Pada masa akhir Zaman Prasejarah, khususnya pada Masa Perundagian, sebagian masyarakat prasejarah di Indonesia telah memiliki kemampuan tinggi dalam pencapaian budaya. Seperti dikemukakan seorang ahli arkeologi bangsa Belanda, J.L.A. Brandes (1889) bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sebelum dipengaruhi kebudayaan India telah memiliki 10 butir kemampuan budaya. Kesepuluh butir kemampuan budaya itu adalah: (1) wayang, (2) gamelan, (3) metrum, (4) seni batik, (5) mengolah logam, (6) sistem mata uang, (7) pelayaran, (8) perbintangan, (9) penanaman padi dengan pengairan, dan (10) sistem organisasi pemerintahan.
Dengan kemampuan budaya (local genius) seperti itu mereka dapat memanfaatkan masuknya unsur-unsur kebudayaan India yang datang sejak awal tarikh Masehi. Di lingkungan masyarakat pada masa akhir prasejarah, sedikitnya terdapat dua jenis kepemimpinan yang mempunyai peranan penting dalam penataan kehidupan masyarakat, yaitu kepemimpinan yang berkaitan dengan religi, dan kepemimpinan sekuler yang berkaitan dengan masalah kekuasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya kedua tokoh ini agaknya yang berperan dalam pengambilan nilai-nilai budaya luar melalui proses akulturasi, khususnya konsep kepemimpinan kekuasaan dan religi yang baru untuk diterapkan pada status dan peranan lama dalam kehidupan baru mereka.
Sistem kemasyarakatan dari India telah menumbuhkan suatu bentuk kelembagaan yang baru, yaitu bentuk institusi kekuasaan atau pemerintahan berupa kerajaan dengan sistem birokrasinya. Berdasarkan bukti-bukti arkeologi dan sejarah yang ada, bentuk kerajaan ini mempunyai landasan yang bersifat keagamaan yang bercorak Hindu dan Budha. Kerajaan-kerajaan ini telah muncul sejak awal abad ke-5 hingga menjelang akhir abad ke-16.
Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha itulah dilakukan pembangunan candi-candi dan pembuatan arca-arca kedewataan sebagai sarana peribadatan. Pada masa itu pula kita mulai dikenal tradisi bertulis yang menandai dimulainya “Zaman Sejarah”. Tradisi bertulis dari Masa Hindu-Buddha ini mewariskan tinggalan budaya berupa prasasti dan naskah-naskah kuna.
1. Kerajaan Kutai
Di daerah Kutai, Kalimantan Timur ditemukan tujuh prasasti yang dipahatkan pada tugu atau tiang batu yang disebut yupa. Prasasti ini dituliskan dengan aksara Palawa dan berbahasa Sanskerta. Berdasarkan bentuk aksaranya, prasasti ini berasal dari awal abad ke-5, yaitu sekitar tahun 425 Masehi.
Secara keseluruhan isi prasasti tersebut menyebutkan seorang raja bernama Mulawarman, anak Aswawarman dan cucu Sri Maharaja Kundungga, yang memerintahkan penyelenggaraan upacara keagamaan bercorak Hindu. Pada upacara tersebut raja telah memberikan sedekah untuk para Brahmana.
Gambar Prasasti Yupa
Sampai kapan kerajaan Hindu di daerah Kutai ini berkembang tidak dapat kita ketahui dengan pasti karena ketiadaan sumber-sumbernya. Namun demikian dari masa-masa yang lebih muda, kita mendapatkan tinggalan-tinggalan arkeologi berupa arca-arca Hindu di gua Gunung Kombeng yang diperkirakan berasal dari abad ke-9/ke-9, dan arca Budha perunggu yang memperlihatkan gaya seni Gandhara di Kotabangun, Kalimantan Timur.
Dalam kehidupan politik seperti yang dijelaskan dalam prasasti Yupa bahwa raja terbesar Kutai adalah Mulawarman, ia putra Aswawarman dan Aswawarman adalah putra Kudungga.Dalam prasasti Yupa juga dijelaskan bahwa Aswawarman disebut sebagai dewa Ansuman/dewaMatahari dan dipandang sebagai Wangsakerta atau pendiri keluarga raja.Hal ini berarti Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang sebagai pendiri keluargaatau dinasti dalam Agama Hindu. Untuk itu para ahli berpendapat Kudungga masih nama Indonesiaasli dan masih sebagai kepala suku, ia yang menurunkan raja-raja Kutai.Dari penjelasan uraian materi tersebut di atas, apakah Anda sudah memahami? Kalau Anda sudah paham, simak uraian berikutnya :Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis/ erat antara Raja Mulawarman dengan kaum Brahmana, seperti yang dijelaskan dalam prasasti Yupa, bahwa raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana di dalam tanah yang suci bernamaWaprakeswara. Dengan adanya istilah Waprakeswara, tentu timbul pertanyaan dalam diri Anda,apa yang dimaksud dengan Waprakeswara? Waprakeswara adalah tempat suci untuk memuja dewa Syiwa. Di pulau Jawa disebut Baprakewara.
2. Kehidupan Ekonomi
Dalam kehidupan ekonomi, tidak diketahui secara pasti, kecuali disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman telah mengadakan upacara korban emas dan tidak menghadiahkan sebanyak 20.000 ekor sapi untuk golongan Brahmana.Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh, apabila emas dan sapi tersebut di datangkan dari tempat lain, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah melakukan kegiatandagang.
3. Aspek Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah maju. Hal ini dibuktikan melaluiupacara penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu) atau disebut upacara Vratyastoma.UpacaraVratyastoma dilaksanakan sejak pemerintahan Aswawarman karena Kudungga masihmempertahankan ciri-ciri keIndonesiaannya sedangkan yang memimpin upacara tersebut, menurut para ahli dipastikan adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarmankemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dariorang Indonesia asli. Dengan adanya kaum Brahmana asli orang Indonesia membuktikan bahwakemampuan intelektualnya tinggi, terutama dalam hal penguasaan terhadap bahasa Sansekerta padadasarnya bukanlah bahasa rakyat India sehari-hari, melainkan lebih merupakan bahasa resmi kaumBrahmana untuk masalah keagamaan
4. Aspek Kehidupan Sosial
Golongan sosial muncul akibatpengaruh kebudayaan India di Kutai adalah kelompok kesatria. Di Kutai, kelompok kesatria adalah kerabat Mulawarman atau orang-orang yang mempunyai hubungan famili dengan raja. Masyarakat diluar kelompok brahmana dan kesatria di kutai masih hidup dalam suasana tradisi asli nenek moyang maysarakat Kutai.
2. Kerajaan Traumanegara
Kerajaan Tarumanegera di Jawa Barat hampir bersamaan waktunya dengan Kerajaan Kutai. Kerajaan Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382 – 395). Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanegara yang ketiga (395 – 434 M). Menurut Prasasti Tugu pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km).
Dari kerajaan Tarumanegara ditemukan sebanyak 7 buah prasasti. Lima diantaranya ditemukan di daerah Bogor. Satu ditemukan di desa Tugu, Bekasi dan satu lagi ditemukan di desa Lebak, Banten Selatan. Prasasti-prasasti yang merupakan sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara tersebut adalah sebagai berikut
1. Prasasti Kebon Kopi,
2. Prasasti Tugu,
3. Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiang,
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Bogor.
Gambar: Prasasti Tugu
1. Aspek kehidupan Politik
Dalam kehidupan politik, kerajaan Traumanegara diperkirakan muncul abad ke- 5 berdasarkan bahasa sansakerta dan huruf pallawa yang dipergunakan oleh prasasti-prasasti di kerajaan Traumanegara. Raja yang berkuasa adalah Purnawarman dengan wilayah kekuasaan hampir seluruh jawa barat dan dengan pusat kekuasaannya di daerah Bogor. Pada masa pemerintahan Purnawarman yang cakap dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, aman dan tentram. Pengaruh agama hindu dan adanya sumber sejarah Cina membuktikan bahwa kerajaan Traumanegara telah mengadakan hubungan dengan luar negeri. Kehidupan masyarakat Traumanegara maju dibidang ilmu pengetahuan dan perdadangan
2. Aspek kehidupan budaya
Hasil peninggalan kebudayaan dari kerajaan Traumanegara berupa arca dan prasasti . misalnya, peninggalan prasasti ciaruteun, prasasti kebun kopi, prasasti tugu, prasasti jambu, prasasti pasir awi, prasassti muara cianten, prasasti lebak muncul
3. Aspek Kehidupan sosial
Dengan adanya kehidupan ekonomi yang kompleks, maka kehidupan sosial masyrakatnya cukup baik, sehingga masing-masing golongan masyarakat yang pada masa itu dapat saling bekerja sama dan tercipta jalinan kehidupan yang baik. Diperkirakan kehidupan sosial masyarakat Traumanegara bertumpu pada kegiatan pertanian. Aspek gotong royong menjadi pola hidup mereka. Pembuatan saluran air gomati merupakan salah satu contoh kehidupan gotong royong yang mereka lakukan. Pemberian 1000 ekor hewan sapi dari raja Purnawarman kepada para brahmana menunjukkan bahwa peternakan merupakan salah satu mata pencaharian penduduk kerajaan Traumanegara.
4. Aspek kehidupan Ekonomi
Pada masa kekuasaan rajaPurnawarman,rakyat hidup aman dan makmur dengan mata pencaharian penduduk di bidang pertanian, pelayaran, perdagangan, dan perikanan. Hal ini dapat dibuktikan melalui berita-bertita tentang barang-barang perdagangan dari kerajaan Traumanegara. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain cula badak, kullit penyu. Barang tersebut diperoleh dari perburuan. Untuk meningkatkan pertanian , raja Puranawarman memerintahkan penggalian saluran air Gormati sepanjang 11 km untuk mengairi sawah dan pencegahan banjir.
3. Kerajaan Kalingga
Sumber sejarah cina berupa berita dinasti Tang menyebut kerajaan Kalingga dengan nama Holing yang berkembang pada abad ke-7 sampai ke-9. Letak kerajaan Kalingga diperkirakan berada di gunung muria, jawa tengah, meskipun belum dapat dipastikan secara jelas. Raja yang menonjol pada kerajaan Kalingga adalag Ratu Sima yang memerintah pada tahun 674 M. Ia dikenal sebagai pemimpin yang menerapkan hukum dengan tegas sehingga kondisi kerajaan Kalingga aman dan sejahtera. Agama yang dianut di kerajaan Kalingga adalah agama Budha. Salah satu pendeta budha yang pernah tinggal sekama tiga tahun di kerajaan Kalingga adalah Hui Ning selama berada di kerajaan Kalingga, ia menerjemahkan kitab agama budha nahayana ke dalam bahasa cina dibantu pendeta kerajaan Kalingga yang bernama Jnanabadhra. Mata pencaharian sebagian besar pendudukkerajaan Kalingga adalah bertani karena wikayah kerajaan Kalingga sangat subur. Selain itu kerajaan Kalingga juga melakukan perdagangan dengan luar seperti India dan Cina.
4. Kerajaan Sriwijaya
Sejumlah prasasti yang ditemukan di daerah Palembang, Karangbrahi (Jambi), Kotakapur (Bangka), dan Lampung yang berasal dari masa sekitar pertengahan abad ke-7, memberitakan kehadiran sebuah kerajaan bernama Sriwijaya. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan aksara Palawa dan berbahasa Malayu Kuna. Salah satu prasasti tersebut yang ditemukan di Kedukanbukit, Palembang, menyebutkan tentang perjalanan untuk mencapai kemenangan (mangalap siddhayatra) yang dilakukan oleh Dapunta Hyang dengan berperahu pada tanggal 11 paro-terang (suklapaksa) bulan Waisaka, tahun 604 Saka (= 23 April 682). Pada tanggal 7 paro-terang bulan Jyestha (= 19 Mei 682) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa dua laksa dan 200 peti perbekalan dengan perahu, dan 1312 tentara berjalan darat, datang di suatu tempat bernama Mukha-Upang. Pada tanggal 5 paro-terang bulan Asadha (= 16 Juni 682) sampailah di suatu tempat membuat kota (wanua). Kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan dan perjalanannya berhasil.
Berdasarkan isinya prasasti Kedukanbukit memperingati usaha penaklukan daerah sekitar Palembang dan pendirian sebuah ibukota baru Sriwijaya oleh Dapunta Hyang. Prasasti-prasasti Sriwijaya yang lain umumnya merupakan prasasti permakluman tentang kemenangan Sriwijaya atas daerah-daerah di bagian selatan Sumatra yang ditaklukkannya. Hampir semua prasasti tersebut diahiri dengan kutukan-kutukan dan persumpahan bagi siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah raja. Mengenai tempat asal Sriwijaya terdapat beberapa penafsiran yang dikemukakan oleh para ahli. Sebagian di antaranya berpendapat bahwa kerajaan Sriwijaya berasal dari Minanga di daerah Minangkabau, yaitu di dekat daerah pertemuan antara sungai Kampar Kiri dan sungai Kampar Kanan. Dari tempat asalnya itu kemudian Sriwijaya mengadakan penaklukan ke daerah selatan dan akhirnya mendirikan ibukota baru di daerah Palembang.
Prasasti Sriwijaya yang berupa fragmen dan prasasti-prasasti pendek, umumnya berisi keterangan tentang perjalanan kemenangan (jaya siddhayatra) dan peperangan serta keterangan mengenai ajaran agama Buddha Mahayana dan beberapa sekte agama Buddha. Sebuah fragmen prasasti yang berasal dari Telagabatu, dekat Palembang menyebutkan pula pendirian sebuah wihara.
Beralihnya pusat kekuasaan Sriwijaya ke daerah pantai timur Sumatra bagian selatan itu agaknya berkaitan dengan penguasaan daerah perdagangan dan jalur pelayaran melalui Selat Malaka dan Selat Bangka. Prasasti Ligor, Malaysia, yang berangka tahun 775 menyebutkan seorang raja Sriwijaya bernama Wisnu, dan pendirian sebuah bangunan suci untuk pemujaan Padmapatni, Sakyamuni dan Wajrapani. Di Nalanda ditemukan pula sebuah prasasti dari pertengahan abad ke-9 yang isinya menyebutkan tentang pendirian sebuah wihara oleh Balaputradewa raja dari Suwarnabhumi (Sriwijaya). Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Dewapaladewa.
Berita-berita Tionghoa dari abad ke-11 masih menunjukkan peranan kerajaan Sriwijaya sebagai pusat penyiaran agama Buddha. Raja Sriwijaya pada waktu itu ialah Sri Culamaniwarman, mengadakan persahabatan dengan kerajaan Cola. Dalam prasasti Leiden dari tahun 1005/1006 disebutkan raja Culamaniwarman dari Sriwijaya mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha di Nagapattinam dengan bantuan raja Cola, Rajaraja I. Bangunan ini dinamakan Culamaniwarmawihara. Hubungan dengan Cola ini kemudian terputus karena pada tahun 1017 Rajendracoladewa mengadakan penyerangan ke Sriwijaya. Penyerangan dari Cola ke Sriwijaya ini terjadi lagi pada tahun 1025 seperti disebutkan dalam prasasti Tanjore dari Rajendracola tahun 1030. Dalam penyerangan kedua ini raja Sriwijaya Sri Sanggramawijayottunggawarman ditawan oleh bala tentara Cola.
Dalam sejarah Dinasti Sung disebutkan bahwa pada tahun 1028 datang utusan dari Sriwijaya. Utusan dari Sriwijaya yang tercatat dalam sejarah dinasti Sung yang terakhir ialah pada tahun 1178. Untuk beberapa lamanya tidak ada catatan tentang utusan Sriwijaya dalam kitab-kitab sejarah Tiongkok. Sekitar permulaan abad ke-13 Sriwijaya (San-fo-tsi) muncul kembali sebagai kerajaan yang kuat dan berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelayaran. Namun berita Tionghoa dari jaman dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1376 kerajaan San-bo-tsai (San-fo-tsi) ditaklukkan oleh kerajaan Jawa dan akhirnya runtuh. Dengan keruntuhannya ini daerah-daerah yang tadinya berada dalam kekuasaan Sriwijaya melepaskan diri.
5. Kerajaan Mataram Kuno
5.1 Kerajaan Mataram di Jawa Tengah: Dinasti Sailendra (Śailendrawangśa)
Sejak pertengahan abad ke-7 di Jawa Tengah telah muncul sebuah kerajaan yang berlatarkan keagamaan Hindu dan Buddha. Kerajaan ini diperintah oleh raja-raja dari dinasti Sailendra (Śailendrawangśa). Di dalam prasasti Sojomerto dari daerah Batang, Pekalongan, yang berasal dari pertengahan abad ke-7 disebutkan seorang tokoh bernama Dapunta Selendra yang menganut agama Siwa.Tokoh ini dianaggap sebagai cikal-bakal pendiri dinasti (wangśakara) Sailendra.
Dari sumber-sumber prasasti diketahui bahwa kerajaan dinasti Sailendra itu bernama Mataram dan ibukotanya disebut Medang, sedangkan sumber-sumber Tionghoa darizaman dinasti T’ang (618-906) menyebutnya Ho-ling yang berlangsung sampai tahun 818, dan kemudian menyebutnya dengan nama She-p’o sampai tahun 856. Menurut berita Tionghoa tersebut pada tahun 674 rakyat kerajaan tersebut menobatkan seorang wanita bernama Simo (Hsi-imo) menjadi raja.
Pada masa pemerintahan Simo di Holing telah ada seorang pendeta Buddha yang terkenal bernama Jnanabhadra yang membantu pendeta Tionghoa bernama Hwi-ning menerjemahkakitab suci agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa. Siapa yang menggantika ratu Simo tidak diketahui dengan pasti. Namun berdasarkan keterangan yang terdapat dalam prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun 732, menyebutkan raja Sanna yang kemudian digantikan oleh saudara perempuannya yang bernama Sannaha. Pengganti Sannaha ialah anaknya yang bernama Sanjaya.
Sanjaya memerintah sejak tahun 717. Di dalam prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh raja Dyah Balitung pada tahun 907 Sanjaya disebutkan ralam urutan pertama raja-raja Mataram dengan nama Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Pada tahun 732 ia mendirikan sebuah bangunan untuk pemujaan lingga di Gunung Wukir. Selanjutnya Sanjaya digantikan oleh anaknya, Rakai Panangkaran Dyah Sangkhara, pada tahun 746. Raja ini semula menganut agama Hindu (Siwa) tetapi kemudian beralih menjadi penganut agama Buddha. Dialah yang mendirikan bangunan suci agama Buddha untuk pemujaan Dewi Tara (Tarābhāvanam) di Klasan pada tahun 778, candi Sewu (Mañjuśrigṛha) pada tahun 782, dan candi Plaosan Lor yang melambangkan kesatuan kerajaan Mataram. Ia pun membangun pula sebuah wihara di Bukit Ratu Baka yang diberi nama Abhayagiriwihara yang diresmikan pada tahun 792. Rakai Pangkaran digantikan oleh anaknya, Samaratungga yang memerintah sekitar tahun 792-847. Samaratungga mempunyai seorang anak perempuan bernama Pramodawarddhani, yang telah mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha yang diberi nama Srimad Wenuwana dan mentahbiskan arca Gananatha di dalamnya pada tahun 824, seperti disebutkan di dalam prasasti Kayumwungan. Anaknya yang kedua yang lahir dari permaisurinya yang lain bernama Balaputradewa. Pramodawarddhani kemudian dikawinkan dengan Rakai Pikatan, anak Rakai Patapan pu Palar yang menganut agama Siwa. Setelah Samaratungga meninggal atau mengundurkan diri dari pemerintahan, Rakai Patapan menggantikannya menjadi raja Mataram. Pada masa pemerintahannya Rakai Pikatan mendirikan candi kerajaan yang berlatarkan agama Siwa, yaitu percandian Lara Jonggrang (Śiwagrha), di Prambanan, seperti disebutkan didalam prasasti Siwagrha tahun 856. Rakai Pikatan digantikan oleh anaknya, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
Pada tahun 856, dan berkedudukan di ibukota Mdang di Mamratipura. Ia memerintah sampai tahun 883. Sebenarnya Rakai Pikatan mempunyai seorang anak perempuan tertua, yaitu Rakai Gurunwangi Dyah Saladu yang dijadikan putri mahkota. Tetapi ia baru menjadi raja setelah adiknya, Rakai Kayuwangi. Rakai Gurunwangi disebutkan dalama prasasti Munguantan tahun 887 sebagai Sri Maharaja. Sementara itu dari prasasti Panunggalan tahun 896 kita mengenal seorang tokoh bernama Rakai Watuhumalang dan dari prasasti Pohdulur tahun 890 kita mengenal pula tokoh yang bernama Sri Maharaja Rake Limus Dyah Dewindra.
Raja Mataram selanjutnya ialah rakai Watukura Dyah Balitung yang memerintah sekitar tahun 899-991. Pada masa pemerintahannya ia meluaskan kekuasaannya sampai ke Jawa timur. Penggantinya ialah Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksasaya. Ia bukanlah anak Dyah Balitung. Di dalam berita Tionghoa dari zaman dinasti Sung ia disebut Ta-tso-kan- hiung. Untuk menunjukkan bahwa ia adalah pewaris yang sah dari kerajaann Mataram, ia menghubungkan dirinya dengan raja Sanjaya dan menggunakan tarikh
Sanjaya dalam prasastinya, yaitu prasasti Tajigunung tahun 194 Sanjayawarsa (= 910 Masehi) dan prasasti Timbananwungkal tahun 196 Sanjayawarsa (= 913 Masehi). Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti, tetapi prasastinya yang terakhir dari masa pemerintahannya berasal dari tahun 915, yaitu prasasti Sugihmanek.
Pengganti Watukara Dyah Balitung ialah Rakai Layang Dyah Tulodhong yang mengeluarkan prasastinya yang pertama ialah prasasti Lintakan pada tahun 919. Sampai kapan Dyah Tulodhong memerintah tidak diketahui. Dari Masa pemerintahan Dyah Tulodhong terdapat pula sebuah prasasti yaitu prassti Wintangmas yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya dari tahun 919. Berdasarkan gelar jabatannya ia adalah orang kedua setelah raja, dan biasanya jabatan tersebut diduduki oleh putra mahkota yang akan menjadi raja sebagai pewaris atas takhta kerajaan Mataram. Namun kita tidak pernah menemukan prasasti lain yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya sampai munculnya prasasti Wulakan dari Sri Maharaja Dyah Wawa tahun 928.
Dalam prasasti Wulakan tahun 928 muncul seorang raja yang bernama Rakai Sumba Dyah Wawa, yang menyebut dirinya anak kryan landheyan sang lumah ring alas. Kryan Landheyan adalah tokoh yang disebutkan dalam prasasti Wuatantija tahun 880 dengan nama Rakryan Landheyan, yaitu adik ipar raja Rakai Kayuwangi. Jadi jelaslah bahwa Dyah Wawa adalah anak Rakryan Landheyan, dan bukan anak Dyah Tulodhong raja pendahulunya. Pergantian kekuasaan dari Dyah Tulodhong ke Dyah Wawa menimbulkan berbagai dugaan, diantaranya kemungkinan adanya perebutan kekuasaan dari tangan putra mahkota Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya oleh Dyah Wawa.
Masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa berlangsung tidak lama. Masa pemerintahannya diduga berakhir karena bencana alam yang sangat dahsyat akibat letusan gunung Merapi. Bencana alam ini mungkin merusakkan ibukota Medang dan menghancurkan sebagian besar wilayah Mataram sehingga dianggap sebagai pralaya.
Masa pemerintahan Dyah Wawa agaknya berakhir pada tahun 928 atau awal tahun 929, karena tidak lama setelah itu Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok tampil sebagai penguasa baru di kerajaan Mataram seperti disebutkan dalam prasasti Gulung-gulung tahun 929. Pu Sindok adalah orang yang memang mempunyai hak atas takhta kerajaan Mataram. Ketika Rake Pangkaja Dyah Wawa menjadi raja Mataram, Pu Sindok berkedudukan sebagai Rakryan Mapatih i Hino, suatu jabatan yang biasanya diduduki oleh putra mahkota yang akan mewarisi takhta kerajaan.
3.2. Kerajaan Mataram di Jawa Timur: Dinasti Isyana (Īśānawangśa)
Sejak masa pemerintahan Pu Sindok pusat kerajaan Mataram telah dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ia membangun kembali kerajaan Mataram dan mendirikan kedatonnya di ibukotanya yang baru di Tamwlang, seperti disebutkan dalam prasasti Turyyan tahun 929. Perpindahan ibukota dari Jawa Tengah ke Jawa T imur itu dilakukan karena keadaan ibukota dan wilayah kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran (pralaya) akibat bencana alam dari letusan gunung Merapi yang sangat dahsyat.
Sesuai dengan landasan kosmogoni, maka kerajaan Mataram di Jawa Timur itu dianggap sebagai dunia baru yang dibangun dengan ibukota dan kadaton baru, tempat pemujaan yang baru dan diperintah oleh wangsa yang baru pula. Maka walaupun sebenarnya Pu Sindok masih anggota wangsa Sailendra dan kerajaannya di Timur itu masih kerajaan Mataram, ia merupakan pendiri wangsa baru, yaitu wangsa Isyana (Īśānawangśa). Dalam prasasti-prasastinya ia disebutkan bergelar Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isyanawikrama Dharmmottunggadewa yang memerintah pada tahun 929-948.
Pu Sindok digantikan oleh anak perempuannya yang bernama Sri Isyana Tunggawijaya yang bersuamikan Sri Lokapala. Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti. Sepeninggalnya ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sri Makutawangsawarddhana. Ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Sri Mahendradatta Gunapriyadharmmapatni yang bersuamikan Sri Dharmma Udayana, seorang raja Bali, dan seorang anak laki-laki bernama Sri Dharmmawangsa Tguh.
Dari perkawinan Mahendradatta dengan Udayana lahirlah di antaranya seorang anak bernama Airlangga. Sri Makutawangsawarddhana kemudian digantikan oleh Sri Dharmmawangsa Tguh, yang memerintah sekitar tahun 991-1017. Masa pemerintahannya berakhir dengan tragis, mengalami keruntuhan karena serangan seorang raja bawahannya.
Di dalam prasasti Pucangan dari raja Airlangga tahun 1041, disebutkan bahwa penyerangan itu dilakukan oleh raja Wurawari dari Lwaram pada tahun 1017 tidak lama setelah perkawinan putri Dharmmawangsa Tguh dengan Airlangga. Dalam serangan itu raja Dharmmawangsa Tguh gugur bersama para pembesar kerajaan. Dharmmawangsa Airlangga bersama pengiringnya dapat menyelamatkan diri dari serangan musuh dan mengungsi ke hutan di lereng gunung di lingkungan para pertapa. Pada tahun 1019 ia direstui oleh para pendeta Siwa, Buddha dan Mahabrahmana sebagai raja dengan gelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Masa pemerintahan raja Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukkan kembali raja-raja bawahan. Pada masa pemerintahannya raja Airlangga berusaha pula untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, dengan membangun sarana keairan untuk meningkatkan perekonomian di antaranya dengan membangun waduk, kanal, bendungan dan tanggul. Dari permaisurinya Airlangga mempunyai empat orang anak. Anak yang tertua seorang perempuan benama Sri Sanggramawijaya-uttunggadewi. Ia ditahbiskan menjadi putri mahkota, namun kemudian melepaskan kedudukannya dan memilih menjadi seorang pertapa (bhiksuni).
Posting Komentar