesejahteraan hidupnya, tetapi kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma
adat yang dianggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur
berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat
Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut. Selain norma, masyarakat
Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri lapisan atas yang berarti
golongan bangsawan dan keluarganya disebut “Anakarung/Karaeng”, sedangkan
rakyat kebanyakan disebut
“to Maradeka” dan
masyarakat bawah yaitu
para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Fakta Mencengangkan :
Pasukan VOC yang menyerang Gowa-Tallo beserta Arung Pallaka dan pasukan Bugisnya dimpimpin oleh Cornelis Speelman yang kelak menjadi
Posting Komentar